Skema Pembayaran Pajak UMKM Dipermudah
A
A
A
JAKARTA - Kabar gembira bagi pelaku usaha miko kecil dan menangah (UMKM). Selain akan menurunkan tarif pajak dari 1% menjadi 0,5%, yang diberlakukan dalam waktu dekat, pemerintah juga memberikan kemudahan dalam mekanisme pembayarannya. Nantinya, pelaku UMKM bisa memilih mekanisme pembayaran pajak penghasilan antara yang bersifat final dan reguler. Dengan demikian, pelaku UMKM dapat menggunakan pilihan sesuai dengan karakteristik bisnis yang dijalankan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, aturan pejak UMKM tersebut sedang ditelaah dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2013. Rencananya, beleid tersebut akan dikeluarkan pekan ini. "Maksudnya, apakah boleh selamanya menggunakan pajak final ataukah pajak final adalah stepping stone yang ujungnya kami mau kepatuhan pajak mengikuti ketentuan yang reguler," kata dia di Jakarta.
Menurut Suahasil, dalam PP No 46/2013, wajib pajak yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak dikenai pajak penghasilan yang bersifat final yakni sebesar 1%. Pengenaan pajak penghasilan tersebut didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
Menurut Suahasil, pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final dihitung berdasarkan omzet. Apabila pelaku usaha merugi, mereka tetap membayar pajak. Dia juga mengatakan bahwa pajak penghasilan final hanya mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan pencatatan atas omzet. Adapun untuk mekanisme reguler atau normal yang sesuai dengan ketentuan umum, pajaknya dihitung berdasarkan laba. Hal tersebut mengharuskan pelaku usaha melakukan pembukuan penerimaan dan pengeluaran.
"Kalau mekanisme normal yang ketentuan umum, pajaknya berdasarkan laba. Dengan demikian, kalau pengusaha rugi, dia malah tidak bayar pajak," ucap Suahasil.
Dia menegaskan, Kementerian Keuangan membuka kesempatan kepada wajib pajak untuk mengadopsi skema pajak final atau reguler. Rencananya aturan mengenai pajak UMKM tersebut akan dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Saat ini, Pemerintah sedang menelaah dimensi revisi tersebut, terutama menyangkut tarif dan ambang peredaran bruto (threshold).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, opsi mekanisme tersebut lebih baik karena tidak memberatkan pelaku UMKM. "Artinya, tidak memberatkan. Tapi kan ada syaratnya, menyelenggarakan pembukuan supaya bisa diketahui laba ruginya," ujarnya.
Menurut Yustinus, selama ini PP No 46/2013 bukan opsional, melainkan mandatory bagi semua pelaku usaha UMKM yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar. Hal tersebut dinilai kaku dan memberatkan karena bisa berpotensi merugikan juga. "Yang penting PP ini mengatur dengan jelas, tegas, dan sederhana dan memudahkan baik fiskus maupun wajib pajak," ungkapnya.
Yustinus menuturkan, untuk batas pengenaan pajak yang saat ini Rp4,8 miliar, lebih baik dipertahankan. Hal ini agar tidak menimbulkan kegaduhan bagi pelaku UMKM. "Pertimbangannya, jika diturunkan bisa menimbulkan kegaduhan karena ini aturan untuk UMKM. Kemudian, nilai RP4,8 miliar di tahun 2013 ini sekarang kan sudah riil, sudah turun karena inflasi," tuturnya.
Pengamat ekonomi Institute For Develompent of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, kebijakan tersebut perlu diapresiasi. Selama ini UMKM yang rugi tetap harus bayar pajak karena pajak UMKM dihitungnya lewat omzet bukan dari laba bersih. "Skema baru ini dirasa lebih adil bagi UMKM. Di sisi yang lain dampaknya ke penyaluran kredit sektor UMKM diprediksi meningkat. Bank lebih tertarik untuk menyalurkan ke UMKM akibat adanya insentif pajak ini," ungkapnya.
