Upah Buruh di Balik Paket Kebijakan Jilid IV

Sabtu, 17 Oktober 2015 - 06:45 WIB
Upah Buruh di Balik Paket Kebijakan Jilid IV
Upah Buruh di Balik Paket Kebijakan Jilid IV
A A A
BERBAGAI upaya dilakukan pemerintah dalam mengatasi laju perekonomian yang melemah di berbagai sektor. Hal ini terlihat setelah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid I, II, dan III, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali meluncurkan paket kebijakan jilid IV.

Melalui para menterinya, Jokowi merilis paket kebijakan jilid IV di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/10/2015). Dalam paket ini ada tiga stimulus yang dikeluarkan, yakni upah buruh, kredit usaha rakyat (KUR), dan lembaga pembiayaan ekspor.

Namun, pertanyaan muncul terkait upah buruh dalam paket kebijakan ini, siapa yang diuntungkan?

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengemukakan, pemerintah menetapkan formula penentuan yang sederhana dan jelas untuk upah minimum provinsi (UMP) dalam paket kebijakan jilid IV dengan tujuan agar lapangan kerja terbuka seluas-luasnya dan kesejahteraan pekerja meningkat.

"Kita juga harus memikirkan orang yang kerja. Jadi peningkatan kesejahteraan merupakan unsur berikutnya dari penetapan peraturan ini," ujarnya.

Selain itu, sistem formulasi upah minimum ini juga menjadi bukti kehadiran negara dalam bentuk pemberian jaring pengaman sosial. Karena, dengan formula ini memastikan bahwa buruh tidak menerima jatah upah yang murah, dan pengusaha juga mendapatkan kepastian dalam berusaha.

"Dengan kebijakan ini dipastikan juga upah buruh naik setiap tahun. Karena ada isu naiknya lima tahun sekali. Naik tiap tahun dengan besaran yang terukur," terangnya.

Mantan Gubernur Bank Indonesia ini juga mengklaim, bentuk kehadiran negara terhadap masyarakat adalah dengan pengurangan beban pengeluaran hidup melalui kartu sakti Jokowi.

"Negara hadir dalam pembinaan dialog sosial tripartit antara pekerja dan pengusaha, sehingga tidak perlu membuang waktu dan tenaga setelah kita hitung melalui realisasinya," kata Darmin.

Kebijakan kedua, lanjut Darmin, terkait pemberian KUR yang sedianya telah tercantum dalam paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sebelumnya. Penekanan paket ini penerima kredit diubah dan akan diberikan kepada perorangan atau karyawan yang melakukan kegiatan usaha produktif.

"KUR bisa diberikan pada calon tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri. Bagaimanapun dia perlu biaya awal buat keluarga yang ditinggal, buat dia memulai, yang pasti dia bisa bayar," terangnya.

Kredit ini, juga bisa diberikan untuk anggota keluarga dari buruh yang berpenghasilan tetap dan melakukan kegiatan usaha produktif. Serta kepada tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan membuka usaha.

"Jadi, kalau suami melakukan pekerjaan sederhana bisa diberikan KUR, yang penting usahanya produktif dan seterusnya. Sejalan dengan itu juga bisa diberikan kepada buruh yang di-PHK kemudian buka usaha," terangnya.

Ketiga, kebijakan ini juga menyinggung soal lembaga pembiayaan ekspor dalam hal ini Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang diminta fokus untuk melakukan pembiayaan pada usaha kecil dan menengah (UKM). "Aturan mainnya diubah dari aturan bank menjadi aturan lembaga keuangan. Supaya kemampuannya meminjamkan menjadi lebih banyak," ujar Darmin. (Baca: Ini Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV)

Terkait formulasi penghitungan upah buruh, Darmin menjelaskan, jika inflasi sekitar 5% dan pertumbuhan ekonomi 5%, maka upah minimum buruh untuk tahun depan ditambah 10% dari upah minimum tahun ini. "Berarti tahun depan di daerah itu adalah upah minimum tahun ini ditambah 10%. Tahun depannya itu lagi, inflasi ditambah pertumbuhan ditambah lagi," katanya.

