Sri Mulyani Minta Industri Sawit Indonesia Harus Membuktikan Diri
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia harus bisa menjawab pernyataan parlemen Uni Eropa melalui resolusinya, yang menganggap bahwa produk sawit Indonesia tidak berkelanjutan (sustainable), melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan penyebab deforestasi.
Dia mengungkapkan, anggapan dunia yang menganggap produk sawit Indonesia tidak ramah lingkungan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Meskipun sejatinya, kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai hal termasuk dari kelompok yang berkepentingan dalam industri kelapa sawit.
"Ini PR luar biasa penting. Saya berharap industri kelapa sawit bisa membuktikan dari anggapan kegiatan penanaman ini menciptakan gangguan environment. Kita semua tahu Parlemen Eropa tahun ini melakukan resolusi untuk menerapkan rantai pasokan berkelanjutan 100%. Ini kebijakan yang dilatar belakangi berbagai hal dari persepsi sampai interest group," katanya saat menghadiri acara Peluncuran Buku BPDP Kelapa Sawit di Kantor Kemenko, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Sebagai pemain besar dalam industri sawit, tambah mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, Indonesia harus bisa menjawab anggapan Uni Eropa tersebut dengan membuktikan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di Tanah Air ramah lingkungan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
"Indonesia sebagai pemain besar harusnya bisa menjawab, bahwa kita memiliki kegiatan ekonomi yang sustainable secara lingkungan, menyejahterakan tidak hanya petani juga seluruh masyarakat. Jangan sampai yang tidak terlibat harus menanggung seperti kebakaran hutan yang biayanya sampai USD16 miliar," imbuh dia.
Mantan Menko bidang Perekonomian ini berharap, industri kelapa sawit di Indonesia bisa terus berkomitmen mewujudkan keadilan, kemakmuran, kestabilan, dan keberlanjutan.
"Keadilan berarti tidak boleh ada perusahaan yang sangat kaya raya sementara petani tidak menikmati share yang cukup. Atau semua resiko dikasih ke petani. Jadi kalau ada level yang sama-sama itu prinsip keadilan sosial yang harusnya muncul di masing korporasi atau di dalam desain BPDP," pungkasnya.
Dia mengungkapkan, anggapan dunia yang menganggap produk sawit Indonesia tidak ramah lingkungan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Meskipun sejatinya, kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai hal termasuk dari kelompok yang berkepentingan dalam industri kelapa sawit.
"Ini PR luar biasa penting. Saya berharap industri kelapa sawit bisa membuktikan dari anggapan kegiatan penanaman ini menciptakan gangguan environment. Kita semua tahu Parlemen Eropa tahun ini melakukan resolusi untuk menerapkan rantai pasokan berkelanjutan 100%. Ini kebijakan yang dilatar belakangi berbagai hal dari persepsi sampai interest group," katanya saat menghadiri acara Peluncuran Buku BPDP Kelapa Sawit di Kantor Kemenko, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Sebagai pemain besar dalam industri sawit, tambah mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, Indonesia harus bisa menjawab anggapan Uni Eropa tersebut dengan membuktikan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di Tanah Air ramah lingkungan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
"Indonesia sebagai pemain besar harusnya bisa menjawab, bahwa kita memiliki kegiatan ekonomi yang sustainable secara lingkungan, menyejahterakan tidak hanya petani juga seluruh masyarakat. Jangan sampai yang tidak terlibat harus menanggung seperti kebakaran hutan yang biayanya sampai USD16 miliar," imbuh dia.
Mantan Menko bidang Perekonomian ini berharap, industri kelapa sawit di Indonesia bisa terus berkomitmen mewujudkan keadilan, kemakmuran, kestabilan, dan keberlanjutan.
"Keadilan berarti tidak boleh ada perusahaan yang sangat kaya raya sementara petani tidak menikmati share yang cukup. Atau semua resiko dikasih ke petani. Jadi kalau ada level yang sama-sama itu prinsip keadilan sosial yang harusnya muncul di masing korporasi atau di dalam desain BPDP," pungkasnya.
(ven)