2017, Pertumbuhan Ekonomi Yogyakarta Berkisar di 5,0%-5,4%

Kamis, 22 Desember 2016 - 06:22 WIB
2017, Pertumbuhan Ekonomi Yogyakarta Berkisar di 5,0%-5,4%
2017, Pertumbuhan Ekonomi Yogyakarta Berkisar di 5,0%-5,4%
A A A
YOGYAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2016 berkisar di angka 5%. Hal tersebut berkaca pada pertumbuhan ekonomi Yogyakarta pada triwulan III yang mencapai angka 4,68%. Angka tersebut melambat dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 5,47%, bahkan lebih lambat dibanding triwulan yang sama tahun 2015 lalu sebesar 5,3%.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta, Arief Budi Santosa mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta memang masih belum bisa beranjak dari angka 5%, karena terpengaruh dari kondisi ekonomi Indonesia pada umumnya. Kondisi ekonomi di Indonesia saat ini juga masih terpengaruh dengan kondisi perekonomian secara global.

"Harga komoditas masih rendah, perlambatan ekonomi masih terjadi. Pertumbuhan Amerika Serikat masih di angka 3%, lebih rendah dari tahun sebelumnya 3,2%. Sementara pasar belum solid akibat pengaruh Amerika dan juga Brexit masih terasa," paparnya, Rabu (21/12/2016).

Kondisi global tersebut masih akan berdampak terhadap keadaan ekonomi di Yogyakarta pada tahun depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi selama tahun 2017 berada di angka 5%-5,4% dengan struktur ekonomi ditopang oleh permintaan domestik. Pemanfaatan peluang seperti memperkuat sektor pariwisata akan mempengaruhi keyakinan swasta untuk melakukan investasi.

Keyakinan swasta untuk bergairah kembali akan menjadi penentu geliat ekonomi di Yogyakarta lebih cepat di tengah kondisi ekonomi global yang kini tengah lesu. Sementara angka inflasi masih akan terkendali di angka target 4+-1% di tahun 2017, seiring dengan semangat Bank Indonesia mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya.

Searah dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional, ia yakin pertumbuhan ekonomi Yogyakarta akan lebih baik dibanding dengan tahun sebelumnya, ditopang dengan permintaan domestik yang meningkat. Akselerasi konsumsi rumah tangga yang meningkat seiring dengan peningkatan Upah Minimum Kota (UMK) ditambah dengan selesainya pembayaran ganti untung lahan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) akan mendorong kinerja konsumsi dan investasi.

"Di sisi sektoral, pariwisata akan tetap tumbuh seiring dengan membaiknya perekonomian domestik. Sesuai dengan karakteristik pariwisata Yogyakarta yang masih didominasi oleh wisatawan domestik. Dengan berbagai potensi tersebut, kami yakin pertumbuhan ekonomi Yogyakarta tahun 2017 mendatang berkisar di angka 5%-5,4%," paparnya.

Optimisme tersebut, lanjutnya tidak lepas dari kinerja investasi yang kini menunjukkan perbaikan. Terkait dengan kondisi ekonomi Yogyakarta dari sisi permintaan, komponen pendukung ekonomi Yogyakarta adalah konsumsi yang menjadi pendorong utama karena mencapai 70% dari total PDRB di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, menurutnya yang perlu dioptimalkan adalah mendorong investasi lebih banyak lagi. Selama ini komposisi investasi baru sekitar 30%. Namun besarnya investasi tersebut tidak sejalan dengan besarnya nilai investasi yang masuk ke Yogyakarta.

Bank Indonesia mencatat secara nominal investasi yang masuk ke Yogyakarta masih sangat kecil dibandingkan dengan daerah lainnya di Pulau Jawa dan Bali. Hal ini tentu menjadi bahan yang harus dievaluasi mengapa nilai investasi yang masuk ke Yogyakarta tergolong kecil meski berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kemudahan investasi.

Arief mengungkapkan, meski lebih dari 50% investasi yang masuk ke Indonesia baik Penanaman Modal Asing (PMA) ataupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sebagian besar lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa, namun yang masuk ke Yogyakarta sangat kecil. Pihaknya mencatat nilai investasi yang masuk ke Yogyakarta kurang dari 0,5% dari seluruh investasi yang ada di Indonesia. "Hingga September, total jumlah investasi dalam negeri yang masuk ke Yogyakarta hanya sebesar Rp937 miliar," tuturnya.

