Kekurangan Bahan Baku, Industri Rokok Diramal Jeblok
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Perserikatan Pabrik Rokok Indoensia (Gappri), Ismanu Siemiran mengatakan, berkurangnya bahan baku tembakau membuat produksi rokok nasional terus menurun signifikan dalam tigak tahun terakhir. Tahun ini diperkirakan menurun 3%.
Menurutnya, sejak tigak tahun terakhir, industri rokok terus menurun. Pada Tahun lalu terjadi penurunan 2% dan tahun ini diperkirakan penurunannya lebih besar.
"Ada banyak faktor penurunan produksi di industri rokok. Namun, yang paling kami rasakan adalah berkurangnya produksi tembakau nasional akibat buruknya cuaca," ujar dia.
Dia menambahkan, jika kondisi ini dibiarkan maka kelangsungan industri rokok nasional juga terganggu. Karena itu, Gappri berharap pemerintah juga berhati-hati dan melibatkan stakeholder dalam penentuan peraturan pembatasan impor dan peraturan cukai.
Padahal, lanjut Ismanu, selama ini sumbangsih industri rokok nasional ke pendapatan negara cukup besar. Untuk cukai dan pajak mencapai kisaran Rp200 triliun.
"Bagaimanapun kalau industri rokok terganggu, maka suplai pendapatan negara dari cukai maupun pajak juga berpengaruh," katanya.
Sekadar informasi, kebijakan cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan No 147/PMK.010/2016 yaitu tarif tertinggi sebesar 13,46% untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah sebesar 0% untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB.
Pemerintah juga mengendalikan industri rokok melalui pembatasan perusahaan. Melalui Bea Cukai dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di 2016.
Menurutnya, sejak tigak tahun terakhir, industri rokok terus menurun. Pada Tahun lalu terjadi penurunan 2% dan tahun ini diperkirakan penurunannya lebih besar.
"Ada banyak faktor penurunan produksi di industri rokok. Namun, yang paling kami rasakan adalah berkurangnya produksi tembakau nasional akibat buruknya cuaca," ujar dia.
Dia menambahkan, jika kondisi ini dibiarkan maka kelangsungan industri rokok nasional juga terganggu. Karena itu, Gappri berharap pemerintah juga berhati-hati dan melibatkan stakeholder dalam penentuan peraturan pembatasan impor dan peraturan cukai.
Padahal, lanjut Ismanu, selama ini sumbangsih industri rokok nasional ke pendapatan negara cukup besar. Untuk cukai dan pajak mencapai kisaran Rp200 triliun.
"Bagaimanapun kalau industri rokok terganggu, maka suplai pendapatan negara dari cukai maupun pajak juga berpengaruh," katanya.
Sekadar informasi, kebijakan cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan No 147/PMK.010/2016 yaitu tarif tertinggi sebesar 13,46% untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah sebesar 0% untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB.
Pemerintah juga mengendalikan industri rokok melalui pembatasan perusahaan. Melalui Bea Cukai dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di 2016.
(izz)