Menurut Darmin, formulasi ini bisa dikatakan adil baik untuk buruh ataupun pengusaha. Bahkan, di negara lain formulasi upah buruh tidak dimasukkan poin pertumbuhan ekonomi, karena bukan peranan buruh.

Dia memberi catatan, formulasi upah buruh ini belum bisa digunakan untuk delapan provinsi yang saat ini belum mencapai upah minimum yang dianggap layak. Kedelapan provinsi tersebut diberikan masa transisi empat tahun agar dapat mencapai upah layak.

"Karena kalau dia (delapan provinsi) kemudian dinaikkan serta merta supaya 100% juga bisa terlalu banyak naiknya. Sehingga diberikan masa transisi empat tahun. Kalau bedanya 20%, maka tiap tahun ditambah lima," tandasnya.

Baca juga:

Ini Tiga Paket Kebijakan Ekonomi September I Jokowi
Ini Isi Paket Kebijakan Ekonomi September II Jokowi
Ini Isi Lengkap Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Jilid III

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri menjelaskan, formulasi kenaikan upah minimum untuk 2016 adalah upah minimum basis provinsi pada tahun berjalan ditambah hasil perkalian dari upah minimum tahun berjalan dikali penjumlahan angka inflsi dan pertumbuhan ekonomi.

"DKI misal upah minimum Rp2,7 juta. Kalau mau menghitung kenaikan upah sama dengan Rp2,7 juta dikali inflasi (misal 5%) dan pertumbuhan ekonomi berapa (misal 5%). Jadi Rp2,7 juta dikali 10% sama dengan Rp270.000. Maka upah 2016 sama dengan Rp2,7 juta ditambah Rp270.000," terangnya.

Hanif mengatakan, baseline yang dipakai untuk menentukan formulasi upah minimum adalah dengan upah minimum berjalan, karena hal itu telah merefleksikan kebutuhan hidup layak (KHL) yang sudah dikaji dewan pengupahan di daerah sejak tahun lalu.

Sementara untuk delapan provinsi yang belum mencapai 100% KHL, maka pemerintah daerahnya diwajibkan membuat rodmap dalam waktu empat tahun agar menyelesaikan KHL di daerah masing-masing.

"Daerah-daerah ini kita wajibkan gubernur, kepala daerah untuk membuat roadmap dalam waktu empat tahun itu agar menyelesaikan pencapaian KHL di daerah masing-masing. Jadi pada tahun ke-5 tidak ada lagi yang ngutang KHL," tegasnya

Hanif mengklaim formulasi upah yang ditetapkan pemerintah ini telah mendapat restu dari pekerja dan buruh. Namun, pembicaraan dengan buruh soal formulasi sistem pengupahan tidak memereteli pasal per pasal.

"Kalau soal perlibatan, pasti sudah dong. Cuma gini, saya paham terlibat di teman-teman buruh ini kan maksudnya harus diajak membahas pasal per pasal, sesuatu yang jelas sulit dong," katanya.

Menurut Hanif, materi-materi dasar terkait sistem pengupahan sedianya dibicarakan sejak lama dengan buruh, dan telah dikonsultasikan secara bipartit di dewan pengupahan nasional, disosialisasikan di media, praktisi hingga ke asosiasi pengusaha.

"Kalau ini (sistem pengupahan) namanya pengusaha punya banyak pandangan, pekerja juga banyak pandangan. Tapi pandangan itu sudah dipertimbangkan pemerintah. At the end, pemerintah harus ambil keputusan yang baik untuk bangsa. Untuk seluruh rakyat," jelasnya.

Sistem pengupahan ini, lanjut Hanif, untuk kepentingan bangsa Indonesia dan termasuk kepentingan pekerja dan calon pekerja. "Kita juga harus mikir, calon pekerja ini harus masuk ke bursa kerja. Jadi dengan adanya pengupahan seperti ini, lapangan kerja akan semakin terbuka," imbuhnya.

Terbukanya lapangan kerja yang semakin lebar, kata Hanif, lantaran dengan sistem pengupahan ini iklim usaha akan jauh lebih kondusif dan investasi akan semakin banyak masuk ke Tanah Air.

