Mengeruk Laba dari Generasi Milenial
A
A
A
JAKARTA - Anak muda kekinian atau biasa disebut dengan generasi milenial, terkenal dengan kebiasaan nongkrong di coffee shop sambil berselancar di internet, aktif di media sosial (medsos) hingga kesukaan travelling ke destinasi wisata menarik di dunia.
Dengan gaya hidup seperti ini, tak heran anak milenial menjadi penggerak ekonomi kreatif baru beberapa tahun mendatang. Istilah generasi milenial dicetuskan pertama kali oleh dua pakar sejarah dan penulis asal Amerika Serikat, yaitu William Strauss dan Neil Howe, dalam buku bertajuk Millennials Rising: The Next Great Generation yang diluncurkan pada 2000. Sebutan millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers.
Secara harfiah, memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir yaitu bagi mereka yang lahir pada 1980-1990, atau awal 2000 dan seterusnya. Tumbuh di era pergantian abad menjadikan anak muda tersebut mengalami sebuah transformasi gaya hidup yang drastis, terutama sejak dikenalnya pemanfaatan teknologi. Tak ayal apabila anak digital native tersebut punya caranya sendiri untuk terhubung dan terkoneksi satu sama lain melalui medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, Path.
Dari sini tercipta ekosistem digital yang membentuk masyarakat milenial di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah munculnya sejumlah start up di Tanah Air. Kebiasaan lainnya adalah suka berkumpul dan nongkrong bareng yang membuat banyak munculnya coffee shop kekinian dengan fasilitas Wi-Fi gratis serta lebih hedon dalam membelanjakan uangnya untuk membeli barang atau jalan-jalan ke luar negeri. Pada 2020, populasi generasi ini akan menjadi yang terbesar dibandingkan yang lainnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi penduduk usia produktif 15- 35 tahun saat ini mencapai 40% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Jumlah ini diperkirakan melonjak 50-60% hingga 2020 mendatang. Maka itu, anak milenial disebut sebagai penggerak ekonomi kreatif baru pada beberapa tahun mendatang karena tumbuh menjadi kelas menengah baru. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan berpendapat hobi anak muda sekarang yang senang kongko di coffee shop tak selamanya harus dilihat dari sisi negatif. Menurut pandangannya, kids zaman now tersebut berkumpul tidak hanya melontarkan gosip dan bersenda gurau, tetapi juga berdiskusi mengeluarkan gagasan kreatif.
“Sering saya perhatikan, mereka tidak hanya semata ngobrol, bergosip, tetapi pembicaraannya ada isinya. Misalnya rencana untuk membangun bisnis bareng,” ujarnya ketika dihubungi KORAN SINDO. Sering kali, lanjut dia, hasil ngopi bareng tersebut menjadi jembatan bagi mereka untuk menjajaki kerja sama dalam membangun usaha sendiri atau menjadi entrepreneur.
Apalagi dengan pemanfaatan teknologi digital yang semakin pesat belakangan, sehingga apa pun ide baru yang terlontar lebih mudah untuk diaplikasikan menjadi sebuah rencana yang sistematis.
“Tinggal buka laptop, susun proposal, jadi sebuah perencanaan usaha sendiri. Jadi, anak-anak milenial sekarang masih muda, tetapi sudah punya penghasilan yang menggiurkan. Apalagi biaya yang dikeluarkan untuk menikmati secangkir kopi, masih tergolong murah,” tutur Stefanus.
Stefanus mengatakan, anak milenial zaman sekarang memang nyatanya lebih kreatif dan memiliki passion besar dengan apa yang menjadi ketertarikannya. Ini yang membuat bidang usaha baru, terutama di era digital seperti start up dan e-commerce, makin tumbuh pesat. Anak muda kekinian juga memiliki karakter yang berani dan tidak khawatir akan kegagalan.
Saat belanja pun seperti itu, tak ragu mengeluarkan banyak uang untuk apa yang mereka suka dan menarik hati. Dan generasi milenial, terang dia, cenderung lebih produktif dan mengedepankan pengalaman sendiri daripada cerita dari orang lain. “Karakter ini juga menjadi potensi besar bagi pengusaha pusat belanja atau tempat makan untuk meraup untung dari para milenial,” katanya. Para pelaku usaha tersebut, saran dia, mesti merekrut karyawan dari generasi milenial sehingga tahu apa yang target pasar inginkan.
