Pengusaha Properti Masih Keluhkan Perizinan Berbelit
A
A
A
YOGYAKARTA - Pengusaha properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) Yogyakarta mengaku masih menemui hambatan dalam perizinan sehingga membuat daya serap perumahan dan properti lainnya menurun. Selain itu perlambatan ekonomi yang terjadi belakangan ini turur memperparah daya beli masyarakat.
Wakil Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Yogyakarta Bidang Humas Ilham Nur Muhamad mengatakan, kondisi tersebut dampaknya sangat terasa bagi pengembang yang tergabung dalam REI. "Kondisi ekonomi memang tidak bisa dihindarkan dalam bisnis ini," tuturnya.
Lebih lanjut dia menerangkan halangan lain bagi industri properti adalah rantai perizinan yang masih terlalu panjang untuk ditempuh. Akibatnya cukup membuang energi baik dari sisi waktu dan juga biaya. Hal ini tentu terimbas kepada biaya produksi dari industri perumahan cukup tinggi di samping biaya pokok untuk bangunan itu sendiri.
Ilham menerangkan seharusnya pemerintah membuat penyederhanaan pengurusan izin pendirian perumahan tersebut menjadi lebih pendek. Karena dia menilai, sebenarnya ada beberapa rantai perizinan yang bisa dijadikan satu dengan jenis perizinan lain, sehingga waktu pengurusan bisa dipangkas dan biayanya lebih murah lagi.
"Kalau berbelit seperti sekarang ini, endingnya menjadikan biaya tinggi sehingga harga jual rumah juga tinggi," tuturnya.
Jika bisa disederhanakan, lanjutnya, para pengembang akan menekan harga jual dari produk yang mereka hasilkan. Dengan demikian, rumah yang mereka jual akan semakin terjangkau bagi masyarakat. Dia sendiri mengakui saat ini harganya memang masih cukup tinggi, dii tengah kondisi perlambatan ekonomi.
Menurutnya sektor biaya yang bisa ditekan adalah dari sisi perizinan, karena untuk menekan harga dari sisi lain sudah tidak mungkin lagi. Dari sisi bahan bangunan, adalah hal yang mustahil karena mereka memiliki standar komposisi bahan untuk mendirikan bangunan.
Dari sisi pengadaan lahan, tidak mungkin lagi karena harga tanah di wilayah DIY sudah sangat tinggi. "Di Yogyakarta harga tanah memang sudah gila," terangnya.
Sementara Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Yogyakarta Hilman Tisnawan mengakui, laju pertumbuhan industri properti di DIY memang mengalami hambatan. Salah satu yang tertinggi adalah karena faktor harga tanah yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Pihaknya bahkan mencatat, kenaikan harga properti tahun ini tidak banyak terjadi. "Sebelumnya harga sudah tinggi. Pengembang masih berpikir ketika ingin menaikkan harga lagi," tuturnya.
Wakil Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Yogyakarta Bidang Humas Ilham Nur Muhamad mengatakan, kondisi tersebut dampaknya sangat terasa bagi pengembang yang tergabung dalam REI. "Kondisi ekonomi memang tidak bisa dihindarkan dalam bisnis ini," tuturnya.
Lebih lanjut dia menerangkan halangan lain bagi industri properti adalah rantai perizinan yang masih terlalu panjang untuk ditempuh. Akibatnya cukup membuang energi baik dari sisi waktu dan juga biaya. Hal ini tentu terimbas kepada biaya produksi dari industri perumahan cukup tinggi di samping biaya pokok untuk bangunan itu sendiri.
Ilham menerangkan seharusnya pemerintah membuat penyederhanaan pengurusan izin pendirian perumahan tersebut menjadi lebih pendek. Karena dia menilai, sebenarnya ada beberapa rantai perizinan yang bisa dijadikan satu dengan jenis perizinan lain, sehingga waktu pengurusan bisa dipangkas dan biayanya lebih murah lagi.
"Kalau berbelit seperti sekarang ini, endingnya menjadikan biaya tinggi sehingga harga jual rumah juga tinggi," tuturnya.
Jika bisa disederhanakan, lanjutnya, para pengembang akan menekan harga jual dari produk yang mereka hasilkan. Dengan demikian, rumah yang mereka jual akan semakin terjangkau bagi masyarakat. Dia sendiri mengakui saat ini harganya memang masih cukup tinggi, dii tengah kondisi perlambatan ekonomi.
Menurutnya sektor biaya yang bisa ditekan adalah dari sisi perizinan, karena untuk menekan harga dari sisi lain sudah tidak mungkin lagi. Dari sisi bahan bangunan, adalah hal yang mustahil karena mereka memiliki standar komposisi bahan untuk mendirikan bangunan.
Dari sisi pengadaan lahan, tidak mungkin lagi karena harga tanah di wilayah DIY sudah sangat tinggi. "Di Yogyakarta harga tanah memang sudah gila," terangnya.
Sementara Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Yogyakarta Hilman Tisnawan mengakui, laju pertumbuhan industri properti di DIY memang mengalami hambatan. Salah satu yang tertinggi adalah karena faktor harga tanah yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Pihaknya bahkan mencatat, kenaikan harga properti tahun ini tidak banyak terjadi. "Sebelumnya harga sudah tinggi. Pengembang masih berpikir ketika ingin menaikkan harga lagi," tuturnya.
(akr)