Finalisasi UU Migas Penting bagi Daya Saing Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Penyelesaian revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dinilai penting bagi peningkatan daya saing sektor migas nasional.
Tak juga disahkannya aturan dasar bagi sektor migas nasional itu menimbulkan ketidakpastian yang berdampak pada keengganan para pelaku di industri hulu migas untuk mencari temuan-temuan cadangan baru.
Persoalan ini juga diyakini akan berdampak pada pencapaian target investasi yang dicanangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun ini sebesar USD17,04 miliar, yang terdiri dari investasi di sektor hulu migas sebesar USD14,44 miliar dan sektor hilir USD2,59 miliar.
"Investasi sektor migas trennya menurun dalam beberapa waktu terakhir, terutama di sektor hulu migas," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Susyanto dalam Media Briefing bertajuk "RUU Migas: Masa Depan Migas Indonesia yang Lebih Baik" di Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Kendati juga dipengaruhi merosotnya harga minyak mentah global beberapa tahun terakhir, sulit dimungkiri tak kunjung selesainya UU Migas ikut berperan.
Menyikapi hal tersebut, Kementerian ESDM berupaya mengeluarkan regulasi yang diharapkan menggairahkan investasi di sektor migas. Susyanto mencontohkan, di awal Februari 2018, Kementerian ESDM telah mencabut 32 peraturan di sektor ESDM di mana 11 di antaranya merupakan peraturan di subsektor migas dan tiga peraturan terkait SKK Migas.
Sementara itu, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno memperingatkan minimnya investasi dan penurunan volume produksi migas nasional bisa membuat Indonesia terjebak dalam krisis energi berkelanjutan.
"Ini sudah masuk kategori darurat investasi, terutama di sektor migas. Kita sudah jadi net importir minyak sejak 2003. Pertumbuhan konsumsi gas dalam negeri pun terus naik dengan rata-rata pertumbuhan 9% per tahun. Bila kondsi investasi tidak beranjak naik dan penemuan cadangan migas tidak bertambah, pada 2024 kita bisa jadi net importir migas," ujarnya.
Untuk itu, tegas dia, revisi UU Migas sangat penting untuk memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia yang akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi wilayah kerja migas.
"Kalau tidak ada kepastian hukum, aturan yang berlaku tidak dapat menjawab tantangan-tantangan baru, tentu investor tidak mau melakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru di Indonesia,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengakui, merujuk pada survei dari Fraser Institute di pertengahan 2017, iklim investasi migas di Indonesia terbilang buruk. Penilaian survei ini mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi terburuk bersama Venezuela, Bolivia, Libya, Irak, Ekuador, Kamboja, Prancis dan Yaman.
Data itu, imbuh Satya, harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera berbenah. Menurutnya, upaya perbaikan daya saing investasi di sektor hulu migas harus muncul dari dua sisi yakni dari sisi regulasi dan industri.
Ia mengakui RUU Migas hasil revisi UU 22/2001 menjadi kebutuhan mendesak pelaku usaha. Sayangnya, kata dia, hingga saat ini aturan itu masih diproses di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Hal ini terkait alotnya pembahasan ataupun sinkronisasi pemahaman mengenai Badan Usaha Khusus (BUK) yang melibatkan dua Komisi DPR, yaitu Komisi VII dan Komisi VI.
"Revisi UU Migas memang masih menjadi utang bagi anggota DPR periode 2014-2019. Tentu kami akan berupaya maksimal untuk bisa meloloskannya sebagai undang-undang migas baru yang akan menjadi payung hukum bagi tata kelola sektor migas dan energi di Indonesia ke depannya," tandasnya.
Tak juga disahkannya aturan dasar bagi sektor migas nasional itu menimbulkan ketidakpastian yang berdampak pada keengganan para pelaku di industri hulu migas untuk mencari temuan-temuan cadangan baru.
Persoalan ini juga diyakini akan berdampak pada pencapaian target investasi yang dicanangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun ini sebesar USD17,04 miliar, yang terdiri dari investasi di sektor hulu migas sebesar USD14,44 miliar dan sektor hilir USD2,59 miliar.
"Investasi sektor migas trennya menurun dalam beberapa waktu terakhir, terutama di sektor hulu migas," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Susyanto dalam Media Briefing bertajuk "RUU Migas: Masa Depan Migas Indonesia yang Lebih Baik" di Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Kendati juga dipengaruhi merosotnya harga minyak mentah global beberapa tahun terakhir, sulit dimungkiri tak kunjung selesainya UU Migas ikut berperan.
Menyikapi hal tersebut, Kementerian ESDM berupaya mengeluarkan regulasi yang diharapkan menggairahkan investasi di sektor migas. Susyanto mencontohkan, di awal Februari 2018, Kementerian ESDM telah mencabut 32 peraturan di sektor ESDM di mana 11 di antaranya merupakan peraturan di subsektor migas dan tiga peraturan terkait SKK Migas.
Sementara itu, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno memperingatkan minimnya investasi dan penurunan volume produksi migas nasional bisa membuat Indonesia terjebak dalam krisis energi berkelanjutan.
"Ini sudah masuk kategori darurat investasi, terutama di sektor migas. Kita sudah jadi net importir minyak sejak 2003. Pertumbuhan konsumsi gas dalam negeri pun terus naik dengan rata-rata pertumbuhan 9% per tahun. Bila kondsi investasi tidak beranjak naik dan penemuan cadangan migas tidak bertambah, pada 2024 kita bisa jadi net importir migas," ujarnya.
Untuk itu, tegas dia, revisi UU Migas sangat penting untuk memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia yang akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi wilayah kerja migas.
"Kalau tidak ada kepastian hukum, aturan yang berlaku tidak dapat menjawab tantangan-tantangan baru, tentu investor tidak mau melakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru di Indonesia,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengakui, merujuk pada survei dari Fraser Institute di pertengahan 2017, iklim investasi migas di Indonesia terbilang buruk. Penilaian survei ini mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi terburuk bersama Venezuela, Bolivia, Libya, Irak, Ekuador, Kamboja, Prancis dan Yaman.
Data itu, imbuh Satya, harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera berbenah. Menurutnya, upaya perbaikan daya saing investasi di sektor hulu migas harus muncul dari dua sisi yakni dari sisi regulasi dan industri.
Ia mengakui RUU Migas hasil revisi UU 22/2001 menjadi kebutuhan mendesak pelaku usaha. Sayangnya, kata dia, hingga saat ini aturan itu masih diproses di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Hal ini terkait alotnya pembahasan ataupun sinkronisasi pemahaman mengenai Badan Usaha Khusus (BUK) yang melibatkan dua Komisi DPR, yaitu Komisi VII dan Komisi VI.
"Revisi UU Migas memang masih menjadi utang bagi anggota DPR periode 2014-2019. Tentu kami akan berupaya maksimal untuk bisa meloloskannya sebagai undang-undang migas baru yang akan menjadi payung hukum bagi tata kelola sektor migas dan energi di Indonesia ke depannya," tandasnya.
(fjo)