Selain itu, mesti mengenal lebih dalam apa saja hal yang menjadi favorit para anak muda tersebut, misalnya lagu, pakaian, bahasa, gawai atau teknologi yang sedang hits . Ditemui di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Roy Nicolas Mandey, ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan, tiga hingga empat tahun ke belakang memang ada perubahan perilaku konsumen, terutama generasi milenial, dalam berbelanja. Perubahan perilaku konsumen ini mulai terasa saat pendapatan per kapita masyarakat berada di atas USD3.000.
Anak muda sekarang yang masuk golongan menengah dan atas, lanjut dia, lebih suka menghabiskan uangnya untuk kegiatan yang bersifat leisure seperti berburu kuliner dan tempat makan yang tengah happening atau pelesiran ke tempat- tempat wisata impian. Hal itu tampak dari kenaikan jumlah deposit atau dana pihak ketiga di bank sebesar 2-3% tahun ini.
“Belanja bukan lagi kebutuhan utama selain makan dan minum, kini hanya secukupnya saja. Lihatsaja malyangmenyediakan makanan dan minuman yang banyak variasi akan ramai dikunjungi, namun gerai ritelnya makin sepi dan sedikit yang belanja,” ujarnya.
Roy mengungkapkan, mengutip data dari konsultan asing, penjualanonline di Tanah Air baru menyumbang sekitar 1% atau hanya 8,5 juta pengguna internet yang belanja di dunia maya secara aktif dari total 90 juta pengguna internet di Indonesia.
“Jadi bukan daya beli yang menurun, tetapi behaviour para anak muda ini yang berubah. Solusinya, para pengusaha ritel mesti berbenah diri dan melakukan restrukturisasi bisnisnya ke tempat yang lebih menguntungkan. Selain tentunya memberikan pengalaman yang berbeda bagi generasi milenial,” katanya.
Ketua Dewan Pembina DPP APPBI Handaka Santosa mengutarakan, gaya hidup anak kekinian yang suka bersosialisasi di tempat keramaian harus diantisipasi para pengusaha ritel terutama mal, kafe, dan restoran agar tetap bisa bertahan hidup. Caranya dengan memberikan kebutuhan yang paling esensial, juga pengalaman baru yang tidak ada di tempat lain.
“Jadikan perubahan pola belanja dan gaya hidup ini sebagai kesempatan untuk berinovasi dengan memperbaiki layanan dan fasilitas,”ujar Handaka, yang juga CEO SOGO Indonesia itu. (Rendra Hanggara)
Dengan gaya hidup seperti ini, tak heran anak milenial menjadi penggerak ekonomi kreatif baru beberapa tahun mendatang. Istilah generasi milenial dicetuskan pertama kali oleh dua pakar sejarah dan penulis asal Amerika Serikat, yaitu William Strauss dan Neil Howe, dalam buku bertajuk Millennials Rising: The Next Great Generation yang diluncurkan pada 2000. Sebutan millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers.
Secara harfiah, memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir yaitu bagi mereka yang lahir pada 1980-1990, atau awal 2000 dan seterusnya. Tumbuh di era pergantian abad menjadikan anak muda tersebut mengalami sebuah transformasi gaya hidup yang drastis, terutama sejak dikenalnya pemanfaatan teknologi. Tak ayal apabila anak digital native tersebut punya caranya sendiri untuk terhubung dan terkoneksi satu sama lain melalui medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, Path.
Dari sini tercipta ekosistem digital yang membentuk masyarakat milenial di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah munculnya sejumlah start up di Tanah Air. Kebiasaan lainnya adalah suka berkumpul dan nongkrong bareng yang membuat banyak munculnya coffee shop kekinian dengan fasilitas Wi-Fi gratis serta lebih hedon dalam membelanjakan uangnya untuk membeli barang atau jalan-jalan ke luar negeri. Pada 2020, populasi generasi ini akan menjadi yang terbesar dibandingkan yang lainnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi penduduk usia produktif 15- 35 tahun saat ini mencapai 40% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Jumlah ini diperkirakan melonjak 50-60% hingga 2020 mendatang. Maka itu, anak milenial disebut sebagai penggerak ekonomi kreatif baru pada beberapa tahun mendatang karena tumbuh menjadi kelas menengah baru. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan berpendapat hobi anak muda sekarang yang senang kongko di coffee shop tak selamanya harus dilihat dari sisi negatif. Menurut pandangannya, kids zaman now tersebut berkumpul tidak hanya melontarkan gosip dan bersenda gurau, tetapi juga berdiskusi mengeluarkan gagasan kreatif.
