Revisi DNI, Pekerja Industri Film Tak Khawatir Serbuan Asing
A
A
A
JAKARTA - Para pelaku di balik layar film Indonesia ternyata tidak khawatir jika revisi daftar negatif investasi (DNI) akan menyebabkan pelaku usaha asing di bidang perfilman ramai-ramai menyerbu Tanah Air. Padahal, revisi DNI yang dilakukan pemerintah memungkinkan asing untuk masuk sepenuhnya dalam industri perfilman di Indonesia, khususnya bioskop.
Sutradara kawakan Joko Anwar menilai hal tersebut bukan menjadi ancaman dan justru menjadi peluang agar dunia perfilman di Indonesia lebih berkembang. Pasalnya, selama ini investasi lokal untuk perfilman sangatlah minim.
"Kami melihat sebagai opportunity untuk lebih bisa berkembang. Selama ini investasi lokal sangat kurang. Secara ekosistem tidak sehat," katanya kepada Sindonews melalui pesan aplikasi di Jakarta belum lama ini.
Dia menyebutkan, jumlah layar bioskop di Indonesia masih sangat minim dan penyebarannya tidak merata. Bayangkan saja, 1.117 layar bioskop yang ada untuk mewakili 250 juta penduduk di Indonesia.
Akibatnya, sambung sutradara film A Copy of My Mind ini, rakyat yang memiliki akses ke bioskop pun masih sangat terbatas. Film-film Indonesia pun tidak dapat kesempatan diputar dengan cukup lama karena rebutan layar.
"Alokasi untuk film Indonesia hanya 20% dari semua layar. Bisnis nggak bisa berkembang. Produksi film juga terbatas dengan tema terbatas," imbuh dia. (Baca: Pemerintah Bebaskan Asing Kuasai Bioskop di Tanah Air)
Tak hanya itu, film-film yang diproduksi hanya dengan tema komersil. Sementara film dengan tema lain termasuk budaya, tidak dapat kesempatan diproduksi. "Kalau mau bikin film budaya, kita harus minta bantuan ke luar negeri," akunya.
Di samping itu, lanjut Joko, distribusi film di Indonesia juga tidak sehat. Selama ini, idak ada perusahaan yang mendistribusikan film Indonesia karena pemilik layar sedikit. Akibatnya, para produser pun harus melakukan self-distribution. "Dengan adanya investasi asing, masalah-masalah ini akan memiliki kesempatan untuk diperbaiki," tegasnya.
Pria asal Tanah Batak ini optimis bahwa pelaku perfilman lokal tidak akan tergerus oleh pesaingnya dari luar negeri. Bahkan, ketakutan bahwa asing akan menyebarkan budaya luar yang tidak baik dianggapnya sebagai sesuatu yang aneh.
"Jadi, asing nyebarin budaya asing di sini itu absurd. Parno namanya. Optimis lah. Kok rendah diri amat ngerasa budaya sendiri bakal tergerus. Emang kita orang-orang lemah apa?," tandasnya.
Sutradara kawakan Joko Anwar menilai hal tersebut bukan menjadi ancaman dan justru menjadi peluang agar dunia perfilman di Indonesia lebih berkembang. Pasalnya, selama ini investasi lokal untuk perfilman sangatlah minim.
"Kami melihat sebagai opportunity untuk lebih bisa berkembang. Selama ini investasi lokal sangat kurang. Secara ekosistem tidak sehat," katanya kepada Sindonews melalui pesan aplikasi di Jakarta belum lama ini.
Dia menyebutkan, jumlah layar bioskop di Indonesia masih sangat minim dan penyebarannya tidak merata. Bayangkan saja, 1.117 layar bioskop yang ada untuk mewakili 250 juta penduduk di Indonesia.
Akibatnya, sambung sutradara film A Copy of My Mind ini, rakyat yang memiliki akses ke bioskop pun masih sangat terbatas. Film-film Indonesia pun tidak dapat kesempatan diputar dengan cukup lama karena rebutan layar.
"Alokasi untuk film Indonesia hanya 20% dari semua layar. Bisnis nggak bisa berkembang. Produksi film juga terbatas dengan tema terbatas," imbuh dia. (Baca: Pemerintah Bebaskan Asing Kuasai Bioskop di Tanah Air)
Tak hanya itu, film-film yang diproduksi hanya dengan tema komersil. Sementara film dengan tema lain termasuk budaya, tidak dapat kesempatan diproduksi. "Kalau mau bikin film budaya, kita harus minta bantuan ke luar negeri," akunya.
Di samping itu, lanjut Joko, distribusi film di Indonesia juga tidak sehat. Selama ini, idak ada perusahaan yang mendistribusikan film Indonesia karena pemilik layar sedikit. Akibatnya, para produser pun harus melakukan self-distribution. "Dengan adanya investasi asing, masalah-masalah ini akan memiliki kesempatan untuk diperbaiki," tegasnya.
Pria asal Tanah Batak ini optimis bahwa pelaku perfilman lokal tidak akan tergerus oleh pesaingnya dari luar negeri. Bahkan, ketakutan bahwa asing akan menyebarkan budaya luar yang tidak baik dianggapnya sebagai sesuatu yang aneh.
"Jadi, asing nyebarin budaya asing di sini itu absurd. Parno namanya. Optimis lah. Kok rendah diri amat ngerasa budaya sendiri bakal tergerus. Emang kita orang-orang lemah apa?," tandasnya.
(dmd)