Industri Keuangan Syariah Masih Dalam Perangkap 5%
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong antara pelaku industri keuangan syariah saling bersinergi demi inovasi produk. Industri perbankan syariah disebut masih belum bisa keluar dari perangkap market share di kisaran 5%. Hal ini menandakan belum ada perkembangan berarti di sektor syariah.
Berdasarkan data OJK, Aset Perbankan Syariah (BUS, UUS, dan BPRS) per 31 Januari 2017 sebesar Rp353,5 triliun. Nilai ini dengan rincian kontribusi dari Bank Umum Syariah Rp248,8, triliun, Unit Usaha Syariah Rp95,5 triliun dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Rp9,2 triliun. Dengan demikian kontribusi tersebut membuat posisi market share perbankan syariah hanya di level 5,18%.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad mengatakan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang besar di industri keuangan syariah. Namun hanya menduduki peringkat ke 9 dari sisi jumlah aset industri jasa keuangan syariah.
"Menurut State Global Islamic Economic, disebutkan secara global, aset industri jasa keuangan syariah USD2 triliun di 2016 dan diperkirakan akan capai USD3 triliun pada 2021. Tapi Indonesia sebagai negara penduduk muslim nomor satu peringkatnya sembilan dari 10 Islamic Finance asset. Harusnya dengan penduduknya nomor satu terbesar, artinya asetnya juga bisa nomor satu," ujar Muliaman dalam jumpa pers Forum SIKOMPAK Syariah di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Muliaman memandang, hal itu karena kurangnya penetrasi produk-produk keuangan syariah. Karena itu dia memandang industri jasa keuangan perlu secara intensif mengeluarkan produk-produk keuangan syariah yang unggulan.
"Butuh produk-produk unggulan yang menjadi lokomotif di perkembangan keuangan syariah. Saya lihat itu belum ada. Oleh karena itu saya harap ada produk yang diluncurkan untuk bisa menjadi lokomotif. Kita memang harus inovatif dalam mencari terobosan," ujarnya.
Semua pelaku pasar harus kedepankan konsep berjamaah bersama seluruh jasa keuangan syariah. Industri syariah memiliki fitur yanglebih banyak dibandingkan konvensional, seperti dapat menjadi investment bank yang tidak bisa digunakan bank konvensional. Biaya juga bisa lebih murah.
"Kita tahu begitu banyak potensi keuangan syariah. Ada potensi kecil-kecil di mikro finance, reksadana mikro, atau mikro insurance. Kita bisa buka akses keuangan yang luas di bawah. Kemudian segmen menengah juga potensial dengan kemampuan untuk berinvestasi. Kemudian juga bisa masuk ke segmen besarnya juga," ujarnya.
Menurut Muliaman, pada umumnya segmen menengah punya kemampuan berinvestasi dan butuh instrumen keuangan yang sophisticated. Sehingga industri jasa keuangan bisa menyasar mereka karena mulai peduli investasi.
"Di bawah harus bisa buka akses yang kecil-kecil. Kalau kita mampu akses yang kecil akan jadi solid, apalagi yang tengah. Di bawah di sasar, di tengah dioptimalkan. Di atas yang besar-besar harus dioptimalkan kaya jalan tol. Saya rasa keuangan syariah bisa jawab itu," jelasnya.
Selain itu, industri keuangan syariah juga didukung komitmen pemerintah yang jelas dalam membesarkan industri keuangan syariah. Misalnya dengan membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dicanangkan pemerintah. "Belum lagi undang-undang, ada UU SBN, Didukung dengan fatwa. Tapi kenapa belum berkembang? Kita harus cari terobosan agar tidak terus-menerus ada di status quo yang saya rasa dalam kekurangan kita," ungkapnya.
Sejauh ini, market share industri keuangan syariah masih sangat minim bila dibandingkan industri keuangan konvensional. Secara rinci aset Perbankan Syariah (BUS, UUS, dan BPRS) baru sebesar Rp353,5 triliun dengan market share 5,18%. Sementara per 10 Maret 2017, aset Saham Syariah Rp3,201,03 triliun (market share 54,68%), Sukuk Korporasi Rp11,75 triliun (3,69%), Reksa Dana Syariah Rp16,12 triliun (4,59%), dan SBSN Rp420,91 triliun (15,18%).
Sementara per 31 Desember 2016, aset asuransi Syariah Rp33,24 triliun (market share 3,44%), Lembaga Pembiayaan Rp36,94 triliun (7,24%), Lembaga Jasa Keuangan Khusus Rp18,43 triliun (9,93%), Lembaga Keuangan Mikro Rp0,63 triliun (22,36%).
Oleh sebab itu, lanjutnya industri keuangan syariah harus bersinergi, saling terkait dan membuat terobosan baru untuk membesarkan market share industri keuangan syariah. "Kita perlu terobosan dalam strategi. Kalau business as usual dalam beberapa tahun terakhir enggak lihat perkembangan yang meyakinkan. Perlu pemikiran bersama, pendekatan koordinasi, saling mendorong satu sama lainnya dan terobosan baru di tengah-tengah tantangan yang dihadapi," ucap Muliaman.
