Kemenperin-UNDP Susun Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri
A
A
A
JAKARTA - Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) Indonesia sepakat untuk menyusun rekomendasi mengenai kebijakan pengelolaan limbah industri di Tanah Air yang lebih baik.
Tujuan langkah sinergi ini antara lain untuk mewujudkan prinsip industri hijau serta peningkatan daya saing dan membangun manufakur nasional yang berkelanjutan.
"Untuk itu, kami menyelenggarakan seminar agar bisa terjadi dialog dan terkumpul ide pembelajaran dari semua pemangku kepentingan,” kata Kepala BPPI Kemenperin Ngakan Timur Antara melalui siaran pers, Senin (8/1/2018).
Dengan adanya prosedur tetap, lanjutnya, diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan penggunaan bahan pencemar organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants/POPs) dalam proses produksi di industri.
"Salah satu bahan kimia berbahaya yang terdaftar sebagai POPs dan disinyalir masih digunakan di Indonesia adalah Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDEs). Ini biasanya digunakan sebagai flame retardant (penghambat nyala api) pada proses produksi," paparnya.
Ngakan meminta kepada sejumlah manufaktur seperti industri plastik, tekstil, alat angkut, dan elektronika agar menggunakan teknologi pengolahan limbah yang sesuai standar. Terlebih, sektor-sektor itu pun merupakan penopang pertumbuhan industri nonmigas nasional.
"Di samping itu, industri tekstil, alat transportasi, elektronika dan telematika merupakan industri andalan nasional yang telah ditetapkan dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035," imbuhnya.
Menurut Ngakan, upaya kolaborasi Kemenperin dan UNDP ini sebagai wujud komitmen karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants. Berdasarkan Konvensi Stockholm, telah teridentifikasi 12 bahan yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik persisten yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Kemenperin juga mendorong industri nasional agar megoptimalkan pengelolaan sampah secara tepat. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah pendekatan waste to energy. "Selain bisa mengurangi timbulan limbah, pendekatan tersebut juga membantu mengurangi pemanfaatan bahan bakar fosil," kata Ngakan.
Hal tersebut mendukung komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana ditargetkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang disampaikan pada Paris Agreement tahun 2016.
Tujuan langkah sinergi ini antara lain untuk mewujudkan prinsip industri hijau serta peningkatan daya saing dan membangun manufakur nasional yang berkelanjutan.
"Untuk itu, kami menyelenggarakan seminar agar bisa terjadi dialog dan terkumpul ide pembelajaran dari semua pemangku kepentingan,” kata Kepala BPPI Kemenperin Ngakan Timur Antara melalui siaran pers, Senin (8/1/2018).
Dengan adanya prosedur tetap, lanjutnya, diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan penggunaan bahan pencemar organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants/POPs) dalam proses produksi di industri.
"Salah satu bahan kimia berbahaya yang terdaftar sebagai POPs dan disinyalir masih digunakan di Indonesia adalah Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDEs). Ini biasanya digunakan sebagai flame retardant (penghambat nyala api) pada proses produksi," paparnya.
Ngakan meminta kepada sejumlah manufaktur seperti industri plastik, tekstil, alat angkut, dan elektronika agar menggunakan teknologi pengolahan limbah yang sesuai standar. Terlebih, sektor-sektor itu pun merupakan penopang pertumbuhan industri nonmigas nasional.
"Di samping itu, industri tekstil, alat transportasi, elektronika dan telematika merupakan industri andalan nasional yang telah ditetapkan dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035," imbuhnya.
Menurut Ngakan, upaya kolaborasi Kemenperin dan UNDP ini sebagai wujud komitmen karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants. Berdasarkan Konvensi Stockholm, telah teridentifikasi 12 bahan yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik persisten yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Kemenperin juga mendorong industri nasional agar megoptimalkan pengelolaan sampah secara tepat. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah pendekatan waste to energy. "Selain bisa mengurangi timbulan limbah, pendekatan tersebut juga membantu mengurangi pemanfaatan bahan bakar fosil," kata Ngakan.
Hal tersebut mendukung komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana ditargetkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang disampaikan pada Paris Agreement tahun 2016.
(fjo)