Menteri ESDM Izinkan Nikel dan Bauksit Diekspor
A
A
A
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memutuskan tetap mengizinkan nikel, ore dan bauksit untuk tetap diekspor. Padahal sebelumnya pemerintah sempat mewacanakan untuk menutup izin ekspor tiga produk mineral mentah tersebut untuk membangkitkan industri di dalam negeri.
(Baca Juga: Izinkan Ekspor Mineral Mentah, Jonan Usul Bea Keluar Naik Jadi 10%)
Untuk nikel, yang diperbolehkan diekspor adalah nikel ore dengan kadar di bawah 1,7%. Sementara bauksit, yang diperbolehkan diekspor adalah hasil pencucian dengan kadar 42%.
Jonan mengungkapkan, dua jenis mineral mentah tersebut boleh diekspor namun dengan syarat perusahaan tambang tersebut harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan smelter yang ada di dalam negeri. Jadi, nikel dan bauksit yang diekspor adalah sisa dari kebutuhan di dalam negeri.
"Ada jenis tertentu yang harus memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri dulu. Sampai sekurang-kurangnya 30% dari kapasitas input pengolahan. Nah kalau misalnya kelebihan silakan diekspor," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Namun demikian, sambung mantan Menteri Perhubungan ini, perusahaan tersebut juga harus membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) terlebih dahulu jika ingin memperoleh izin untuk ekspor nikel dan bauksit. Pembangunan smelter ini harus rampung dalam lima tahun dan pemerintah akan mengawasi progressnya setiap enam bulan.
"Kita akan awasi, kalau tidak kita tidak akan kasih. Ekspor bijih besi kek, tembaga apa nikel yang tidak mengalami proses pemurnian lima tahun kita kasih," imbuh dia.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambag Gatot menambahkan, sejatinya komitmen pemerintah adalah untuk hilirisasi. Karena itu, pemerintah menekankan kepada perusahaan tambang untuk membangun nikel.
"Khusus untuk nikel dan bauksit, kita mewajibkan untuk smelter yang sudah dibangun dan telah membangun. Nikel kadar rendah dan bauksit, itu nikelnya minimal 30% harus diserap. Minimum, syukur-syukur bisa diserap semuanya. Untuk bauksit demikian juga," tegasnya.
(Baca Juga: Izinkan Ekspor Mineral Mentah, Jonan Usul Bea Keluar Naik Jadi 10%)
Untuk nikel, yang diperbolehkan diekspor adalah nikel ore dengan kadar di bawah 1,7%. Sementara bauksit, yang diperbolehkan diekspor adalah hasil pencucian dengan kadar 42%.
Jonan mengungkapkan, dua jenis mineral mentah tersebut boleh diekspor namun dengan syarat perusahaan tambang tersebut harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan smelter yang ada di dalam negeri. Jadi, nikel dan bauksit yang diekspor adalah sisa dari kebutuhan di dalam negeri.
"Ada jenis tertentu yang harus memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri dulu. Sampai sekurang-kurangnya 30% dari kapasitas input pengolahan. Nah kalau misalnya kelebihan silakan diekspor," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Namun demikian, sambung mantan Menteri Perhubungan ini, perusahaan tersebut juga harus membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) terlebih dahulu jika ingin memperoleh izin untuk ekspor nikel dan bauksit. Pembangunan smelter ini harus rampung dalam lima tahun dan pemerintah akan mengawasi progressnya setiap enam bulan.
"Kita akan awasi, kalau tidak kita tidak akan kasih. Ekspor bijih besi kek, tembaga apa nikel yang tidak mengalami proses pemurnian lima tahun kita kasih," imbuh dia.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambag Gatot menambahkan, sejatinya komitmen pemerintah adalah untuk hilirisasi. Karena itu, pemerintah menekankan kepada perusahaan tambang untuk membangun nikel.
"Khusus untuk nikel dan bauksit, kita mewajibkan untuk smelter yang sudah dibangun dan telah membangun. Nikel kadar rendah dan bauksit, itu nikelnya minimal 30% harus diserap. Minimum, syukur-syukur bisa diserap semuanya. Untuk bauksit demikian juga," tegasnya.
(akr)