Sebenarnya, nilai investasi tersebut meningkat dibandingkan dengan jumlah investasi ke Yogyakarta tahun 2015. Tahun lalu, nilai investasi dalam negeri yang masuk ke Yogyakarta mencapai Rp362 miliar. Sementara jumlah investasi asing yang masuk justru menurun dibandingkan dengan tahun 2015 yang lalu. BI mencatat, jumlah investasi asing ke Yogyakarta tahun 2015 mencapai USD89 juta.

Nilai investasi asing tahun 2016 mengalami penurunan cukup drastis, karena hingga akhir September 2016, BI mencatat nilai investasi hanya sebesar USD18 juta. Hal ini menurut Arief, turunnya jumlah investasi asing ini merupakan salah satu indikasi masih lemahnya perbaikan ekonomi global. Dan di sisi lain menunjukkan bahwa perekonomian saat ini mampu tumbuh seiring dengan kuatnya perekonomian dalam negeri.

Menurutnya, jika dicermati sektor yang menjadi favorit untuk investasi memang tidak lepas dari sektor pariwisata. Ia mencontohkan, beberapa sektor yang menjadi favorit dari para investor dalam negeri adalah sektor perumahan, perdagangan, hotel dan restoran, industri tekstil. Sementara investor dari luar negeri cenderung pada sektor perdagangan, industri tekstil, kertas, hotel dan restoran.

"Artinya sektor pariwisata yang diwakili oleh perdagangan, hotel dan restoran masih menjadi favorit dan penopang perekonomian di Yogyakarta," terangnya.

Arief menambahkan, pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta masih ditopang oleh permintaan domestik. Dengan meningkatkan pemanfaatan potensi yang ada maka akan meningkatkan keyakinan pengusaha dalam lokal (swasta) untuk berperan serta. Tumbuhan keyakinan atau gairah swasta untuk berinvestasi menjadi penentu pertumbuhan ekonomi.

Ketua Bidang Organisasi Kamar Dagang Dan Industri (Kadin) Yogyakarta, Gonang Djuliastono menambahkan, keberadaan bandara baru memang membawa angin segar bagi Yogyakarta. Hanya saja, Kadin menginginkan agar peran pengusaha lokal lebih besar dalam proses pembangunan serta operasional bandara.

Ia yakin, pembangunan serta operasional bandara nanti mampu menyerap setidaknya 50.000 orang tenaga kerja. Sumber daya manusia (SDM) di Yogyakarta harus mampu menangkap peluang tersebut agar nanti tidak didominasi oleh SDM dari luar dan juga pengusaha dari luar daerah atau luar negeri yang berperan dalam penyelesaian dan operasional bandara.

"Sektor jasa, produksi, infrastruktur ataupun tourisme masih menjadi peluang. Untuk itu, perlu adanya konsorsium pengusaha lokal agar mampu bersaing dengan pengusaha nasional," tandasnya.

Sementara itu, pembangunan bandara baru di Yogyakarta memang membawa optimisme baru bagi insan pariwisata di Yogyakarta. Hanya saja, di satu sisi menimbulkan kekhawatiran baru bagi mereka. Menurut Ketua Asita Yogyakarta, Udi Sudiyana, ketika bandara baru dibangun dengan adanya fasilitas jalur langsung menuju ke Candi Borobudur, maka pariwisata di Yogyakarta berpotensi kehilangan semalam lama inap para wisatawan.

"Wisatawan datang melalui NYIA sore hari langsung ke Borobudur dan menginap di sana. Baru ke sini pada pagi hari, sore meneruskan kembali ke Bali atau destinasi lainnya. Kita kehilanganpotensi menginap lagi," tuturnya.

Agar tidak terjadi, maka ia menyarankan agar insan pariwisata di Yogyakarta lebih kreatif lagi mengemas pariwisata di Yogyakarta. Harus ada standarisasi objek wisata yang ada di Yogyakarta, agar ada hal-hal yang standar yang harus dipenuhi oleh pengelola objek wisata. Standarisasi desa wisata juga sangat penting agar ada hal-hal yang minimal dipenuhi oleh pengelola.

Selain itu, tambahnya, pihaknya juga mendorong agar kreativitas event atau pertunjukan di objek wisata. Selama ini, seringkali event antara objek wisata yang satu dengan objek wisata yang lain sangat mirip. Sebut saja Merti Dusun, selalu saja diisi dengan kirab gunungan hingga pertunjukkan wayang. "Harusnya dibuat lain kemasannya," tandasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7691 seconds (0.1#10.140)