Klarifikasi Muhammadiyah Soal Gugatan UU Tax Amnesty
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menerangkan seputar kepastian uji materi atau judicial review Undang-undang (UU) pengampunan pajak (tax amnesty) yang akan dilakukan lembaganya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya pandangan tentang Judicial Review masih sebatas pendapat personal dan belum menjadi sikap organisasinya.
"Apa yang berkembang di media adalah pendapat pribadi bagian kajian hukum Muhammadiyah," ujar Mu'ti saat dihubungi semalam.
(Baca Juga: Sri Mulyani Diam-diam Temui 13 Pimpinan Muhammadiyah)
Dia menuturkan, PP Muhammadiyah masih melakukan kajian mendalam tentang penerapan UU tersebut. Termasuk pandangan yang menyebut tax amnesty bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak hanya diberlakukan untuk kelompok tertentu saja tapi diberlakukan secara adil sebagai upaya meningkatkan pendapatan negara.
(Baca Juga: Ditemui Sri Mulyani, Muhammadiyah Minta Tax Amnesty Diperpanjang)
Mu'ti juga meluruskan pemberitaan di sejumlah media yang menyebutkan bahwa ada intervensi pemerintah yang membuat pandangan PP Muhammadiyah terhadap UU tax amnesty berubah. Menurut dia selama ini Muhammadiyah memang selalu berkomunikasi dengan pihak manapun, termasuk dengan pemerintah.
"Khususnya mengenai pelaksanaan UU tax amnesty itu. Jadi berita tersebut tidak benar," kata Mu'ti.
(Baca Juga: Muhammadiyah Minta Pemerintah Tunda Pelaksanaan Tax Amnesty)
Lebih khusus tentang kehadiran Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dia tidak menampik bahwa kehadiran mantan Direktur Bank Dunia itu lebih kepada memberikan penjelasan dan klarifikasi terkait dengan UU Tax Amnesty. "Dan memberikan masukan Muhammadiyah tentang UU tax amnesty itu," tambahnya
Terkait hasil kajian PP Muhammdiyah, Mu'ti belum memastikan kapan keputusan diketahui. Sebab menurut dia kegiatan kajian baru dilakukan satu kali. "Ketika kita melakukan JR UU yang lainnya itu kajiannya bisa 4-5 kali, tergantung kompleksitas UU itu," tambahnya.
Menurut Mu'ti dalam mengkaji suatu persoalan PP Muhammadiyah biasanya menghadirkan narasumber, yang juga bisa berposisi saksi ahli untuk berikan penjelasan terhadap subjek yang akan di JR. "Biasanya yang diundang itu pakar hukum tata negara, kemudian kedua tentu expert apakah dia peneliti, akademisi yang punya keahlian terhadap persoalan yang kita judicial review," tandasnya.
"Apa yang berkembang di media adalah pendapat pribadi bagian kajian hukum Muhammadiyah," ujar Mu'ti saat dihubungi semalam.
(Baca Juga: Sri Mulyani Diam-diam Temui 13 Pimpinan Muhammadiyah)
Dia menuturkan, PP Muhammadiyah masih melakukan kajian mendalam tentang penerapan UU tersebut. Termasuk pandangan yang menyebut tax amnesty bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak hanya diberlakukan untuk kelompok tertentu saja tapi diberlakukan secara adil sebagai upaya meningkatkan pendapatan negara.
(Baca Juga: Ditemui Sri Mulyani, Muhammadiyah Minta Tax Amnesty Diperpanjang)
Mu'ti juga meluruskan pemberitaan di sejumlah media yang menyebutkan bahwa ada intervensi pemerintah yang membuat pandangan PP Muhammadiyah terhadap UU tax amnesty berubah. Menurut dia selama ini Muhammadiyah memang selalu berkomunikasi dengan pihak manapun, termasuk dengan pemerintah.
"Khususnya mengenai pelaksanaan UU tax amnesty itu. Jadi berita tersebut tidak benar," kata Mu'ti.
(Baca Juga: Muhammadiyah Minta Pemerintah Tunda Pelaksanaan Tax Amnesty)
Lebih khusus tentang kehadiran Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dia tidak menampik bahwa kehadiran mantan Direktur Bank Dunia itu lebih kepada memberikan penjelasan dan klarifikasi terkait dengan UU Tax Amnesty. "Dan memberikan masukan Muhammadiyah tentang UU tax amnesty itu," tambahnya
Terkait hasil kajian PP Muhammdiyah, Mu'ti belum memastikan kapan keputusan diketahui. Sebab menurut dia kegiatan kajian baru dilakukan satu kali. "Ketika kita melakukan JR UU yang lainnya itu kajiannya bisa 4-5 kali, tergantung kompleksitas UU itu," tambahnya.
Menurut Mu'ti dalam mengkaji suatu persoalan PP Muhammadiyah biasanya menghadirkan narasumber, yang juga bisa berposisi saksi ahli untuk berikan penjelasan terhadap subjek yang akan di JR. "Biasanya yang diundang itu pakar hukum tata negara, kemudian kedua tentu expert apakah dia peneliti, akademisi yang punya keahlian terhadap persoalan yang kita judicial review," tandasnya.
(akr)