Freeport Dikabarkan Lapor ke Arbitrase, Ini Tanggapan Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Kabar yang menyebutkan PT Freeport Indonesia (PTFI) akan membawa masalah divestasi dan izin tambang di Indonesia ke badan arbitrase internasional mendapat tanggapan dari pemerintah. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik.
"Itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Namun, pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan, dalam pernyataan resminya, Sabtu (18/2/2017).
Namun, lanjut Jonan, itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai (PHK) sebagai alat menekan pemerintah (langkah yang dilakukan Freeport).
"Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," ujarnya.
Jonan sendiri berharap Freeport tidak alergi dengan ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya pertama antara PTFI dan pemerintah Indonesia, yang juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.
"Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah," katanya.
"Namun, divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia," terang Jonan.
Freeport sendiri disebut-sebut akan mengadukan kasus tambang di Indonesia ke badan arbitrasi dengan tuntutan sebesar Rp500 triliun. Mengonfirmasi kebenaran kabar ini, juru bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama belum bersedia memberikan komentar. "Saya belum bisa komentar soal itu," ucapnya singkat, saat dikonfirmasi SINDOnews melalui pesan singkat Whats App (WA).
"Itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Namun, pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan, dalam pernyataan resminya, Sabtu (18/2/2017).
Namun, lanjut Jonan, itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai (PHK) sebagai alat menekan pemerintah (langkah yang dilakukan Freeport).
"Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," ujarnya.
Jonan sendiri berharap Freeport tidak alergi dengan ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya pertama antara PTFI dan pemerintah Indonesia, yang juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.
"Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah," katanya.
"Namun, divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia," terang Jonan.
Freeport sendiri disebut-sebut akan mengadukan kasus tambang di Indonesia ke badan arbitrasi dengan tuntutan sebesar Rp500 triliun. Mengonfirmasi kebenaran kabar ini, juru bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama belum bersedia memberikan komentar. "Saya belum bisa komentar soal itu," ucapnya singkat, saat dikonfirmasi SINDOnews melalui pesan singkat Whats App (WA).
(dmd)