Personal Shopper Memanfaatkan Media Sosial untuk Berjualan
A
A
A
PADA era serba digital seperti saat ini, profesi personal shopper atau pembelanja pribadi makin menjadi pilihan. Tidak hanya mendapatkan penghasilan yang menggiurkan dari para shopaholic serta waktu yang lebih fleksibel, penyedia jasa titip (jastip) ini tetap bisa menyalurkan hobi belanja dan travelling.
Rasa dingin yang menusuk tulang tak menyurutkan langkah Nova Siahaan,30, untuk mengantre bersama pengunjung lainnya di depan butik Hermes di Paris, Prancis, untuk mendapatkan tas incaran klien sosialitanya. Ketika pintu masuk akhirnya dibuka, dia pun lantas ikut merangsek ke dalam dan mulai belanja. Rasa lega dan bahagia terpancar dari wajahnya ketika barang fashion pesanan tersebut berhasil dia dapat.
"Awal-awal mulai berprofesi sebagai personal shopper memang seperti itu, butuh perjuangan. Karena saya memulainya dari bawah banget, benar-benar tidak punya kenalan di sana atau pun pengalaman sebelumnya," ceritanya kepada KORAN SINDO lewat sambungan telepon.
Beruntung, lanjut Nova, dia sempat kuliah di Inggris dan Belanda, dan mengambil jurusan luxury brand marketing sehingga amat bersinggungan dengan produk fashion dan brand luxury sehingga memudahkannya untuk berkenalan, bahkan menjalin relasi dengan pemilik butik di sana. "Pekerjaan ini menuntut kepercayaan yang tinggi sekali. Karena pemilik brand pasti memilih bakal ke siapa produknya dijual, apalagi tas atau sepatu yang termasuk limited edition. Kalau enggak kenal banget, bakal susah dapatnya," kata ibu dua anak ini.
Saat ini, dalam satu tahun, Nova bisa tiga sampai empat kali belanja ke luar negeri. Negara-negara yang disambanginya, yaitu Prancis, Italia, Belanda, dan Inggris. Menjalani usaha bersama sang kakak yang berprofesi sebagai dokter, dia juga memiliki akun Instagram yang menjual barang-barang luxury fashion branded.
(Baca Juga: Jasa Titip Manjakan Shopaholic
Jika ingin berburu barang ke luar negeri atau mengambil orderan yang sudah dipesan beberapa waktu sebelumnya, dia menginformasikan kepada kliennya yang berasal dari komunitas yang sama. Kliennya, ujar dia, ternyata kini bukan hanya kalangan sosialita ataupun warga elite, tapi juga masyarakat kelas menengah kota besar pencinta fashion yang suka dengan barang-barang asli bermerek. "Produk yang dipesan kebanyakan sepatu, tas, dompet, beberapa kali juga ada yang titip belanja baju. Mereknya yang favorit itu Louis Vuitton, Hermes, Prada, atau Gucci," sebut Nova.
Nova mengungkapkan, apabila berniat memesan, sang klien akan membayar full barang tersebut sesuai harga aslinya, ditambah fee dia sendiri sebagi personal shopper. Terkait fee, dia tak bisa mematok sama untuk semua pesanan, rentangnya berkisar 20% dari harga barang untuk yang mudah dicari hingga 100%, apabila memesan produk fashion yang sulit dicari atau termasuk limited edition. Kesepakatan bersama itu juga termasuk siapa yang membayar pajak bea masuk ketika barang tersebut sampai di bandara.
"Jadi, semuanya memang berdasarkan kepercayaan, kesepakatan bersama antara saya dan klien. Bayar pajaknya juga begitu, kadang saya, si klien, atau ada juga yang ditanggung bersama. Itu enggak jadi masalah," tuturnya.
Terkait omzet, Nova tidak bisa menyebutnya karena setiap bulan penghasilannya berbeda-beda bergantung pesanan klien yang didapat. Menurut Nova, pekerjaan personal shopper memang menjanjikan, tetapi juga punya tantangan yang berat. Tidak hanya senang belanja dan jalan-jalan, tetapi juga harus memiliki passion di dunia bisnis serta fashion agar bisa memberikan opini dan pendapat terbaik untuk klien agar mereka selalu merasa puas memakai jasanya.
"Memang harus pintar-pintar menjaga kepercayaan klien. Hubungannya juga sebaiknya dijaga dekat, seperti teman, sering komunikasi dan kasih hadiah. Bangun relationship itu paling penting," tuturnya.
