Jangan Takut Tanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut
A
A
A
KUCHING - Menanam kelapa sawit di lahan gambut bukan hal haram. Pengalaman Negara Bagian Serawak Malaysia membuktikan, perkebunan kelapa sawit di lahan gambut bisa dikelola secara berkelanjutan dan memberi manfaat ekonomi yang sangat besar.
Hal ini ditegaskan oleh Abdul Hamed Sepawi, Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association, saat menjadi pembicara dalam 15th International Peat Congress di Kuching Serawak Malaysia. Dalam presentasi yang berjudul "Menanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut: Pengalaman, Tantangan, dan Peluang", Abdul Hamed Sepawi menegaskan tidak ada alasan bagi negara lain untuk takut menanam kelapa sawit di lahan gambut.
"Kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling murah jika dibanding minyak nabati lainnya," katanya di depan sekitar 1.000 peserta kongres gambut terbesar di dunia itu.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit, kata Sepawi, juga berperan besar dalam menyerap gas karbondioksida ke dalam bentuk karbon padat yang bisa dimanfaatkan sebagai biomassa. Dan ini akan mendukung keberlanjutan dari minyak nabati yang dihasilkan. "Kami telah menjadi pelopor pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut," ujarnya.
Sepawi menjelaskan, sejumlah isu dan tantangan yang dihadapi ketika kali pertama mengembangkan kelapa sawit di lahan gambut. Salah satu tantangan itu adalah kebun kelapa sawit tersebut harus memenuhi standard yang ditetapkan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil) dan kriteria keberlanjutan lainnya.
"Tentu saja diperlukan teknik dan inovasi ilmiah untuk mengubah kondisi lahan gambut yang tidak kondusif menjadi areal untuk pengembangan budidaya, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit," tutur dia.
Meski pada tahap awal sulit, namun dengan inovasi yang dilakukan, produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut Serawak bisa meningkat dari 12 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun menjadi 30 ton per hektar per tahun.
"Sekarang semua kerja keras yang kami lakukan membuahkan hasil yang sangat baik. Dan Serawak menjadi contoh sukses pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut," kata Sepawi yang juga menjadi salah satu pimpinan di Ta Ann Holding Berhad.
Namun, ketika secara teknis ilmiah pengembangan sawit di lahan gambut sukses, tantangan lain datang. "Tantangan baru itu, maraknya kritik dan serangan dari sejumlah LSM asing yang mengusung kepentingan minyak nabati dari Eropa yang semakin sulit bersaing dengan minyak sawit," katanya.
Serangan dan kampanye negatif terhadap kelapa sawit terutama perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, tak ubah seperti cara-cara negara kolonial Belanda ketika ingin menguasai perdagangan di daerah jajahannya di Maluku. Serangan terhadap kelapa sawit yang dengan menggunakan LSM tak ubahnya sikap penjajah di zaman kolonial dahulu.
"Dalam konteks ini, seharusnya para produsen minyak nabati bersatu untuk memenuhi kebutuhan dunia, bukan malah menyerang kelapa sawit," tandasnya.
Hal ini ditegaskan oleh Abdul Hamed Sepawi, Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association, saat menjadi pembicara dalam 15th International Peat Congress di Kuching Serawak Malaysia. Dalam presentasi yang berjudul "Menanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut: Pengalaman, Tantangan, dan Peluang", Abdul Hamed Sepawi menegaskan tidak ada alasan bagi negara lain untuk takut menanam kelapa sawit di lahan gambut.
"Kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling murah jika dibanding minyak nabati lainnya," katanya di depan sekitar 1.000 peserta kongres gambut terbesar di dunia itu.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit, kata Sepawi, juga berperan besar dalam menyerap gas karbondioksida ke dalam bentuk karbon padat yang bisa dimanfaatkan sebagai biomassa. Dan ini akan mendukung keberlanjutan dari minyak nabati yang dihasilkan. "Kami telah menjadi pelopor pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut," ujarnya.
Sepawi menjelaskan, sejumlah isu dan tantangan yang dihadapi ketika kali pertama mengembangkan kelapa sawit di lahan gambut. Salah satu tantangan itu adalah kebun kelapa sawit tersebut harus memenuhi standard yang ditetapkan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil) dan kriteria keberlanjutan lainnya.
"Tentu saja diperlukan teknik dan inovasi ilmiah untuk mengubah kondisi lahan gambut yang tidak kondusif menjadi areal untuk pengembangan budidaya, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit," tutur dia.
Meski pada tahap awal sulit, namun dengan inovasi yang dilakukan, produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut Serawak bisa meningkat dari 12 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun menjadi 30 ton per hektar per tahun.
"Sekarang semua kerja keras yang kami lakukan membuahkan hasil yang sangat baik. Dan Serawak menjadi contoh sukses pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut," kata Sepawi yang juga menjadi salah satu pimpinan di Ta Ann Holding Berhad.
Namun, ketika secara teknis ilmiah pengembangan sawit di lahan gambut sukses, tantangan lain datang. "Tantangan baru itu, maraknya kritik dan serangan dari sejumlah LSM asing yang mengusung kepentingan minyak nabati dari Eropa yang semakin sulit bersaing dengan minyak sawit," katanya.
Serangan dan kampanye negatif terhadap kelapa sawit terutama perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, tak ubah seperti cara-cara negara kolonial Belanda ketika ingin menguasai perdagangan di daerah jajahannya di Maluku. Serangan terhadap kelapa sawit yang dengan menggunakan LSM tak ubahnya sikap penjajah di zaman kolonial dahulu.
"Dalam konteks ini, seharusnya para produsen minyak nabati bersatu untuk memenuhi kebutuhan dunia, bukan malah menyerang kelapa sawit," tandasnya.
(izz)