Berdasarkan data OJK, Aset Perbankan Syariah (BUS, UUS, dan BPRS) per 31 Januari 2017 sebesar Rp353,5 triliun. Nilai ini dengan rincian kontribusi dari Bank Umum Syariah Rp248,8, triliun, Unit Usaha Syariah Rp95,5 triliun dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Rp9,2 triliun. Dengan demikian kontribusi tersebut membuat posisi market share perbankan syariah hanya di level 5,18%.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad mengatakan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang besar di industri keuangan syariah. Namun hanya menduduki peringkat ke 9 dari sisi jumlah aset industri jasa keuangan syariah.
"Menurut State Global Islamic Economic, disebutkan secara global, aset industri jasa keuangan syariah USD2 triliun di 2016 dan diperkirakan akan capai USD3 triliun pada 2021. Tapi Indonesia sebagai negara penduduk muslim nomor satu peringkatnya sembilan dari 10 Islamic Finance asset. Harusnya dengan penduduknya nomor satu terbesar, artinya asetnya juga bisa nomor satu," ujar Muliaman dalam jumpa pers Forum SIKOMPAK Syariah di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Muliaman memandang, hal itu karena kurangnya penetrasi produk-produk keuangan syariah. Karena itu dia memandang industri jasa keuangan perlu secara intensif mengeluarkan produk-produk keuangan syariah yang unggulan.
"Butuh produk-produk unggulan yang menjadi lokomotif di perkembangan keuangan syariah. Saya lihat itu belum ada. Oleh karena itu saya harap ada produk yang diluncurkan untuk bisa menjadi lokomotif. Kita memang harus inovatif dalam mencari terobosan," ujarnya.
Semua pelaku pasar harus kedepankan konsep berjamaah bersama seluruh jasa keuangan syariah. Industri syariah memiliki fitur yanglebih banyak dibandingkan konvensional, seperti dapat menjadi investment bank yang tidak bisa digunakan bank konvensional. Biaya juga bisa lebih murah.
"Kita tahu begitu banyak potensi keuangan syariah. Ada potensi kecil-kecil di mikro finance, reksadana mikro, atau mikro insurance. Kita bisa buka akses keuangan yang luas di bawah. Kemudian segmen menengah juga potensial dengan kemampuan untuk berinvestasi. Kemudian juga bisa masuk ke segmen besarnya juga," ujarnya.
Menurut Muliaman, pada umumnya segmen menengah punya kemampuan berinvestasi dan butuh instrumen keuangan yang sophisticated. Sehingga industri jasa keuangan bisa menyasar mereka karena mulai peduli investasi.
"Di bawah harus bisa buka akses yang kecil-kecil. Kalau kita mampu akses yang kecil akan jadi solid, apalagi yang tengah. Di bawah di sasar, di tengah dioptimalkan. Di atas yang besar-besar harus dioptimalkan kaya jalan tol. Saya rasa keuangan syariah bisa jawab itu," jelasnya.
Selain itu, industri keuangan syariah juga didukung komitmen pemerintah yang jelas dalam membesarkan industri keuangan syariah. Misalnya dengan membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dicanangkan pemerintah. "Belum lagi undang-undang, ada UU SBN, Didukung dengan fatwa. Tapi kenapa belum berkembang? Kita harus cari terobosan agar tidak terus-menerus ada di status quo yang saya rasa dalam kekurangan kita," ungkapnya.
Sejauh ini, market share industri keuangan syariah masih sangat minim bila dibandingkan industri keuangan konvensional. Secara rinci aset Perbankan Syariah (BUS, UUS, dan BPRS) baru sebesar Rp353,5 triliun dengan market share 5,18%. Sementara per 10 Maret 2017, aset Saham Syariah Rp3,201,03 triliun (market share 54,68%), Sukuk Korporasi Rp11,75 triliun (3,69%), Reksa Dana Syariah Rp16,12 triliun (4,59%), dan SBSN Rp420,91 triliun (15,18%).
Sementara per 31 Desember 2016, aset asuransi Syariah Rp33,24 triliun (market share 3,44%), Lembaga Pembiayaan Rp36,94 triliun (7,24%), Lembaga Jasa Keuangan Khusus Rp18,43 triliun (9,93%), Lembaga Keuangan Mikro Rp0,63 triliun (22,36%).
Oleh sebab itu, lanjutnya industri keuangan syariah harus bersinergi, saling terkait dan membuat terobosan baru untuk membesarkan market share industri keuangan syariah. "Kita perlu terobosan dalam strategi. Kalau business as usual dalam beberapa tahun terakhir enggak lihat perkembangan yang meyakinkan. Perlu pemikiran bersama, pendekatan koordinasi, saling mendorong satu sama lainnya dan terobosan baru di tengah-tengah tantangan yang dihadapi," ucap Muliaman.
(ven)