Menurut Bhima, dengan lebih rendahnya tarif pajak juga membuat tingkat kepatuhan UMKM meningkat. "Biasanya yang rugi agak takut untuk lapor SPT (surat pemberitahuan pajak), sekarang karena lebih adil mereka mau lapor," imbuhnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, aturan pejak UMKM tersebut sedang ditelaah dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2013. Rencananya, beleid tersebut akan dikeluarkan pekan ini. "Maksudnya, apakah boleh selamanya menggunakan pajak final ataukah pajak final adalah stepping stone yang ujungnya kami mau kepatuhan pajak mengikuti ketentuan yang reguler," kata dia di Jakarta.
Menurut Suahasil, dalam PP No 46/2013, wajib pajak yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak dikenai pajak penghasilan yang bersifat final yakni sebesar 1%. Pengenaan pajak penghasilan tersebut didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
Menurut Suahasil, pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final dihitung berdasarkan omzet. Apabila pelaku usaha merugi, mereka tetap membayar pajak. Dia juga mengatakan bahwa pajak penghasilan final hanya mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan pencatatan atas omzet. Adapun untuk mekanisme reguler atau normal yang sesuai dengan ketentuan umum, pajaknya dihitung berdasarkan laba. Hal tersebut mengharuskan pelaku usaha melakukan pembukuan penerimaan dan pengeluaran.
"Kalau mekanisme normal yang ketentuan umum, pajaknya berdasarkan laba. Dengan demikian, kalau pengusaha rugi, dia malah tidak bayar pajak," ucap Suahasil.
Dia menegaskan, Kementerian Keuangan membuka kesempatan kepada wajib pajak untuk mengadopsi skema pajak final atau reguler. Rencananya aturan mengenai pajak UMKM tersebut akan dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Saat ini, Pemerintah sedang menelaah dimensi revisi tersebut, terutama menyangkut tarif dan ambang peredaran bruto (threshold).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, opsi mekanisme tersebut lebih baik karena tidak memberatkan pelaku UMKM. "Artinya, tidak memberatkan. Tapi kan ada syaratnya, menyelenggarakan pembukuan supaya bisa diketahui laba ruginya," ujarnya.
Menurut Yustinus, selama ini PP No 46/2013 bukan opsional, melainkan mandatory bagi semua pelaku usaha UMKM yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar. Hal tersebut dinilai kaku dan memberatkan karena bisa berpotensi merugikan juga. "Yang penting PP ini mengatur dengan jelas, tegas, dan sederhana dan memudahkan baik fiskus maupun wajib pajak," ungkapnya.
Yustinus menuturkan, untuk batas pengenaan pajak yang saat ini Rp4,8 miliar, lebih baik dipertahankan. Hal ini agar tidak menimbulkan kegaduhan bagi pelaku UMKM. "Pertimbangannya, jika diturunkan bisa menimbulkan kegaduhan karena ini aturan untuk UMKM. Kemudian, nilai RP4,8 miliar di tahun 2013 ini sekarang kan sudah riil, sudah turun karena inflasi," tuturnya.
Pengamat ekonomi Institute For Develompent of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, kebijakan tersebut perlu diapresiasi. Selama ini UMKM yang rugi tetap harus bayar pajak karena pajak UMKM dihitungnya lewat omzet bukan dari laba bersih. "Skema baru ini dirasa lebih adil bagi UMKM. Di sisi yang lain dampaknya ke penyaluran kredit sektor UMKM diprediksi meningkat. Bank lebih tertarik untuk menyalurkan ke UMKM akibat adanya insentif pajak ini," ungkapnya.
Menurut Bhima, dengan lebih rendahnya tarif pajak juga membuat tingkat kepatuhan UMKM meningkat. "Biasanya yang rugi agak takut untuk lapor SPT (surat pemberitahuan pajak), sekarang karena lebih adil mereka mau lapor," imbuhnya.
(amm)