Garam Langka, Petani Tolak Rencana Pemerintah Impor Garam
A
A
A
SURABAYA - Rencana impor garam kembali bergulir seiring dengan harga yang terus merangkak naik. Para petani garam pun berharap besar pemerintah tidak melakukan impor karena masa panen garam tinggal menunggu hari saja.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Muhammad Hasan menuturkan, keputusan impor bukan menjadi solusi dalam kelangkaan garam di pasaran saat ini. Pemerintah, kata dia, bisa berharap besar pada panen raya garam yang akan berlangsung pada akhir Juli atau awal Agustus ini.
"Semoga saja Agustus dan September iklim sudah mendukung. Makanya produksi bisa normal lagi untuk memenuhi kebutuhan di pasar," ujar Hasan, Senin (24/7/2017).
Ia melanjutkan, mahalnya harga garam konsumsi di pasaran memang bisa menjadi berkah bagi para petani di 12 daerah di Jawa Timur yang menjadi sentra produksi garam.
Kondisi cuaca yang tak menentu dengan diikuti harga garam yang mahal seperti sekarang ini membuat petani memanen lebih cepat. "Selain faktor iklim, mereka kejar harga tinggi untuk menambah keuntungan," ungkapnya.
Jika biasanya panen garam berlangsung tiap sepuluh hari sekali, kini dalam beberapa hari saja garam sudah dipanen. Hal itu berlangsung hampir di 12 kota dan kabupaten sentra penghasil garam di Jatim. "Tingginya harga juga tidak terlepas dari suplai dan permintaan pasar," ucapnya.
Mestinya, ketika stok bahan baku garam melimpah, harga akan perlahan turun. Sebab, Juli ini sudah memasuki musim panen. Puncak panen diperkirakan berlangsung pada September.
"Kami optimistis dengan penerapan geoisolator di seluruh sentra garam, produksi garam tahun ini meningkat," tegasnya.
Produksi garam nasional pada 2017 diproyeksikan sebesar 2,5 juta ton. Sementara itu, kontribusi Jatim diperkirakan mencapai 1 juta ton. PT Garam sendiri mengelola 5.000 hektare lahan garam yang tersebar di Madura.
Akibat produktivitas yang masih rendah, harga bahan baku garam melonjak. Dulu harganya sekitar Rp500-Rp600 per kg, kini naik hampir enam kali lipat dengan harga Rp3.000 per kg. Sedangkan harga garam konsumsi juga melonjak dari sekitar Rp3.800 per kg tahun lalu menjadi tembus Rp5.000 per kg.
Sesuai perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi iklim pada Juli masih cenderung basah. Dengan demikian, produksi garam belum bisa maksimal pada bulan ini. "Harapan kami, Agustus-September iklim sudah mendukung sehingga produksi bisa normal lagi," katanya.
Sutrisno, salah satu petani garam di Romokalisari menuturkan, saat ini memang menjadi waktu yang tepat untuk mendapatkan keuntungan tinggi. Namun iklim masih saja menjadi kendala utama dalam peningkatan produksi garam. "Kalau saja iklimnya baik bisa sampai berlipat produksinya. Lha ini sekarang panasnya kurang kuat, jadi produksi agak tersendat," jelasnya.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Muhammad Hasan menuturkan, keputusan impor bukan menjadi solusi dalam kelangkaan garam di pasaran saat ini. Pemerintah, kata dia, bisa berharap besar pada panen raya garam yang akan berlangsung pada akhir Juli atau awal Agustus ini.
"Semoga saja Agustus dan September iklim sudah mendukung. Makanya produksi bisa normal lagi untuk memenuhi kebutuhan di pasar," ujar Hasan, Senin (24/7/2017).
Ia melanjutkan, mahalnya harga garam konsumsi di pasaran memang bisa menjadi berkah bagi para petani di 12 daerah di Jawa Timur yang menjadi sentra produksi garam.
Kondisi cuaca yang tak menentu dengan diikuti harga garam yang mahal seperti sekarang ini membuat petani memanen lebih cepat. "Selain faktor iklim, mereka kejar harga tinggi untuk menambah keuntungan," ungkapnya.
Jika biasanya panen garam berlangsung tiap sepuluh hari sekali, kini dalam beberapa hari saja garam sudah dipanen. Hal itu berlangsung hampir di 12 kota dan kabupaten sentra penghasil garam di Jatim. "Tingginya harga juga tidak terlepas dari suplai dan permintaan pasar," ucapnya.
Mestinya, ketika stok bahan baku garam melimpah, harga akan perlahan turun. Sebab, Juli ini sudah memasuki musim panen. Puncak panen diperkirakan berlangsung pada September.
"Kami optimistis dengan penerapan geoisolator di seluruh sentra garam, produksi garam tahun ini meningkat," tegasnya.
Produksi garam nasional pada 2017 diproyeksikan sebesar 2,5 juta ton. Sementara itu, kontribusi Jatim diperkirakan mencapai 1 juta ton. PT Garam sendiri mengelola 5.000 hektare lahan garam yang tersebar di Madura.
Akibat produktivitas yang masih rendah, harga bahan baku garam melonjak. Dulu harganya sekitar Rp500-Rp600 per kg, kini naik hampir enam kali lipat dengan harga Rp3.000 per kg. Sedangkan harga garam konsumsi juga melonjak dari sekitar Rp3.800 per kg tahun lalu menjadi tembus Rp5.000 per kg.
Sesuai perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi iklim pada Juli masih cenderung basah. Dengan demikian, produksi garam belum bisa maksimal pada bulan ini. "Harapan kami, Agustus-September iklim sudah mendukung sehingga produksi bisa normal lagi," katanya.
Sutrisno, salah satu petani garam di Romokalisari menuturkan, saat ini memang menjadi waktu yang tepat untuk mendapatkan keuntungan tinggi. Namun iklim masih saja menjadi kendala utama dalam peningkatan produksi garam. "Kalau saja iklimnya baik bisa sampai berlipat produksinya. Lha ini sekarang panasnya kurang kuat, jadi produksi agak tersendat," jelasnya.
(ven)