“Sering saya perhatikan, mereka tidak hanya semata ngobrol, bergosip, tetapi pembicaraannya ada isinya. Misalnya rencana untuk membangun bisnis bareng,” ujarnya ketika dihubungi KORAN SINDO. Sering kali, lanjut dia, hasil ngopi bareng tersebut menjadi jembatan bagi mereka untuk menjajaki kerja sama dalam membangun usaha sendiri atau menjadi entrepreneur.
Apalagi dengan pemanfaatan teknologi digital yang semakin pesat belakangan, sehingga apa pun ide baru yang terlontar lebih mudah untuk diaplikasikan menjadi sebuah rencana yang sistematis.
“Tinggal buka laptop, susun proposal, jadi sebuah perencanaan usaha sendiri. Jadi, anak-anak milenial sekarang masih muda, tetapi sudah punya penghasilan yang menggiurkan. Apalagi biaya yang dikeluarkan untuk menikmati secangkir kopi, masih tergolong murah,” tutur Stefanus.
Stefanus mengatakan, anak milenial zaman sekarang memang nyatanya lebih kreatif dan memiliki passion besar dengan apa yang menjadi ketertarikannya. Ini yang membuat bidang usaha baru, terutama di era digital seperti start up dan e-commerce, makin tumbuh pesat. Anak muda kekinian juga memiliki karakter yang berani dan tidak khawatir akan kegagalan.
Saat belanja pun seperti itu, tak ragu mengeluarkan banyak uang untuk apa yang mereka suka dan menarik hati. Dan generasi milenial, terang dia, cenderung lebih produktif dan mengedepankan pengalaman sendiri daripada cerita dari orang lain. “Karakter ini juga menjadi potensi besar bagi pengusaha pusat belanja atau tempat makan untuk meraup untung dari para milenial,” katanya. Para pelaku usaha tersebut, saran dia, mesti merekrut karyawan dari generasi milenial sehingga tahu apa yang target pasar inginkan.
Selain itu, mesti mengenal lebih dalam apa saja hal yang menjadi favorit para anak muda tersebut, misalnya lagu, pakaian, bahasa, gawai atau teknologi yang sedang hits . Ditemui di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Roy Nicolas Mandey, ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan, tiga hingga empat tahun ke belakang memang ada perubahan perilaku konsumen, terutama generasi milenial, dalam berbelanja. Perubahan perilaku konsumen ini mulai terasa saat pendapatan per kapita masyarakat berada di atas USD3.000.
Anak muda sekarang yang masuk golongan menengah dan atas, lanjut dia, lebih suka menghabiskan uangnya untuk kegiatan yang bersifat leisure seperti berburu kuliner dan tempat makan yang tengah happening atau pelesiran ke tempat- tempat wisata impian. Hal itu tampak dari kenaikan jumlah deposit atau dana pihak ketiga di bank sebesar 2-3% tahun ini.
“Belanja bukan lagi kebutuhan utama selain makan dan minum, kini hanya secukupnya saja. Lihatsaja malyangmenyediakan makanan dan minuman yang banyak variasi akan ramai dikunjungi, namun gerai ritelnya makin sepi dan sedikit yang belanja,” ujarnya.
Roy mengungkapkan, mengutip data dari konsultan asing, penjualanonline di Tanah Air baru menyumbang sekitar 1% atau hanya 8,5 juta pengguna internet yang belanja di dunia maya secara aktif dari total 90 juta pengguna internet di Indonesia.
“Jadi bukan daya beli yang menurun, tetapi behaviour para anak muda ini yang berubah. Solusinya, para pengusaha ritel mesti berbenah diri dan melakukan restrukturisasi bisnisnya ke tempat yang lebih menguntungkan. Selain tentunya memberikan pengalaman yang berbeda bagi generasi milenial,” katanya.
Ketua Dewan Pembina DPP APPBI Handaka Santosa mengutarakan, gaya hidup anak kekinian yang suka bersosialisasi di tempat keramaian harus diantisipasi para pengusaha ritel terutama mal, kafe, dan restoran agar tetap bisa bertahan hidup. Caranya dengan memberikan kebutuhan yang paling esensial, juga pengalaman baru yang tidak ada di tempat lain.
“Jadikan perubahan pola belanja dan gaya hidup ini sebagai kesempatan untuk berinovasi dengan memperbaiki layanan dan fasilitas,”ujar Handaka, yang juga CEO SOGO Indonesia itu. (Rendra Hanggara)
(nfl)