Wacana Kemasan Rokok Polos Dinilai Rugikan Konsumen
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Komunitas Perokok Bijak Jakarta, Suryokoco menilai wacana kemasan polos produk tembakau di Indonesia yang digulirkan Kementerian Kesehatan sangat merugikan industri hasil tembakau (IHT) nasional.
Apalagi, Indonesia saat ini sedang melakukan tuntutan kebijakan kemasan polos Australia di World Trade Organization (WTO) karena melanggar ketentuan perjanjian internasional.
"Tapi pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan mewacanakan kebijakan ekstrem serupa. Bagi perokok, kemasan polos merupakan pelanggaran hak konsumen untuk mendapatkan informasi produsen dan kualitas produk," katanya seperti dalam rilis di Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Menurutnya, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan kebijakan kemasan polos di Australia berhasil menurunkan angka perokok di negara tersebut. Bahkan yang terjadi, peningkatan jumlah rokok ilegal yang merugikan konsumen karena mendapatkan rokok palsu dan merugikan negara karena tidak membayar cukai.
"Peringatan kesehatan bergambar yang telah diterapkan di Indonesia sudah cukup efektif dalam menginformasikan masyarakat risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, dan cukup mengganggu kenikmatan perokok," imbuh dia.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo, meminta pemerintah tidak terburu-buru meratifikasi FCTC. Menurutnya, perdebatan soal rokok maupun produk tembakau bukan sekadar argumentasi teknis medis yang bebas nilai tentang sehat dan tidak sehat.
"Ihwal ini sudah memasuki ranah persaingan bisnis korporasi yang dilakukan para pemain industri farmasi,” ungkapnya.
Firman menilai, industri rokok kretek masih dianggap penting oleh pemerintah. Secara nasional, industri hasil tembakau menyerap 6 juta tenaga kerja dengan kontribusi sebesar Rp139,5 triliun melalui cukai atau 9,5% dari total penerimaan negara pada tahun lalu.
Sekadar informasi, kebijakan kemasan polos rokok merupakan salah satu pedoman dari Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) yang diinisiasi World Health Organisation (WHO).
Dalam FCTC terdapat beberapa pedoman ekstrim seperti pelarangan penggunaan cengkih dalam rokok, pengalihan lahan tembakau, dan pelarangan pemajangan rokok di tempat penjualan. Indonesia belum menjadi bagian dari FCTC namun desakan kepada Pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi internasional tersebut sangat tinggi khususnya dari LSM anti-tembakau.
Apalagi, Indonesia saat ini sedang melakukan tuntutan kebijakan kemasan polos Australia di World Trade Organization (WTO) karena melanggar ketentuan perjanjian internasional.
"Tapi pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan mewacanakan kebijakan ekstrem serupa. Bagi perokok, kemasan polos merupakan pelanggaran hak konsumen untuk mendapatkan informasi produsen dan kualitas produk," katanya seperti dalam rilis di Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Menurutnya, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan kebijakan kemasan polos di Australia berhasil menurunkan angka perokok di negara tersebut. Bahkan yang terjadi, peningkatan jumlah rokok ilegal yang merugikan konsumen karena mendapatkan rokok palsu dan merugikan negara karena tidak membayar cukai.
"Peringatan kesehatan bergambar yang telah diterapkan di Indonesia sudah cukup efektif dalam menginformasikan masyarakat risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, dan cukup mengganggu kenikmatan perokok," imbuh dia.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo, meminta pemerintah tidak terburu-buru meratifikasi FCTC. Menurutnya, perdebatan soal rokok maupun produk tembakau bukan sekadar argumentasi teknis medis yang bebas nilai tentang sehat dan tidak sehat.
"Ihwal ini sudah memasuki ranah persaingan bisnis korporasi yang dilakukan para pemain industri farmasi,” ungkapnya.
Firman menilai, industri rokok kretek masih dianggap penting oleh pemerintah. Secara nasional, industri hasil tembakau menyerap 6 juta tenaga kerja dengan kontribusi sebesar Rp139,5 triliun melalui cukai atau 9,5% dari total penerimaan negara pada tahun lalu.
Sekadar informasi, kebijakan kemasan polos rokok merupakan salah satu pedoman dari Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) yang diinisiasi World Health Organisation (WHO).
Dalam FCTC terdapat beberapa pedoman ekstrim seperti pelarangan penggunaan cengkih dalam rokok, pengalihan lahan tembakau, dan pelarangan pemajangan rokok di tempat penjualan. Indonesia belum menjadi bagian dari FCTC namun desakan kepada Pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi internasional tersebut sangat tinggi khususnya dari LSM anti-tembakau.
(ven)