CISFED Usulkan Reformasi APBN untuk Lepas dari Utang
A
A
A
JAKARTA - Persoalan utang pemerintah yang terus meningkat beberapa waktu ini menjadi sorotan banyak kalangan. Terlebih menjelang tahun politik saat ini, persoalan utang menjadi isu hangat yang ramai diperbincangkan.
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Farouk Abdullah mengatakan, polemik soal utang pemerintah ini seyogianya diletakkan secara proporsional. Sebab, jelas Farouk, hampir setiap negara di dunia memiliki utang.
Utang pemerintah memang meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir, sementara pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di kisaran 5%. Utang pemerintah naik dari Rp3.165,13 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp3.466,96 triliun hingga akhir 2017. Bahkan, per akhir Februari 2018, utang pemerintah mencapai angka Rp4.034,8 triliun. Adapun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018, pemerintah memproyeksikan utang akan menyentuh angka Rp 4.772 triliun.
Kendati wajar, Farouk mengatakan bahwa dalam jangka panjang utang yang terus membengkak akan menggerogoti keuangan negara. "Memang, utang luar negeri Indonesia dalam waktu yang lama telah menjadi bagian dari APBN kita, karena pendapatan utama negara selain pajak adalah dari utang ini. Utang bisa dikatakan sebagai penolong untuk menutupi kebutuhan belanja pengeluaran pemerintah," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (15/4/2018).
Farouk menjelaskan, utang pemerintah meningkat seiring kebutuhan belanja rutin, sayangnya utang tidak begitu berdampak terhadap belanja modal, yang notabene penting untuk pembangunan infrastruktur. Pengeluaran yang terus meningkat ini terutama pada belanja pegawai, belanja barang, dan pembayaran kewajiban utang, plus dana transfer daerah.
Jumlah belanja pegawai diperkirakan sebesar Rp366 triliun pada tahun ini atau naik 28% sejak 2014. Sementara di posisi kedua adalah belanja barang sebesar Rp340 triliun atau naik 58% sejak 2014. Pada 2014, alokasi biaya pegawai mencapai 20,25% dari total APBN. Angka ini meningkat pada 2015 menjadi 23,76%, dan 2016 sebesar 26,44% dari tota APBN. Masuk 2017, alokasi belanja pegawai turun tipis ke angka 26,25%.
Sedangkan pos anggaran infrastruktur yang masuk dalam kategori modal, berada di urutan ketiga, yakni sebesar Rp204 triliun atau naik 36% sejak 2014. Pun dengan dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun tahun 2015 meningkat menjadi Rp766,2 triliun pada tahun 2018. Namun, imbuh dia, dana transfer ke daerah ini esensinya juga habis untuk membiayai belaja rutin ketimbang belanja modal atau infrastruktur. Di samping itu alokasi untuk belanja sosial juga tidak signifikan kenaikannya dan dana subsidi di luar subsidi energi malah menciut.
Farouk menegaskan, pemerintah harus berani melakukan reformasi struktural dalam postur APBN karena untuk membiayai belanja rutin tidak bisa selamanya mengandalkan hasil utang luar negeri yang bunganya sangat berat. "Bahkan untuk membayar bunga utang ini sumber dananya dari utang juga. Tak pelak, apa yang dilakukan pemerintah ibarat gali lubang tutup lubang," tuturnya.
Menurut Farouk, reformasi APBN bisa ditempuh pertama dengan mengurangi utang secara bertahap. Alternatif untuk menambal utang tersebut menurutnya bisa dengan mengoptimalkan setoran dari BUMN. Dalam RAPBN 2018, pemerintah menetapkan target penerimaan dividen BUMN Rp43,7 triliun. Selama ini, kata dia, BUMN banyak mendapat sumber pembiayaan dari negara namun kontribusi terhadap APBN masih kecil. Kinerja perusahaan pelat merah ini, tegasdia, harus didorong dan kemanfaatannya bisa dirasakan oleh rakyat, baik dalam bentuk kontribusi ke APBN maupun kualitas layanan yang baik.
"Secara umum produktivitas BUMN harus ditingkatkan agar bisa memainkan peran untuk memberikan pemasukan yang signifikan sebagai mengganti utang atau tidak turut menyebabkan high cost economy," ujar Farouk.
Kedua, mengurangi pengeluaran belanja pegawai dan barang. Meski sulit, jelas Farouk, belanja pegawai bisa efisien kalau jumlah aparatur sipil negara (ASN) dipangkas, yang tentunya akan berdampak juga terhadap penurunan belanja barang. Mengutip pernyataan Menpan sebelumnya, saat ini, total ASN mecapai 4,5 juta, sedangkan idealnya sekitar 3,5 juta. Selain mengurangi jumlah secara bertahap, kualitas ASN jangan diabaikan.
Ketiga, mengefektifkan pemungutan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Namun, imbuh dia, pemungutan pajak juga tetap perlu memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan investasi bisnis. "Di sini prioritisasi pengejaran pajak harus efektif," tandasnya.
Pengejaran pajak yang agresif terhadap masyarakat umum menurutnya hanya buang-buang energi, tapi hasilnya tak signifikan. Untuk itu, Ditjen Pajak dengan kapasitas SDM yang terbatas menurutnya harus mengefektifkan sumber daya yang ada dengan mengejar wajib pajak kakap, bukannya kelas UKM dan masyarakat biasa dengan penghasilan yang minim.