"Dunia usaha makin bergerak, lapangan kerja bertambah, setelah bertambah, pilihan-pilihan calon pekerja ini makin banyak. Karena kita punya problem over supply dari dunia kerja. Kalau ini enggak diatasi dengan perluasaan lapangan kerja yang banyak, susah dong. Makanya ini yang dilihat," tegasnya.

Kalangan pengusaha di Jawa Tengah (Jateng) menyambut gembira diterbitkannya paket kebijakan ekonomi jilid IV yang mengatur kebijakan pengupahan yang disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi mengaku, dengan keluarnya paket kebijakan ekonomi jilid IV memberikan kepastian bagi para pengusaha dengan memprediksi besaran kenaikan di tahun berikutnya.

"Ya, kita menyambut gembira karena kebijakan tersebut merupakan suatu keputsan tepat untuk perkembangan masa depan investasi, penyeraapan tenaga kerja. Sebenarnya kebijakan tersebut sudah kita usulkan tiga atau empat tahun lalu. Dan pemerintah memahami aspirasi kita," katanya di Semarang, Jumat (16/10/2015).

Menurut Frans, sebelum ada kebijakan paket ekonomi jilid IV, pengusaha tidak bisa memprediksi berapa kenaikan upah karena setiap tahun dilakukan survai kebutuhan hidup layak (KHL).

"Pengusaha memperlukan suatu kepastian. Dengan mengevaluasi jenis dan komponen KHL setiap lima tahun sekali serta menerapkan aturan bagi pengusaha untuk menerapkan struktur dan skala upah, pengusaha lebih tenang," terangnya.

Frans menuturkan, dengan kebijakan tersebut bukan berarti upah buruh tidak naik. Upah tetap naik yang disesuaikan dengan inflasi dan juga sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, supaya daya beli karyawan juga ikut naik.

Kenaikan, lanjut dia, justru bisa jadi akan lebih tinggi daripada inflasi dan pertumbuhan ekonomi karena, kenaikan juga akan disesuaikan dengan kondisi perusahaan. "Kalau perusahaannya mendapatkan untung banyak tentu kenaikannya bisa lebih tinggi dari pada inflasi," ujarnya.

Dia berharap, dengan paket kebijakan ekonomi jilid IV dapat mendorong produktivitas memperluas kesempatan kerja sehingga angkatan kerja yang dihasilkan dari sekolah bisa diserap dengan baik.

Paket kebijakan tersebut, juga menjadi stimulan pada dunia usaha sehingga dapat berkembang dengan baik, karena pengusaha semakin bersemangat. "Jika investasi tidak menarik, pengusaha tidak mau investasi dan tenaga kerja tidak bisa terserap, angka pengguran semakin tinggi," imbuhnya.

Di pihak lain, kalangan buruh prihatin dengan dikeluarkannya kebijakan ekonomi jilid IV tersebut. Pasalnya, kebijakan itu hanya berpihak pada pengusaha dan mengesampingkan upah buruh.

"Sistem atau aturan tersebut dibuat dengan alasan untuk memperbaikan kondisi perekonomian yang saat ini dan untuk memberikan jaminan para pengusaha atau investor, sementara di dalam kebijakan itu tidak memikirkan daya beli buruh yang upahnya masih rendah," jelas Ketua DPW Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Jateng, Nanang Setiyono.

Dia melihat, perhitungan upah yang ditambahkan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi justu akan menciptakan kemiskinan di kalangan buruh. Hal itu karena selama ini tidak semua daerah menerapkan UMK sesuai KHL.

"Upah 2015 berdasarkan KHL 2014, banyak daerah di Jateng itu 70%-80% belum menetapkan UMK 100% KHL, kalau berdasarkan infalsi dan pertumbuhan Ekonomi jelas akan ada defisit upah," bebernya.

Di sisi lain, lanjut Nanang, kebijakan pengupahan sudah diatur UU No 13, dan juga peraturan Presiden. Kebijakan tersebut jelas menabrak aturan yang sudah ada. (Baca: Isi Paket Kebiajakan IV, Pengusaha Girang, Buruh Berang)
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7139 seconds (0.1#10.140)