UMKM Harus Diberdayakan untuk Kurangi Kesenjangan
A
A
A
YOGYAKARTA - Kesenjangan pendapatan dan pengeluaran yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang cukup tinggi, bahkan menduduki rangking terbawah ke dua di atas Wamena Irian Jaya. Hal inilah yang kini tengah menjadi pekerjaan rumah terberat pemerintah DIY untuk mengurangi disparitas tersebut.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI)Yogyakarta Arif Budi Santosa mengatakan, kesenjangan yang terjadi saat ini sebenarnya menyangkut masalah kemiskinan.
Kemiskinan yang terjadi di beberapa titik di DIY sampai saat ini masih belum bisa terpecahkan meski berbagai program pengentasan kemiskinan telah diluncurkan pemerintah setempat dengan melibatkan berbagai pihak. "Angka kesenjangan tidak lepas dari kemiskinan yang terjadi," katanya, Senin (19/9/2016).
Salah satu yang sedang diupayakan adalah menjaga pertumbuhan ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan. Keluarga atau warga miskin yang ada saat ini menjadi target pertumbuhan ekonomi inklusi dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Artinya, pertumbuhan ekonomi harus dirasakan seluruh masyarakat dan untuk mengurangi kesenjangan.
Menurutnya, langkah-langkah pertumbuhan ekonomi inklusi memang harus menyentuh langsung kepada masyarakat miskin tersebut. Salah satu sumber daya utama untuk pertumbuhan ekonomi inklusi tersebut adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Arif mengatakan, dukungan terhadap UMKM harus ditingkatkan. Kolaborasi mengembangkan UMKM lebih diintensikan agar tujuan yang ditetapkan bisa tercapai. Karena itu, perlu adanya pendekatan daerah untuk mengentaskan kemiskinan.
Koordinasi dan kolaborasi antar stakeholder yang ada memang perlu ditingkatkan meski saat ini sebenarnya langkah menuju pengentasan kemiskinan tersebut sudah dilakukan. "SKPD sebenarnya sudah membahas tetapi masih sendiri-sendiri," tuturnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY Bambang Kristiawan mengungkapkan, meski dikenal sebagai kota modern, namun ternyata ketimpangan pengeluaran di DIY cukup parah. Kesenjangan pengeluaran tersebut juga memperlihatkan ketimpangan pendapatan di wilayah ini.
Pembangunan yang belum merata di samping akses transportasi umum yang masih kurang dituding jadi penyebabnya. Belum lama ini, BPS memang mensurvei tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk. Salah satu ukuran dari ketimpangan yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0-1.
Semakin tinggi nilai gini ratio, maka semakin tinggi pula angka ketimpangan di sebuah wilayah, seperti di DIY. "Gini ratio DIY pada Maret 2012 sebesar 0,434," tuturnya.
Gini ratio di wilayah ini cenderung fluktuasi dan September 2014 mencapai 0,435. Pada Maret 2016, gini ratio DIY ada di level 0,420 atau menurun dibanding Maret 2015 sebesar 0,433. Gini ratio Maret 2016 tidak mengalami perubahan dari September 2015.
Kondisi ini, lanjut dia, sebenarnya sudah menunjukkan pemerataan pengeluaran di DIY sudah mengalami perbaikan selama periode Maret 2015-Maret 2016. Kendati demikian, gini ratio di DIY selalu di atas nilai gini ratio nasional. Gini ratio Maret 2016 secara nasional hanya 0,397, lebih rendah dari DIY.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI)Yogyakarta Arif Budi Santosa mengatakan, kesenjangan yang terjadi saat ini sebenarnya menyangkut masalah kemiskinan.
Kemiskinan yang terjadi di beberapa titik di DIY sampai saat ini masih belum bisa terpecahkan meski berbagai program pengentasan kemiskinan telah diluncurkan pemerintah setempat dengan melibatkan berbagai pihak. "Angka kesenjangan tidak lepas dari kemiskinan yang terjadi," katanya, Senin (19/9/2016).
Salah satu yang sedang diupayakan adalah menjaga pertumbuhan ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan. Keluarga atau warga miskin yang ada saat ini menjadi target pertumbuhan ekonomi inklusi dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Artinya, pertumbuhan ekonomi harus dirasakan seluruh masyarakat dan untuk mengurangi kesenjangan.
Menurutnya, langkah-langkah pertumbuhan ekonomi inklusi memang harus menyentuh langsung kepada masyarakat miskin tersebut. Salah satu sumber daya utama untuk pertumbuhan ekonomi inklusi tersebut adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Arif mengatakan, dukungan terhadap UMKM harus ditingkatkan. Kolaborasi mengembangkan UMKM lebih diintensikan agar tujuan yang ditetapkan bisa tercapai. Karena itu, perlu adanya pendekatan daerah untuk mengentaskan kemiskinan.
Koordinasi dan kolaborasi antar stakeholder yang ada memang perlu ditingkatkan meski saat ini sebenarnya langkah menuju pengentasan kemiskinan tersebut sudah dilakukan. "SKPD sebenarnya sudah membahas tetapi masih sendiri-sendiri," tuturnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY Bambang Kristiawan mengungkapkan, meski dikenal sebagai kota modern, namun ternyata ketimpangan pengeluaran di DIY cukup parah. Kesenjangan pengeluaran tersebut juga memperlihatkan ketimpangan pendapatan di wilayah ini.
Pembangunan yang belum merata di samping akses transportasi umum yang masih kurang dituding jadi penyebabnya. Belum lama ini, BPS memang mensurvei tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk. Salah satu ukuran dari ketimpangan yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0-1.
Semakin tinggi nilai gini ratio, maka semakin tinggi pula angka ketimpangan di sebuah wilayah, seperti di DIY. "Gini ratio DIY pada Maret 2012 sebesar 0,434," tuturnya.
Gini ratio di wilayah ini cenderung fluktuasi dan September 2014 mencapai 0,435. Pada Maret 2016, gini ratio DIY ada di level 0,420 atau menurun dibanding Maret 2015 sebesar 0,433. Gini ratio Maret 2016 tidak mengalami perubahan dari September 2015.
Kondisi ini, lanjut dia, sebenarnya sudah menunjukkan pemerataan pengeluaran di DIY sudah mengalami perbaikan selama periode Maret 2015-Maret 2016. Kendati demikian, gini ratio di DIY selalu di atas nilai gini ratio nasional. Gini ratio Maret 2016 secara nasional hanya 0,397, lebih rendah dari DIY.
(izz)