"Orang-orang sangat kaya dan kaya di Indonesia dari mulai konglomerat, pejabat, artis, pejabat BUMN, dan yang semacamnya itu yang harus dikejar. Hal ini juga terkait dengan upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi," pungkasnya.
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Farouk Abdullah mengatakan, polemik soal utang pemerintah ini seyogianya diletakkan secara proporsional. Sebab, jelas Farouk, hampir setiap negara di dunia memiliki utang.
Utang pemerintah memang meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir, sementara pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di kisaran 5%. Utang pemerintah naik dari Rp3.165,13 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp3.466,96 triliun hingga akhir 2017. Bahkan, per akhir Februari 2018, utang pemerintah mencapai angka Rp4.034,8 triliun. Adapun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018, pemerintah memproyeksikan utang akan menyentuh angka Rp 4.772 triliun.
Kendati wajar, Farouk mengatakan bahwa dalam jangka panjang utang yang terus membengkak akan menggerogoti keuangan negara. "Memang, utang luar negeri Indonesia dalam waktu yang lama telah menjadi bagian dari APBN kita, karena pendapatan utama negara selain pajak adalah dari utang ini. Utang bisa dikatakan sebagai penolong untuk menutupi kebutuhan belanja pengeluaran pemerintah," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (15/4/2018).
Farouk menjelaskan, utang pemerintah meningkat seiring kebutuhan belanja rutin, sayangnya utang tidak begitu berdampak terhadap belanja modal, yang notabene penting untuk pembangunan infrastruktur. Pengeluaran yang terus meningkat ini terutama pada belanja pegawai, belanja barang, dan pembayaran kewajiban utang, plus dana transfer daerah.
Jumlah belanja pegawai diperkirakan sebesar Rp366 triliun pada tahun ini atau naik 28% sejak 2014. Sementara di posisi kedua adalah belanja barang sebesar Rp340 triliun atau naik 58% sejak 2014. Pada 2014, alokasi biaya pegawai mencapai 20,25% dari total APBN. Angka ini meningkat pada 2015 menjadi 23,76%, dan 2016 sebesar 26,44% dari tota APBN. Masuk 2017, alokasi belanja pegawai turun tipis ke angka 26,25%.
Sedangkan pos anggaran infrastruktur yang masuk dalam kategori modal, berada di urutan ketiga, yakni sebesar Rp204 triliun atau naik 36% sejak 2014. Pun dengan dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun tahun 2015 meningkat menjadi Rp766,2 triliun pada tahun 2018. Namun, imbuh dia, dana transfer ke daerah ini esensinya juga habis untuk membiayai belaja rutin ketimbang belanja modal atau infrastruktur. Di samping itu alokasi untuk belanja sosial juga tidak signifikan kenaikannya dan dana subsidi di luar subsidi energi malah menciut.
Farouk menegaskan, pemerintah harus berani melakukan reformasi struktural dalam postur APBN karena untuk membiayai belanja rutin tidak bisa selamanya mengandalkan hasil utang luar negeri yang bunganya sangat berat. "Bahkan untuk membayar bunga utang ini sumber dananya dari utang juga. Tak pelak, apa yang dilakukan pemerintah ibarat gali lubang tutup lubang," tuturnya.
Menurut Farouk, reformasi APBN bisa ditempuh pertama dengan mengurangi utang secara bertahap. Alternatif untuk menambal utang tersebut menurutnya bisa dengan mengoptimalkan setoran dari BUMN. Dalam RAPBN 2018, pemerintah menetapkan target penerimaan dividen BUMN Rp43,7 triliun. Selama ini, kata dia, BUMN banyak mendapat sumber pembiayaan dari negara namun kontribusi terhadap APBN masih kecil. Kinerja perusahaan pelat merah ini, tegasdia, harus didorong dan kemanfaatannya bisa dirasakan oleh rakyat, baik dalam bentuk kontribusi ke APBN maupun kualitas layanan yang baik.
"Secara umum produktivitas BUMN harus ditingkatkan agar bisa memainkan peran untuk memberikan pemasukan yang signifikan sebagai mengganti utang atau tidak turut menyebabkan high cost economy," ujar Farouk.
Kedua, mengurangi pengeluaran belanja pegawai dan barang. Meski sulit, jelas Farouk, belanja pegawai bisa efisien kalau jumlah aparatur sipil negara (ASN) dipangkas, yang tentunya akan berdampak juga terhadap penurunan belanja barang. Mengutip pernyataan Menpan sebelumnya, saat ini, total ASN mecapai 4,5 juta, sedangkan idealnya sekitar 3,5 juta. Selain mengurangi jumlah secara bertahap, kualitas ASN jangan diabaikan.
Ketiga, mengefektifkan pemungutan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Namun, imbuh dia, pemungutan pajak juga tetap perlu memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan investasi bisnis. "Di sini prioritisasi pengejaran pajak harus efektif," tandasnya.
Pengejaran pajak yang agresif terhadap masyarakat umum menurutnya hanya buang-buang energi, tapi hasilnya tak signifikan. Untuk itu, Ditjen Pajak dengan kapasitas SDM yang terbatas menurutnya harus mengefektifkan sumber daya yang ada dengan mengejar wajib pajak kakap, bukannya kelas UKM dan masyarakat biasa dengan penghasilan yang minim.
"Orang-orang sangat kaya dan kaya di Indonesia dari mulai konglomerat, pejabat, artis, pejabat BUMN, dan yang semacamnya itu yang harus dikejar. Hal ini juga terkait dengan upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi," pungkasnya.
(fjo)