Industri Makanan Minuman Tidak Siap Implementasi UU JPH
A
A
A
JAKARTA - Industri makanan dan minuman menyatakan tidak siap jika harus mengimplementasikan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pada seluruh lapisan industrinya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, hanya sebagian kecil saja yang siap untuk sertifikasi halal. Sementara untuk kelas menengah masih banyak yang belum bersertifikasi halal.
"Nanti kalau mereka enggak bersertifikat halal, tidak bisa menjual produknya karena ada pidana. Pemerintah kalau enggak mau mengubah UU JPH, dampaknya ke ekonomi akan banyak sekali. Ujung-ujungnya jadi sasaran empuk negara lain," ujarnya di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Adhi melanjutkan, industri makanan dan minuman sangat mendukung jaminan produk halal. Menurutnya, potensi pasar halal sangat besar namun harus dibedakan antara potensi pasar dengan kewajiban halal.
"Yang kita butuhkan bukan selembar kertas sertifikat halal. Yang perlu kita bangun adalah bagaimana jaminan halal itu berlaku dari hulu sampai hilir," ungkapnya.
Menurutnya, aturan UU JPH harus direvisi terkait beberapa pasal yang masih membebankan industri. Pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemerintah agar UU JPH direvisi sebelum 2019.
"Harus ada revisi di pasal 4. Jadi buat yang menyatakan produknya halal, kalau enggak ada ya tidak usah direvisi. Banyak produk-produk yang halal tapi enggak merasa membutuhkan sertifikat. Konsumen juga bijak, masa keripik singkong atau air putih butuh juga. Itu yang harus dilihat," jelasnya.
Seperti diketahui, saat ini ketentuan wajib bersertifikat dilakukan bertahap, yaitu sebanyak tiga tahap terhitung mulai 1 November 2016 hingga tahun 2019. Kewajiban bersertifikat halal pada tahun pertama dilakukan pada produk berupa barang dan atau jasa yang terkait dengan makanan minuman.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan, beberapa persoalan seperti produk yang wajib bersertifikasi halal terlalu luas. Sementara dari industri belum ada kesiapan. "Semua masalah waktu dan biaya. Ini juga harus diperhitungkan karena menurut saya terlalu singkat diterapkan di 2017. Sementara produknya ada jutaaan dan setiap produk harus difasilitasi," ujarnya.
Menurutnya, untuk produk makanan dan minuman yang sebagian besar terkena aturan ini tentu harus berhati-hati mengingat industri ini masih menjadi andalan karena kontribusinya besar. "Dengan adanya UU JPH ini tentu saja tujuannya baik, yaitu agar ada kepastian mengenai makanan itu ada yang halal dan haram. Namun masih banyak hal-hal belum jelas mengenai bagaimana implementasinya," kata Panggah.
Kasubdit Produk Halal Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Siti Aminah mengatakan, dengan adanya jaminan produk halal akan menjadi nilai tambah bagi pelaku usaha itu sendiri. "Dalam penyusunan, kami berusaha sebijaksana mungkin agar aturan yang kami susun mengikuti pelaku usaha," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah berupaya agar penerapan UU JPH ini dapat diantisipasi dengan baik terutama terkait dengan biaya sertifikasi halal bagi kalangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). "Ada bantuan untuk sertifikasi halal namun tidak besar. Banyak dari UMKM yang harus kami bantu tapi enggak semua punya keinginan kuat untuk sertifikasi halal," ungkapnya.
Siti melanjutkan, pihaknya mendapat surat pernyataan keberatan dari sejumlah industri terkait pemberlakukan sertifikat halal. Menurutnya, mereka keberatan karena merasa dirugikan secara ekonomi. "Penyelenggaraan JPH merupakan tanggung jawab pemerintah. Kita memang satu-satunya negara yang mewajibkan sertifikasi halal. Kita cari solusi terbaik agar UU ini bisa diselesaikan secara bijak," tandasnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, hanya sebagian kecil saja yang siap untuk sertifikasi halal. Sementara untuk kelas menengah masih banyak yang belum bersertifikasi halal.
"Nanti kalau mereka enggak bersertifikat halal, tidak bisa menjual produknya karena ada pidana. Pemerintah kalau enggak mau mengubah UU JPH, dampaknya ke ekonomi akan banyak sekali. Ujung-ujungnya jadi sasaran empuk negara lain," ujarnya di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Adhi melanjutkan, industri makanan dan minuman sangat mendukung jaminan produk halal. Menurutnya, potensi pasar halal sangat besar namun harus dibedakan antara potensi pasar dengan kewajiban halal.
"Yang kita butuhkan bukan selembar kertas sertifikat halal. Yang perlu kita bangun adalah bagaimana jaminan halal itu berlaku dari hulu sampai hilir," ungkapnya.
Menurutnya, aturan UU JPH harus direvisi terkait beberapa pasal yang masih membebankan industri. Pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemerintah agar UU JPH direvisi sebelum 2019.
"Harus ada revisi di pasal 4. Jadi buat yang menyatakan produknya halal, kalau enggak ada ya tidak usah direvisi. Banyak produk-produk yang halal tapi enggak merasa membutuhkan sertifikat. Konsumen juga bijak, masa keripik singkong atau air putih butuh juga. Itu yang harus dilihat," jelasnya.
Seperti diketahui, saat ini ketentuan wajib bersertifikat dilakukan bertahap, yaitu sebanyak tiga tahap terhitung mulai 1 November 2016 hingga tahun 2019. Kewajiban bersertifikat halal pada tahun pertama dilakukan pada produk berupa barang dan atau jasa yang terkait dengan makanan minuman.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan, beberapa persoalan seperti produk yang wajib bersertifikasi halal terlalu luas. Sementara dari industri belum ada kesiapan. "Semua masalah waktu dan biaya. Ini juga harus diperhitungkan karena menurut saya terlalu singkat diterapkan di 2017. Sementara produknya ada jutaaan dan setiap produk harus difasilitasi," ujarnya.
Menurutnya, untuk produk makanan dan minuman yang sebagian besar terkena aturan ini tentu harus berhati-hati mengingat industri ini masih menjadi andalan karena kontribusinya besar. "Dengan adanya UU JPH ini tentu saja tujuannya baik, yaitu agar ada kepastian mengenai makanan itu ada yang halal dan haram. Namun masih banyak hal-hal belum jelas mengenai bagaimana implementasinya," kata Panggah.
Kasubdit Produk Halal Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Siti Aminah mengatakan, dengan adanya jaminan produk halal akan menjadi nilai tambah bagi pelaku usaha itu sendiri. "Dalam penyusunan, kami berusaha sebijaksana mungkin agar aturan yang kami susun mengikuti pelaku usaha," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah berupaya agar penerapan UU JPH ini dapat diantisipasi dengan baik terutama terkait dengan biaya sertifikasi halal bagi kalangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). "Ada bantuan untuk sertifikasi halal namun tidak besar. Banyak dari UMKM yang harus kami bantu tapi enggak semua punya keinginan kuat untuk sertifikasi halal," ungkapnya.
Siti melanjutkan, pihaknya mendapat surat pernyataan keberatan dari sejumlah industri terkait pemberlakukan sertifikat halal. Menurutnya, mereka keberatan karena merasa dirugikan secara ekonomi. "Penyelenggaraan JPH merupakan tanggung jawab pemerintah. Kita memang satu-satunya negara yang mewajibkan sertifikasi halal. Kita cari solusi terbaik agar UU ini bisa diselesaikan secara bijak," tandasnya.
(ven)