Senada dengan itu, Mareta Della Rossa,34, mengakui, sebagai seorang personal shopper, kepercayaan antara penjual dan pembeli amat penting. Della yang menekuni pekerjaan ini sejak zaman kuliah pada 2004-2005, awalnya sering dititipi barang branded temannya yang sudah tidak dipakai alias produk preloved. Sejak itu, dia malah enjoy melakoni jual beli barang bermerek preloved yang saat ini memang tengah banyak digandrungi kaum hawa.
Melalui akun Instagram @dellarossa_ authenticbags, wanita cantik ini menjual tas branded asli preloved yang masih layak dan berkualitas. Sesekali dia juga menjalani peran sebagai personal shopper bagi kliennya yang ingin memakai jasanya belanja ke luar negeri seperti Hong Kong, Singapura, Jepang, dan negara-negara di Eropa.
"Biasanya kalau saya holiday atau travelling saya infokan kepada klien dan teman-teman yang mau jastip barang, seperti tas atau sepatu. Kalau minat, saya bakal minta DP dulu 50% dari harga barang tersebut dan sisanya saat barang tersebut diterima. Karena kalau di Eropa harga produk di butiknya lebih murah dibanding beli di Indonesia," ung kapnya saat dihubungi, Jumat (29/12/2017).
Tas Louis Vuitton atau produk kelas atas merek Chanel, kata dia, banyak menjadi incaran pemburu fashion dari Tanah Air ketika belanja di luar negeri. Namun belakangan, terang dia, produk-produk preloved juga banyak diincar oleh sosialita karena dapat dimiliki dengan harga yang lebih bersahabat. "Barang-barang preloved itu kondisinya kan masih bagus-bagus. Jadi, banyak yang cari barang asli, dengan harga miring sesuai budget, ya pilih yang preloved. Kalau barang baru harganya bisa Rp20 juta, kalau preloved bisa turun hingga Rp15 juta. Kan lumayan," ujar Della.
Apalagi saat ini, Della menjual barang-barang preloved yang bisa dicicil sebanyak dua sampai tiga kali tanpa dibebani bunga. Ditanya omzet yang didapatnya setiap bulan, Della tidak menyebut secara pasti jumlahnya. "Lumayan lah cukup untuk hidup di Jakarta," imbuhnya.
Menanggapi makin maraknya profesi ini, Kasubdit Komunikasi dan Publikasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro mengatakan, personal shopper tetap dikenakan bea masuk sama seperti penumpang pesawat lainnya. Baru-baru ini, Kemenkeu merevisi nilai pembebasan bea masuk untuk barang pribadi penumpang dari semula free on board (FOB) USD250 per orang menjadi FOB USD500 per orang. Keten tuan tersebut tertuang dalam regulasi baru untuk impor barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut sebagai pengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010.
Terbitnya aturan baru ini dilatarbelakangi pertumbuhan penumpang yang cukup signifikan, peningkatan pendapatan per kapita warga negara Indonesia, serta aspirasi masyarakat. "Jadi, para personal shopper atau jastip ini tetap dikenakan biaya sama seperti penumpang lainnya. Dihitung dari harganya kalau kurang dari USD500, berarti bebas bea masuk," katanya ketika dihubungi, Kamis (28/12/2017). Menurut Deni, belakangan memang makin banyak penumpang pesawat yang membawa barang-barang bermerek seiring meningkatnya perekonomian dan daya beli masyarakat di kota-kota besar.
Melanjutkan tren titip belanja yang tengah marak, kini juga telah hadir Airfrov, platform titip belanja di luar negeri melalui travellers. Berdasarkan data dari The Airports Council International (ACI), Bandara Soekarno-Hatta (CGK) di Indonesia menduduki peringkat ke-18 sebagai bandara dengan lalu lintas serta kesibukan terpadat di dunia pada tahun ini.
Cai Li, CEO & Co-founder Airfrov mengatakan, tren titip belanja barang di luar negeri menjadi semakin populer. Sebagai mediator, Airfrov akan menagih pembayaran dari requester dan menahan biaya tersebut di dalam escrow sebelum traveller melakukan pembelian barang. Sistem pembayaran yang aman ini akan membuat requester dan traveller dapat berbelanja dengan tenang.
Saat traveller kembali ke negara asalnya dengan membawa barang yang di-request, dia dapat memberikan notifikasi melalui aplikasi Airfrov. "Pembaruan aplikasi yang fokus pada pengalaman discovery titip belanja. Airfrov dilengkapi dengan fitur-fitur baru di aplikasinya yang mencakup 'Trending Requests' dan 'Recommendations by Travellers' untuk memberi informasi lengkap mengenai tren produk-produk di luar negeri," ujar Cai Li.
