W350, Gedung Tertinggi di Dunia Berbahan Kayu Senilai Rp76 Triliun
A
A
A
TOKYO - Pepohonan menciptakan kebahagiaan. Filosofi ini melatari perusahaan Jepang, Sumitomo Forestry untuk membangun gedung pencakar langit tertinggi di dunia yang berbahan kayu.
Melansir dari CNBC, Selasa (20/2/2018), gedung pencakar langit berjuluk W350 dari kata Wooden alias kayu ini memiliki tinggi 350 meter dengan struktur bangunan 90% dari kayu dan baja. Gedung bertingkat 70 yang akan dibangun di Tokyo, terdiri dari toko, perkantoran, hotel dan tempat tinggal.
Sumitomo Forestry mengatakan tujuan dari pembangunan gedung W350 untuk memanfaatkan kayu-kayu yang ada dan menjadikan kota Tokyo sebagai kota yang ramah lingkungan di tengah derasnya hutan beton.
Dengan material menggunakan 185.000 meter kubik kayu, gedung tersebut diperkirakan menghabiskan dana sekitar 600 miliar yen atau setara Rp76 triliun. Estimasi kurs Rp126 per yen. Jumlah sebesar itu karena biaya bermaterial kayu dua kali lipat dari bangunan bertingkat konvensional yang dibangun dengan teknologi saat ini.
Meski biayanya sangat mahal, namun Sumitomo menyatakan biaya tersebut akan turun seiring maraknya material kayu dalam bangunan. "Ke depan, kelayakan ekonomi proyek akan ditingkatkan dengan mengurangi biaya melalui pengembangan teknologi."
Saat ini bangunan tinggi dengan material kayu adalah Universitas British Columbia di Vancouver, Kanada dengan tinggi 53 meter alias 18 lantai, yang berfungsi sebagai akomodasi bagi mahasiswa.
Dengan konsep ramah lingkungan, Sumitomo Forestry akan memadukan dedaunan yang menghubungan dari tanah ke lantai atas yang menawarkan pemandangan keanekaragaman hayati di lingkungan perkotaan.
Bangunan ini juga akan menampilkan balkon yang berada di empat sisi bangunan, untuk memberi ruang di mana orang dapat menikmati udara segar, elemen yang kaya akan sinar mentari yang menyaring melalui dedaunan. Rencananya gedung W350 akan rampung pada tahun 2041 untuk menandai ulang tahun perusahaan yang ke-350.
Sebagai negara yang rawan gempa, bangunan tersebut juga akan menggabungkan sistem struktural yang terdiri dari tabung yang terbuat dari kolom, balok dan kawat gigi untuk mencegah deformasi bangunan karena guncangan lateral dari gempa atau angin.
Konsep untuk bangunan tersebut telah disiapkan terutama di Tsukuba Research Institute, fasilitas penelitian dan pengembangan Sumitomo Forestry. Lembaga ini melihat kemungkinan perluasan bangunan kayu sebagai teknologi masa depan, seperti pengembangan metode bangunan, teknologi ramah lingkungan, dan pohon yang menjadi sumber daya dan bahan bangunan.
Namun kendala lain selain harga material, adalah pasokan kayu. Perusahaan mencatat bahwa Jepang memiliki area hutan sekitar dua pertiga dari luas negara atau 68,5%. Hal ini menempatkannya sebagai posisi kedua di belakang Finlandia. Meski memiliki area hutan lebih dari 50% luas negara, tapi kayu untuk produksi hanya 30%. Sehingga hal ini bisa berisiko terhadap pemeliharaan hutan di Negeri Sakura.
Untuk itu, perusahaan akan melakukan reboisasi dalam pemanfaatan hutan dan cemara yang ada. Jadi sewaktu panen dapat dipergunakan, dan setelah itu menanam kembali. "Sangat penting untuk menggunakan pohon-pohon ini dan menanam kembali setelah panen untuk mendorong keberlanjutan hutan," kata Sumitomo Forestry.
Melansir dari CNBC, Selasa (20/2/2018), gedung pencakar langit berjuluk W350 dari kata Wooden alias kayu ini memiliki tinggi 350 meter dengan struktur bangunan 90% dari kayu dan baja. Gedung bertingkat 70 yang akan dibangun di Tokyo, terdiri dari toko, perkantoran, hotel dan tempat tinggal.
Sumitomo Forestry mengatakan tujuan dari pembangunan gedung W350 untuk memanfaatkan kayu-kayu yang ada dan menjadikan kota Tokyo sebagai kota yang ramah lingkungan di tengah derasnya hutan beton.
Dengan material menggunakan 185.000 meter kubik kayu, gedung tersebut diperkirakan menghabiskan dana sekitar 600 miliar yen atau setara Rp76 triliun. Estimasi kurs Rp126 per yen. Jumlah sebesar itu karena biaya bermaterial kayu dua kali lipat dari bangunan bertingkat konvensional yang dibangun dengan teknologi saat ini.
Meski biayanya sangat mahal, namun Sumitomo menyatakan biaya tersebut akan turun seiring maraknya material kayu dalam bangunan. "Ke depan, kelayakan ekonomi proyek akan ditingkatkan dengan mengurangi biaya melalui pengembangan teknologi."
Saat ini bangunan tinggi dengan material kayu adalah Universitas British Columbia di Vancouver, Kanada dengan tinggi 53 meter alias 18 lantai, yang berfungsi sebagai akomodasi bagi mahasiswa.
Dengan konsep ramah lingkungan, Sumitomo Forestry akan memadukan dedaunan yang menghubungan dari tanah ke lantai atas yang menawarkan pemandangan keanekaragaman hayati di lingkungan perkotaan.
Bangunan ini juga akan menampilkan balkon yang berada di empat sisi bangunan, untuk memberi ruang di mana orang dapat menikmati udara segar, elemen yang kaya akan sinar mentari yang menyaring melalui dedaunan. Rencananya gedung W350 akan rampung pada tahun 2041 untuk menandai ulang tahun perusahaan yang ke-350.
Sebagai negara yang rawan gempa, bangunan tersebut juga akan menggabungkan sistem struktural yang terdiri dari tabung yang terbuat dari kolom, balok dan kawat gigi untuk mencegah deformasi bangunan karena guncangan lateral dari gempa atau angin.
Konsep untuk bangunan tersebut telah disiapkan terutama di Tsukuba Research Institute, fasilitas penelitian dan pengembangan Sumitomo Forestry. Lembaga ini melihat kemungkinan perluasan bangunan kayu sebagai teknologi masa depan, seperti pengembangan metode bangunan, teknologi ramah lingkungan, dan pohon yang menjadi sumber daya dan bahan bangunan.
Namun kendala lain selain harga material, adalah pasokan kayu. Perusahaan mencatat bahwa Jepang memiliki area hutan sekitar dua pertiga dari luas negara atau 68,5%. Hal ini menempatkannya sebagai posisi kedua di belakang Finlandia. Meski memiliki area hutan lebih dari 50% luas negara, tapi kayu untuk produksi hanya 30%. Sehingga hal ini bisa berisiko terhadap pemeliharaan hutan di Negeri Sakura.
Untuk itu, perusahaan akan melakukan reboisasi dalam pemanfaatan hutan dan cemara yang ada. Jadi sewaktu panen dapat dipergunakan, dan setelah itu menanam kembali. "Sangat penting untuk menggunakan pohon-pohon ini dan menanam kembali setelah panen untuk mendorong keberlanjutan hutan," kata Sumitomo Forestry.
(ven)