Indonesia Peringkat 4 Produsen Terbesar Alas Kaki
A
A
A
SIDOARJO - Indonesia dikenal sebagai produsen sepatu alas kaki kelas dunia dengan menduduki urutan 4 dunia produsen alas kaki setelah China, India dan Vietnam. Pangsa pasar sepatu alas kaki Indonesia ke dunia mencapai 4,4%, untuk menjadi peluang terus meningkatkan ekspor.
Direktur Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, Aneka dan Kerajinan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) E. Ratna Utarianingrum mengatakan, pertumbuhan alas kaki didorong fashion yang cepat berkembang. "Pada tahun 2020, pangsa pasar sepatu alas kaki nasional ditargetkan 10% ke pasar dunia. Seiring dengan pertambahan penduduk, maka semakin tinggi kebutuhan sepatu," ujarnya di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dia menuturkan, pada tahun 2012, Vietnam berada di bawah Indonesia. Namun Vietnam mengalami pertumbuhan yang sangat cepat sehingga bisa berada di atas Indonesia. "Di Vietnam, konsumsi alas kaki tidak ada. Artinya, Vietnam memproduksi sepatu untuk ekspor besar sekali," terang Ratna.
Lebih lanjut dia menerangkan industri alas kaki nasional lebih banyak dihasilkan oleh industri besar dan menengah baik dalam nilai maupun dalam jumlah produksi. Dari sebaran industri kecil dan mikro alas kaki seluruh Indonesia, 82% berada di dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Konsentrasi industri kecil dan mikro di Jawa Barat berada di Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya. Sedangkan untuk Jawa Timur berkonsentrasi di kota Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Magetan.
"Industri alas kaki mulai tumbuh di zona baru yang tadinya bukan di wilayah industri. Dengan penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak maka akan sangat menekan cost dengan berelokasi ke wilayah yang upahnya lebih rendah," ungkapnya.
Sementara Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, laju pertumbuhan industri alas kaki sampai dengan tahun 2016 mencapai 8,15%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan industri non migas yang mencapai 4,42%.
Ekspor industri sepatu alas kaki tahun 2016 naik 2,95% dengan surplus USD4,15 miliar. "Semakin terbukanya sistem perdagangan, maka langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan daya saing," ujarnya.
Sigit melanjutkan, dalam meningkatkan ekspor alas kaki nasional ke negara-negara Eropa, Kemenperin akan mendorong implementasi perjanjian perdagangan bebas (free trade agreeement/FTA). Sementara negara pesaing produk sepatu di pasar global seperti Vietnam dan Bangladesh tidak dikenai bea masuk karena kedua negara itu dianggap sebagai negara yang underdeveloped di pasar Eropa.
"Kami ingin mendorong adanya FTA dengan negara-negara tersebut. Di Eropa ada tariff barrier yang cukup besar di mana kita harus membayar tarif masuk sebesar 11% untuk alas kaki. Sementara negara-negara pesaing kita tidak dikenakan tarif," ungkapnya.
Ditambahkan olehnya, pemerintah juga akan terus memperluas penetrasi ke pasar-pasar non-tradisional yang selama ini belum dimaksimalkan. "Negara-negara yang prospektif yaitu Timur Tengah dan Afrika. Kami mencari terobosan agar bisa masuk ke pasar tersebut," tandasnya.
Direktur Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, Aneka dan Kerajinan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) E. Ratna Utarianingrum mengatakan, pertumbuhan alas kaki didorong fashion yang cepat berkembang. "Pada tahun 2020, pangsa pasar sepatu alas kaki nasional ditargetkan 10% ke pasar dunia. Seiring dengan pertambahan penduduk, maka semakin tinggi kebutuhan sepatu," ujarnya di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dia menuturkan, pada tahun 2012, Vietnam berada di bawah Indonesia. Namun Vietnam mengalami pertumbuhan yang sangat cepat sehingga bisa berada di atas Indonesia. "Di Vietnam, konsumsi alas kaki tidak ada. Artinya, Vietnam memproduksi sepatu untuk ekspor besar sekali," terang Ratna.
Lebih lanjut dia menerangkan industri alas kaki nasional lebih banyak dihasilkan oleh industri besar dan menengah baik dalam nilai maupun dalam jumlah produksi. Dari sebaran industri kecil dan mikro alas kaki seluruh Indonesia, 82% berada di dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Konsentrasi industri kecil dan mikro di Jawa Barat berada di Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya. Sedangkan untuk Jawa Timur berkonsentrasi di kota Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Magetan.
"Industri alas kaki mulai tumbuh di zona baru yang tadinya bukan di wilayah industri. Dengan penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak maka akan sangat menekan cost dengan berelokasi ke wilayah yang upahnya lebih rendah," ungkapnya.
Sementara Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, laju pertumbuhan industri alas kaki sampai dengan tahun 2016 mencapai 8,15%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan industri non migas yang mencapai 4,42%.
Ekspor industri sepatu alas kaki tahun 2016 naik 2,95% dengan surplus USD4,15 miliar. "Semakin terbukanya sistem perdagangan, maka langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan daya saing," ujarnya.
Sigit melanjutkan, dalam meningkatkan ekspor alas kaki nasional ke negara-negara Eropa, Kemenperin akan mendorong implementasi perjanjian perdagangan bebas (free trade agreeement/FTA). Sementara negara pesaing produk sepatu di pasar global seperti Vietnam dan Bangladesh tidak dikenai bea masuk karena kedua negara itu dianggap sebagai negara yang underdeveloped di pasar Eropa.
"Kami ingin mendorong adanya FTA dengan negara-negara tersebut. Di Eropa ada tariff barrier yang cukup besar di mana kita harus membayar tarif masuk sebesar 11% untuk alas kaki. Sementara negara-negara pesaing kita tidak dikenakan tarif," ungkapnya.
Ditambahkan olehnya, pemerintah juga akan terus memperluas penetrasi ke pasar-pasar non-tradisional yang selama ini belum dimaksimalkan. "Negara-negara yang prospektif yaitu Timur Tengah dan Afrika. Kami mencari terobosan agar bisa masuk ke pasar tersebut," tandasnya.
(akr)