Rasa dingin yang menusuk tulang tak menyurutkan langkah Nova Siahaan,30, untuk mengantre bersama pengunjung lainnya di depan butik Hermes di Paris, Prancis, untuk mendapatkan tas incaran klien sosialitanya. Ketika pintu masuk akhirnya dibuka, dia pun lantas ikut merangsek ke dalam dan mulai belanja. Rasa lega dan bahagia terpancar dari wajahnya ketika barang fashion pesanan tersebut berhasil dia dapat.
"Awal-awal mulai berprofesi sebagai personal shopper memang seperti itu, butuh perjuangan. Karena saya memulainya dari bawah banget, benar-benar tidak punya kenalan di sana atau pun pengalaman sebelumnya," ceritanya kepada KORAN SINDO lewat sambungan telepon.
Beruntung, lanjut Nova, dia sempat kuliah di Inggris dan Belanda, dan mengambil jurusan luxury brand marketing sehingga amat bersinggungan dengan produk fashion dan brand luxury sehingga memudahkannya untuk berkenalan, bahkan menjalin relasi dengan pemilik butik di sana. "Pekerjaan ini menuntut kepercayaan yang tinggi sekali. Karena pemilik brand pasti memilih bakal ke siapa produknya dijual, apalagi tas atau sepatu yang termasuk limited edition. Kalau enggak kenal banget, bakal susah dapatnya," kata ibu dua anak ini.
Saat ini, dalam satu tahun, Nova bisa tiga sampai empat kali belanja ke luar negeri. Negara-negara yang disambanginya, yaitu Prancis, Italia, Belanda, dan Inggris. Menjalani usaha bersama sang kakak yang berprofesi sebagai dokter, dia juga memiliki akun Instagram yang menjual barang-barang luxury fashion branded.
(Baca Juga: Jasa Titip Manjakan Shopaholic
Jika ingin berburu barang ke luar negeri atau mengambil orderan yang sudah dipesan beberapa waktu sebelumnya, dia menginformasikan kepada kliennya yang berasal dari komunitas yang sama. Kliennya, ujar dia, ternyata kini bukan hanya kalangan sosialita ataupun warga elite, tapi juga masyarakat kelas menengah kota besar pencinta fashion yang suka dengan barang-barang asli bermerek. "Produk yang dipesan kebanyakan sepatu, tas, dompet, beberapa kali juga ada yang titip belanja baju. Mereknya yang favorit itu Louis Vuitton, Hermes, Prada, atau Gucci," sebut Nova.
Nova mengungkapkan, apabila berniat memesan, sang klien akan membayar full barang tersebut sesuai harga aslinya, ditambah fee dia sendiri sebagi personal shopper. Terkait fee, dia tak bisa mematok sama untuk semua pesanan, rentangnya berkisar 20% dari harga barang untuk yang mudah dicari hingga 100%, apabila memesan produk fashion yang sulit dicari atau termasuk limited edition. Kesepakatan bersama itu juga termasuk siapa yang membayar pajak bea masuk ketika barang tersebut sampai di bandara.
"Jadi, semuanya memang berdasarkan kepercayaan, kesepakatan bersama antara saya dan klien. Bayar pajaknya juga begitu, kadang saya, si klien, atau ada juga yang ditanggung bersama. Itu enggak jadi masalah," tuturnya.
Terkait omzet, Nova tidak bisa menyebutnya karena setiap bulan penghasilannya berbeda-beda bergantung pesanan klien yang didapat. Menurut Nova, pekerjaan personal shopper memang menjanjikan, tetapi juga punya tantangan yang berat. Tidak hanya senang belanja dan jalan-jalan, tetapi juga harus memiliki passion di dunia bisnis serta fashion agar bisa memberikan opini dan pendapat terbaik untuk klien agar mereka selalu merasa puas memakai jasanya.
"Memang harus pintar-pintar menjaga kepercayaan klien. Hubungannya juga sebaiknya dijaga dekat, seperti teman, sering komunikasi dan kasih hadiah. Bangun relationship itu paling penting," tuturnya.
