Freeport Diminta Tak Gugat Pemerintah ke Arbitrase
A
A
A
JAKARTA - Ancaman Freeport McMoran Inc yang bakal menggugat Pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional dinilai bisa memicu konflik nasionalisme versus werternisasi. Karena itu, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi meminta perusahaan induk PT Freeport Indonesia itu membatalkan niat untuk menyeret Pemerintah Indonesia ke peradilan internasional.
(Baca Juga: Tempuh Jalur Arbitrase, Freeport Disebut Berpotensi Bangkrut
Menurut politikus Partai Golkar ini, lebih baik persoalan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia itu dan pembangunan smelter tetap dalam koridor bisnis komersial. "Jangan sampai pakai ancaman yang bisa berpotensi membangkitkan konflik, dan menggeser menjadi masalah nasionalisme vs westernisasi," kata Bobby di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2/2017).
Dia berpendapat, kondisi masyarakat Indonesia yang terkoneksi dengan media sosial, yang masih rawan hoax, bisa terbakar dengan isu-isu yang kontraproduktif. Sebab, situasi saat ini menurutnya masih belum kondusif pasca Pilkada serentak 2017.
"Ketegangan ini dikarenakan perwakilan Freeport di Indonesia adalah profil yang cenderung malah menimbulkan konflik baru. Seperti petinggi Freeport, dari kalangan militer, yang memang bukan bidangnya, malah membuat panas," katanya.
Dia berpendapat, sebaiknya Freeport mencari figur pengganti Chappy Hakim yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah, profesional, dan berintegritas.
"Bisa saja misal mantan-mantan komisioner KPK yang juga berpengalaman di bidang energi seperti Pak Waluyo dari BP, atau Pak Chandra Hamzah yang di PLN. Atau penggiat yang kritis tapi konstruktif seperti Agus Pambagyo, Refly Harun atau Fadjroel yang pengalaman di perusahaan pemerintah besar," katanya. Legislator wilayah Sumatra Selatan II ini mengatakan hubungan perwakilan manajemen Freeport di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kurang pas.
Padahal Freeport Indonesia juga ada andil membesarkan pengusaha-pengusaha nasional di Indonesia. Dia pun menilai pemerintah juga harus realistis, sebab tak mungkin investor membangun smelter saat ini tanpa ada kejelasan masa kerja.
"Hanya tinggal 2 tahun, lebih baik pinalty saja dan jadikan smelter syarat utama perpanjangan. Jadi berdamailah Freeport, tunjuk liason baru yang tidak berpotensi menimbulkan konflik lagi, dan tetap bernegosiasi dalam koridor bisnis yang adil," paparnya.
(Baca Juga: Tempuh Jalur Arbitrase, Freeport Disebut Berpotensi Bangkrut
Menurut politikus Partai Golkar ini, lebih baik persoalan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia itu dan pembangunan smelter tetap dalam koridor bisnis komersial. "Jangan sampai pakai ancaman yang bisa berpotensi membangkitkan konflik, dan menggeser menjadi masalah nasionalisme vs westernisasi," kata Bobby di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2/2017).
Dia berpendapat, kondisi masyarakat Indonesia yang terkoneksi dengan media sosial, yang masih rawan hoax, bisa terbakar dengan isu-isu yang kontraproduktif. Sebab, situasi saat ini menurutnya masih belum kondusif pasca Pilkada serentak 2017.
"Ketegangan ini dikarenakan perwakilan Freeport di Indonesia adalah profil yang cenderung malah menimbulkan konflik baru. Seperti petinggi Freeport, dari kalangan militer, yang memang bukan bidangnya, malah membuat panas," katanya.
Dia berpendapat, sebaiknya Freeport mencari figur pengganti Chappy Hakim yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah, profesional, dan berintegritas.
"Bisa saja misal mantan-mantan komisioner KPK yang juga berpengalaman di bidang energi seperti Pak Waluyo dari BP, atau Pak Chandra Hamzah yang di PLN. Atau penggiat yang kritis tapi konstruktif seperti Agus Pambagyo, Refly Harun atau Fadjroel yang pengalaman di perusahaan pemerintah besar," katanya. Legislator wilayah Sumatra Selatan II ini mengatakan hubungan perwakilan manajemen Freeport di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kurang pas.
Padahal Freeport Indonesia juga ada andil membesarkan pengusaha-pengusaha nasional di Indonesia. Dia pun menilai pemerintah juga harus realistis, sebab tak mungkin investor membangun smelter saat ini tanpa ada kejelasan masa kerja.
"Hanya tinggal 2 tahun, lebih baik pinalty saja dan jadikan smelter syarat utama perpanjangan. Jadi berdamailah Freeport, tunjuk liason baru yang tidak berpotensi menimbulkan konflik lagi, dan tetap bernegosiasi dalam koridor bisnis yang adil," paparnya.
(akr)