Keterbukaan Data Perpajakan Diragukan Kerek Penerimaan Negara
A
A
A
JAKARTA - Komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait informasi perpajakan. Dimana negara-negara bakal saling menyampaikan data nasabah asing ke otoritas pajak di negara asalnya diragukan bakal mampu mengerek penerimaan negara RI tahun depan.
Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan perpajakan yang berasal dari pajak dan bea cukai pada tahun 2018 sebesar Rp1.609,4 triliun atau tumbuh 9,3% dari target tahun ini sebesar Rp1.472,7 triliun. Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengaku ragu dengan kebijakan pemerintah melakukan pertukaran data informasi perpajakan melalui AEoI karena implementasi aturan tersebut baru efektif pada September 2018.
Terang dia pemerintah butuh waktu lama untuk membuktikan seseorang bersalah, sehingga tak akan berpengaruh besar terhadap kas negara. "Kemudian bicara AEoI, ketika sudah dapat dari Singapura, Macau, AS, kalau sudah dapat data mulai dari proses data dipegang Ditjen Pajak sampai diselidiki dan terbukti bersalah, berapa lama prosesnya? Apa 2018 bisa langsung masuk uang dari AEoI ke kas negara? Saya rasa tidak. Karena prosesnya panjang," katanya dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Dia menilai, target penerimaan perpajakan tersebut terlalu ambisius. Apalagi, tahun depan sudah tidak ada lagi program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dibanggakan pemerintah karena mampu mengungkap kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy) yang ada selama ini.
Namun menurutnya, tax amnesty justru menyebabkan adanya kegiatan ekonomi baru yang sulit untuk dilacak. "Apa yang terjadi? Tagihan pajak makin besar, orang justru akan membeli sesuatu di bawah tangan, akan kontraproduktif terhadap penerimaan pajak itu. Tax amnesty justru ciptakan underground economy baru," tandasnya.
Untuk diketahui, penerimaan perpajakan pada tahun 2018 terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 852,9 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 535,3 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp 17,4 triliun, Pajak lainnya sebesar Rp 9,7 triliun, Cukai sebesar Rp 155,4 triliun, Bea Masuk sebesar Rp 35,7 triliun, dan Bea Keluar sebesar Rp 3 triliun. Adapun rasio penerimaan pajak atau tax rasio pada tahun depan ditargetkan sebesar 11,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Mengacu pada data OECD per Mei 2017, sebanyak 100 negara telah berkomitmen mengikuti AEoI. Sebanyak 50 negara atau yurisdiksi mulai menerapkan AEoI pada tahun ini, sisanya berkomitmen melaksanakan mulai tahun depan, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, sempat ada wacana untuk menerapkan keterbukaan data keuangan untuk nasabah asing dulu saja. Namun, Indonesia tidak bisa melakukan hal itu. Sebab, dengan begitu, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara suaka pajak (tax haven).
Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan perpajakan yang berasal dari pajak dan bea cukai pada tahun 2018 sebesar Rp1.609,4 triliun atau tumbuh 9,3% dari target tahun ini sebesar Rp1.472,7 triliun. Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengaku ragu dengan kebijakan pemerintah melakukan pertukaran data informasi perpajakan melalui AEoI karena implementasi aturan tersebut baru efektif pada September 2018.
Terang dia pemerintah butuh waktu lama untuk membuktikan seseorang bersalah, sehingga tak akan berpengaruh besar terhadap kas negara. "Kemudian bicara AEoI, ketika sudah dapat dari Singapura, Macau, AS, kalau sudah dapat data mulai dari proses data dipegang Ditjen Pajak sampai diselidiki dan terbukti bersalah, berapa lama prosesnya? Apa 2018 bisa langsung masuk uang dari AEoI ke kas negara? Saya rasa tidak. Karena prosesnya panjang," katanya dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Dia menilai, target penerimaan perpajakan tersebut terlalu ambisius. Apalagi, tahun depan sudah tidak ada lagi program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dibanggakan pemerintah karena mampu mengungkap kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy) yang ada selama ini.
Namun menurutnya, tax amnesty justru menyebabkan adanya kegiatan ekonomi baru yang sulit untuk dilacak. "Apa yang terjadi? Tagihan pajak makin besar, orang justru akan membeli sesuatu di bawah tangan, akan kontraproduktif terhadap penerimaan pajak itu. Tax amnesty justru ciptakan underground economy baru," tandasnya.
Untuk diketahui, penerimaan perpajakan pada tahun 2018 terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 852,9 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 535,3 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp 17,4 triliun, Pajak lainnya sebesar Rp 9,7 triliun, Cukai sebesar Rp 155,4 triliun, Bea Masuk sebesar Rp 35,7 triliun, dan Bea Keluar sebesar Rp 3 triliun. Adapun rasio penerimaan pajak atau tax rasio pada tahun depan ditargetkan sebesar 11,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Mengacu pada data OECD per Mei 2017, sebanyak 100 negara telah berkomitmen mengikuti AEoI. Sebanyak 50 negara atau yurisdiksi mulai menerapkan AEoI pada tahun ini, sisanya berkomitmen melaksanakan mulai tahun depan, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, sempat ada wacana untuk menerapkan keterbukaan data keuangan untuk nasabah asing dulu saja. Namun, Indonesia tidak bisa melakukan hal itu. Sebab, dengan begitu, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara suaka pajak (tax haven).
(akr)