Pemerintah Diminta Ciptakan Persaingan Sehat di Industri Tembakau
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta menciptakan persaingan usaha yang sehat di sektor industri hasil termbakau, terutama pada pabrikan rokok besar dan kecil. Sejumlah pihak menilai, persaingan yang tidak setara masih terjadi di antara pabrikan rokok besar dan kecil.
Saat ini, ada pabrikan besar yang memanfaatkan celah struktur cukai rokok yang rumit sehingga hanya membayar cukai dengan tarif yang lebih rendah.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan dasar pembagian golongan besar dan kecil yang tidak jelas ini, semakin memperumit sistem tarif cukai hasil tembakau.
Administrasi yang rumit pun akan mempersulit pengawasan dan kepatuhan, serta membuka celah adanya pelanggaran lantaran adanya perbedaan tarif antar golongan tersebut.
"Ini menyebabkan negara mengalami kerugian dari sisi penerimaan. Pemerintah harus lebih jeli. Hal ini penting demi melindungi pabrikan kecil. Contoh kasus, saat ini ada pabrikan rokok besar yang membayar cukai sigaret putih mesin atau SPM golongan dua dengan tarif yang rendah. Saya pikir ini sudah salah fatal," kata Yustinus dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Sabtu (12/8/2017).
Dia mencontohkan saat ini, tarif cukai untuk SPM terdiri dari tidak lapis, dimana tarif paling atas dan lapisan bawahnya memiliki celah yang cukup besar. Akibatnya, pabrikan yang bermodal besar memanfaatkannya.
Menurutnya, penggolongan pabrikan seharusnya bukan dari jenis rokok yang dibuat tapi dari besarnya skala atau volume produksi perusahaan. Jika perusahaan itu sudah memproduksi sigaret kretek mesin dan dikenakan tarif yang paling tinggi, harusnya mereka juga membayar cukai yang paling tinggi untuk jenis sigaret putih mesin atau sebaliknya.
"Hemat saya, basisnya harus fairness. Aturan harus fair, adil bagi para pelaku usaha, serta tidak boleh diskriminatif," lanjut Yustinus.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Amir Uskara menambahkan praktik ini ironis karena terjadi di saat pemerintah menaikkan cukai rokok hingga 10,5% di awal 2017, dengan harapan tambahan dana cukai tersebut dapat digunakan membiayai program-program pemerintah.
"Negara saat ini sangat membutuhkan penerimaan. Dengan adanya keadaan dimana perusahaan rokok besar, tapi membayar cukai yang diperuntukkan untuk pabrikan kecil, ini tentunya sangat merugikan negara. Kalau bersaing, haruslah adil. Kalau besar, bersainglah dengan yang besar dan membayar tarif cukai yang sesuai," tutupnya.
Saat ini, ada pabrikan besar yang memanfaatkan celah struktur cukai rokok yang rumit sehingga hanya membayar cukai dengan tarif yang lebih rendah.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan dasar pembagian golongan besar dan kecil yang tidak jelas ini, semakin memperumit sistem tarif cukai hasil tembakau.
Administrasi yang rumit pun akan mempersulit pengawasan dan kepatuhan, serta membuka celah adanya pelanggaran lantaran adanya perbedaan tarif antar golongan tersebut.
"Ini menyebabkan negara mengalami kerugian dari sisi penerimaan. Pemerintah harus lebih jeli. Hal ini penting demi melindungi pabrikan kecil. Contoh kasus, saat ini ada pabrikan rokok besar yang membayar cukai sigaret putih mesin atau SPM golongan dua dengan tarif yang rendah. Saya pikir ini sudah salah fatal," kata Yustinus dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Sabtu (12/8/2017).
Dia mencontohkan saat ini, tarif cukai untuk SPM terdiri dari tidak lapis, dimana tarif paling atas dan lapisan bawahnya memiliki celah yang cukup besar. Akibatnya, pabrikan yang bermodal besar memanfaatkannya.
Menurutnya, penggolongan pabrikan seharusnya bukan dari jenis rokok yang dibuat tapi dari besarnya skala atau volume produksi perusahaan. Jika perusahaan itu sudah memproduksi sigaret kretek mesin dan dikenakan tarif yang paling tinggi, harusnya mereka juga membayar cukai yang paling tinggi untuk jenis sigaret putih mesin atau sebaliknya.
"Hemat saya, basisnya harus fairness. Aturan harus fair, adil bagi para pelaku usaha, serta tidak boleh diskriminatif," lanjut Yustinus.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Amir Uskara menambahkan praktik ini ironis karena terjadi di saat pemerintah menaikkan cukai rokok hingga 10,5% di awal 2017, dengan harapan tambahan dana cukai tersebut dapat digunakan membiayai program-program pemerintah.
"Negara saat ini sangat membutuhkan penerimaan. Dengan adanya keadaan dimana perusahaan rokok besar, tapi membayar cukai yang diperuntukkan untuk pabrikan kecil, ini tentunya sangat merugikan negara. Kalau bersaing, haruslah adil. Kalau besar, bersainglah dengan yang besar dan membayar tarif cukai yang sesuai," tutupnya.
(ven)