Senada dengan itu, Mareta Della Rossa,34, mengakui, sebagai seorang personal shopper, kepercayaan antara penjual dan pembeli amat penting. Della yang menekuni pekerjaan ini sejak zaman kuliah pada 2004-2005, awalnya sering dititipi barang branded temannya yang sudah tidak dipakai alias produk preloved. Sejak itu, dia malah enjoy melakoni jual beli barang bermerek preloved yang saat ini memang tengah banyak digandrungi kaum hawa.
Melalui akun Instagram @dellarossa_ authenticbags, wanita cantik ini menjual tas branded asli preloved yang masih layak dan berkualitas. Sesekali dia juga menjalani peran sebagai personal shopper bagi kliennya yang ingin memakai jasanya belanja ke luar negeri seperti Hong Kong, Singapura, Jepang, dan negara-negara di Eropa.
"Biasanya kalau saya holiday atau travelling saya infokan kepada klien dan teman-teman yang mau jastip barang, seperti tas atau sepatu. Kalau minat, saya bakal minta DP dulu 50% dari harga barang tersebut dan sisanya saat barang tersebut diterima. Karena kalau di Eropa harga produk di butiknya lebih murah dibanding beli di Indonesia," ung kapnya saat dihubungi, Jumat (29/12/2017).
Tas Louis Vuitton atau produk kelas atas merek Chanel, kata dia, banyak menjadi incaran pemburu fashion dari Tanah Air ketika belanja di luar negeri. Namun belakangan, terang dia, produk-produk preloved juga banyak diincar oleh sosialita karena dapat dimiliki dengan harga yang lebih bersahabat. "Barang-barang preloved itu kondisinya kan masih bagus-bagus. Jadi, banyak yang cari barang asli, dengan harga miring sesuai budget, ya pilih yang preloved. Kalau barang baru harganya bisa Rp20 juta, kalau preloved bisa turun hingga Rp15 juta. Kan lumayan," ujar Della.
Apalagi saat ini, Della menjual barang-barang preloved yang bisa dicicil sebanyak dua sampai tiga kali tanpa dibebani bunga. Ditanya omzet yang didapatnya setiap bulan, Della tidak menyebut secara pasti jumlahnya. "Lumayan lah cukup untuk hidup di Jakarta," imbuhnya.
Menanggapi makin maraknya profesi ini, Kasubdit Komunikasi dan Publikasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro mengatakan, personal shopper tetap dikenakan bea masuk sama seperti penumpang pesawat lainnya. Baru-baru ini, Kemenkeu merevisi nilai pembebasan bea masuk untuk barang pribadi penumpang dari semula free on board (FOB) USD250 per orang menjadi FOB USD500 per orang. Keten tuan tersebut tertuang dalam regulasi baru untuk impor barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut sebagai pengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010.
Terbitnya aturan baru ini dilatarbelakangi pertumbuhan penumpang yang cukup signifikan, peningkatan pendapatan per kapita warga negara Indonesia, serta aspirasi masyarakat. "Jadi, para personal shopper atau jastip ini tetap dikenakan biaya sama seperti penumpang lainnya. Dihitung dari harganya kalau kurang dari USD500, berarti bebas bea masuk," katanya ketika dihubungi, Kamis (28/12/2017). Menurut Deni, belakangan memang makin banyak penumpang pesawat yang membawa barang-barang bermerek seiring meningkatnya perekonomian dan daya beli masyarakat di kota-kota besar.
Melanjutkan tren titip belanja yang tengah marak, kini juga telah hadir Airfrov, platform titip belanja di luar negeri melalui travellers. Berdasarkan data dari The Airports Council International (ACI), Bandara Soekarno-Hatta (CGK) di Indonesia menduduki peringkat ke-18 sebagai bandara dengan lalu lintas serta kesibukan terpadat di dunia pada tahun ini.
Cai Li, CEO & Co-founder Airfrov mengatakan, tren titip belanja barang di luar negeri menjadi semakin populer. Sebagai mediator, Airfrov akan menagih pembayaran dari requester dan menahan biaya tersebut di dalam escrow sebelum traveller melakukan pembelian barang. Sistem pembayaran yang aman ini akan membuat requester dan traveller dapat berbelanja dengan tenang.
Saat traveller kembali ke negara asalnya dengan membawa barang yang di-request, dia dapat memberikan notifikasi melalui aplikasi Airfrov. "Pembaruan aplikasi yang fokus pada pengalaman discovery titip belanja. Airfrov dilengkapi dengan fitur-fitur baru di aplikasinya yang mencakup 'Trending Requests' dan 'Recommendations by Travellers' untuk memberi informasi lengkap mengenai tren produk-produk di luar negeri," ujar Cai Li.
(amm)