OJK Kaji Kategori Bank Sistemik Wajib Tambah Modal
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang membahas kategori bank sistemik dan harus meningkatkan permodalan (capital surcharge). Aturan capital surcharge akan mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang bakal segera dibahas di DPR tahun ini.
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan 1 OJK, Irwan Lubis mengatakan, pihaknya terus membahas mengenai domestic systemically important bank (D-SIB) dan basel 3 terkait capital surcharge.
Kelompok yang akan dimasukkan sebagai D-SIB sampai saat ini masih menjadi pembahasan masterplan di DPR. Setidaknya terdapat 16 bank yang termasuk dalam systemically important bank dalam aturan sebelumnya. "Jika masuk kategori D-SIB, bank harus memperkuat modal. Sampai saat ini masih dibahas dalam UU JPSK soal bagaimana proses penetapan dan proses penambahan kalau terjadi perubahan jumlah bank nantinya," ujar Irwan.
Dalam penentuan D-SIB ini OJK mengharapkan agar dalam RUU JPSK bisa memperhatikan ukuran kompleksitas, interkonesitas dan keterkaitan antara beberapa bank tersebut. Kelompok bank besar itu, misalnya Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank CIMB Niaga, Bank Permata, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia (BII), Bank DKI Jakarta, dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Dia mengaku aturan ini nantinya akan melengkapi aturan dari Bank Indonesia (BI) Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Di aturan BI menyebutkan bank kategori D-SIB wajib untuk membentuk tambahan modal atau capital surcharge mulai 1 Januari 2016. Tambahan modal bank yang masuk dalam kelompok D-SIB sebesar 1% sampai 2,5% dari rasio aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Irwan mengatakan saat ini berdasarkan aturan kecukupan permodalan basel 3, beberapa bank besar tercatat sudah memenuhi ketentuan aturan regulasi ini. Hal ini menurut perkiraan Irwan dengan adanya penambahan 2,5% concentration buffer maka CAR minimal adalah sebesar 14%.
Pada awal 2016, BI akan menerapkan aturan Basel III secara bertahap. Dalam aturan tersebut, permodalan minimum bank tidak lagi 8%. Sebab, modal inti bank naik dari 4,5% menjadi 6%. Bank juga harus menyiapkan modal penyangga alias conservation buffer, countercyclical buffer dan capital surcharge masing-masing maksimal sebesar 2,5% dari rasio aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Jika ditotal, mungkin rasio minimum modal bank bisa 13,5%. Kewajiban tambahan modal itu akan masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) yang direncanakan selesai tahun ini.
Sebelumnya, Komisaris Independen PT Bank Mandiri Tbk, Goei Siauw Hong menjelaskan perbankan harus memiliki modal yang cukup untuk melindungi nasabah. Karena tanpa modal yang cukup, simpanan nasabah bisa tergerus dan berpotensi tidak terbayarkan apabila terjadi kebangkrutan. Saat ini sebagian besar aset perbankan berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Sedangkan modal hanya mencapai 10-15% dari total aset yang dimiliki. "Berbeda dengan institusi lain yang modalnya mencapai 30 persen dari total aset yang dimiliki," ujar Goei.
Memperhatikan hal tersebut, kegagalan bank berpengaruh besar terhadap pemberi pinjaman dibandingkan pemilik modal. Untuk menghindari risiko kegagalan bank, maka dibuatlah regulasi yang mengatur modal dan likuiditas. "Semakin besar risiko yang diambil, semakin besar pula modal yang wajib dimiliki bank tersebut. Dampaknya lebih besar pada nasabah, dibandingkan pemilik modal," terangnya.
Pengelolaan risiko bank diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut aturan OJK yang disesuaikan dengan aturan basel committee, ada delapan jenis risiko yang harus dihadapi bank, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan 1 OJK, Irwan Lubis mengatakan, pihaknya terus membahas mengenai domestic systemically important bank (D-SIB) dan basel 3 terkait capital surcharge.
Kelompok yang akan dimasukkan sebagai D-SIB sampai saat ini masih menjadi pembahasan masterplan di DPR. Setidaknya terdapat 16 bank yang termasuk dalam systemically important bank dalam aturan sebelumnya. "Jika masuk kategori D-SIB, bank harus memperkuat modal. Sampai saat ini masih dibahas dalam UU JPSK soal bagaimana proses penetapan dan proses penambahan kalau terjadi perubahan jumlah bank nantinya," ujar Irwan.
Dalam penentuan D-SIB ini OJK mengharapkan agar dalam RUU JPSK bisa memperhatikan ukuran kompleksitas, interkonesitas dan keterkaitan antara beberapa bank tersebut. Kelompok bank besar itu, misalnya Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank CIMB Niaga, Bank Permata, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia (BII), Bank DKI Jakarta, dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Dia mengaku aturan ini nantinya akan melengkapi aturan dari Bank Indonesia (BI) Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Di aturan BI menyebutkan bank kategori D-SIB wajib untuk membentuk tambahan modal atau capital surcharge mulai 1 Januari 2016. Tambahan modal bank yang masuk dalam kelompok D-SIB sebesar 1% sampai 2,5% dari rasio aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Irwan mengatakan saat ini berdasarkan aturan kecukupan permodalan basel 3, beberapa bank besar tercatat sudah memenuhi ketentuan aturan regulasi ini. Hal ini menurut perkiraan Irwan dengan adanya penambahan 2,5% concentration buffer maka CAR minimal adalah sebesar 14%.
Pada awal 2016, BI akan menerapkan aturan Basel III secara bertahap. Dalam aturan tersebut, permodalan minimum bank tidak lagi 8%. Sebab, modal inti bank naik dari 4,5% menjadi 6%. Bank juga harus menyiapkan modal penyangga alias conservation buffer, countercyclical buffer dan capital surcharge masing-masing maksimal sebesar 2,5% dari rasio aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Jika ditotal, mungkin rasio minimum modal bank bisa 13,5%. Kewajiban tambahan modal itu akan masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) yang direncanakan selesai tahun ini.
Sebelumnya, Komisaris Independen PT Bank Mandiri Tbk, Goei Siauw Hong menjelaskan perbankan harus memiliki modal yang cukup untuk melindungi nasabah. Karena tanpa modal yang cukup, simpanan nasabah bisa tergerus dan berpotensi tidak terbayarkan apabila terjadi kebangkrutan. Saat ini sebagian besar aset perbankan berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Sedangkan modal hanya mencapai 10-15% dari total aset yang dimiliki. "Berbeda dengan institusi lain yang modalnya mencapai 30 persen dari total aset yang dimiliki," ujar Goei.
Memperhatikan hal tersebut, kegagalan bank berpengaruh besar terhadap pemberi pinjaman dibandingkan pemilik modal. Untuk menghindari risiko kegagalan bank, maka dibuatlah regulasi yang mengatur modal dan likuiditas. "Semakin besar risiko yang diambil, semakin besar pula modal yang wajib dimiliki bank tersebut. Dampaknya lebih besar pada nasabah, dibandingkan pemilik modal," terangnya.
Pengelolaan risiko bank diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut aturan OJK yang disesuaikan dengan aturan basel committee, ada delapan jenis risiko yang harus dihadapi bank, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan
(dmd)