HoA Divestasi Freeport Dinilai Miliki Kejanggalan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Holding Industri Pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum Kamis (12/7) lalu telah menandatangani Head of Agreement (HoA) divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto.
Kendati disambut positif, kesepakatan yang disebut sebagai prestasi pemerintah itu juga meninggalkan banyak pertanyaan bagi berbagai kalangan. Salah satunya adalah pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana yang sejak awal mencermati persoalan ini. Dalam pernyataan terbarunya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) tersebut menilai HoA memiliki beberapa kejanggalan.
Hikmahanto merujuk pernyataa Head of Corporate Communications & Government Relations Holding Industri Pertambangan Inalum Rendi Witular pada tanggal 14 Juli 2018 yang mengatakan bahwa HoA yang sudah diteken para pihak tidak ada masalah. HoA nantinya masih akan dituangkan dalam perjanjian yang lebih rinci.
"Pernyataan ini perlu diapresiasi mengingat jelas bahwa HoA bukanlah perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli participating interest dari Rio Tinto dan jual beli saham dari Freeport sehingga Indonesia melalui Inalum telah menjadi pemegang saham 51% dari PTFI," ungkapnya dalam siaran pers yang dikutip SINDOnews, Minggu (15/7/2018).
Hikmahanto menyarankan, ada baiknya klaim yang mengatakan Indonesia telah berhasil menjadi pemegang saham 51% dihentikan. "Dari apa yang disampaikan oleh Rendi Witular masih ada sejumlah langkah agar saham PTFI berada ditangan Indonesia melalui Inalum," jelasnya.
Langkah berikut adalah negosiasi untuk perjanjian teknis. Hikmahanto menilai, meski tidak diharapkan, bukannya tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan.
Hal lain yang menurutnya menarik dari pernyataan Rendi Witular adalah adanya empat isu lain selain divestasi. Salah satunya adalah akan diadakannya perjanjian stabilisasi investasi.
"Isu ini sangat janggal bila ada dalam HoA. Janggal karena Inalum bukan regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti. Pihak yang menentukan pajak dan royalti adalah pemerintah. Sehingga tidak seharusnya isu besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah," tegasnya.
Menurut Hikmahanto, Freeport seharusnya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan pemerintah. Namun, bila pemerintah melakukan hal ini, berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan sebuah kontrak/perjanjian oleh entitas swasta.
"Bila ini terjadi maka Indonesia seolah kembali ke era VOC dimana sebuah perusahaan swasta membelenggu berbagai kerajaan di Nusantara," tuturnya.
Di samping itu, lanjut dia, perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169 (a) Undang-undang Mineral dan Batubara yang menyatakan setelah Kontrak Karya berakhir maka tidak ada lagi perjanjian.
Perjanjian stabilisasi antara Freeport dengan pemerintah pun akan bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata yang intinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal janggal lain dalam HoA menurutnya adalah diaturnya perubahan dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal ini dinilai janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017. Dalam PP tersebut bagi Freeport apabila tetap ingin melakukan ekspor, maka K mereka harus mengubah KK menjadi IUPK. Bila tidak maka pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor dilakukan. Hasil tambang Freeport harus dimurnikan di Indonesia.
Dari berbagai kejanggalan tersebut, tambah dia, terlihat pemerintah dan Inalum ketika bernegosiasi dengan Freeport tidak didampingi oleh penasehat hukum yang ahli dalam dua masalah sekaligus yaitu perdata dan publik.
Kendati disambut positif, kesepakatan yang disebut sebagai prestasi pemerintah itu juga meninggalkan banyak pertanyaan bagi berbagai kalangan. Salah satunya adalah pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana yang sejak awal mencermati persoalan ini. Dalam pernyataan terbarunya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) tersebut menilai HoA memiliki beberapa kejanggalan.
Hikmahanto merujuk pernyataa Head of Corporate Communications & Government Relations Holding Industri Pertambangan Inalum Rendi Witular pada tanggal 14 Juli 2018 yang mengatakan bahwa HoA yang sudah diteken para pihak tidak ada masalah. HoA nantinya masih akan dituangkan dalam perjanjian yang lebih rinci.
"Pernyataan ini perlu diapresiasi mengingat jelas bahwa HoA bukanlah perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli participating interest dari Rio Tinto dan jual beli saham dari Freeport sehingga Indonesia melalui Inalum telah menjadi pemegang saham 51% dari PTFI," ungkapnya dalam siaran pers yang dikutip SINDOnews, Minggu (15/7/2018).
Hikmahanto menyarankan, ada baiknya klaim yang mengatakan Indonesia telah berhasil menjadi pemegang saham 51% dihentikan. "Dari apa yang disampaikan oleh Rendi Witular masih ada sejumlah langkah agar saham PTFI berada ditangan Indonesia melalui Inalum," jelasnya.
Langkah berikut adalah negosiasi untuk perjanjian teknis. Hikmahanto menilai, meski tidak diharapkan, bukannya tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan.
Hal lain yang menurutnya menarik dari pernyataan Rendi Witular adalah adanya empat isu lain selain divestasi. Salah satunya adalah akan diadakannya perjanjian stabilisasi investasi.
"Isu ini sangat janggal bila ada dalam HoA. Janggal karena Inalum bukan regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti. Pihak yang menentukan pajak dan royalti adalah pemerintah. Sehingga tidak seharusnya isu besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah," tegasnya.
Menurut Hikmahanto, Freeport seharusnya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan pemerintah. Namun, bila pemerintah melakukan hal ini, berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan sebuah kontrak/perjanjian oleh entitas swasta.
"Bila ini terjadi maka Indonesia seolah kembali ke era VOC dimana sebuah perusahaan swasta membelenggu berbagai kerajaan di Nusantara," tuturnya.
Di samping itu, lanjut dia, perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169 (a) Undang-undang Mineral dan Batubara yang menyatakan setelah Kontrak Karya berakhir maka tidak ada lagi perjanjian.
Perjanjian stabilisasi antara Freeport dengan pemerintah pun akan bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata yang intinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal janggal lain dalam HoA menurutnya adalah diaturnya perubahan dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal ini dinilai janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017. Dalam PP tersebut bagi Freeport apabila tetap ingin melakukan ekspor, maka K mereka harus mengubah KK menjadi IUPK. Bila tidak maka pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor dilakukan. Hasil tambang Freeport harus dimurnikan di Indonesia.
Dari berbagai kejanggalan tersebut, tambah dia, terlihat pemerintah dan Inalum ketika bernegosiasi dengan Freeport tidak didampingi oleh penasehat hukum yang ahli dalam dua masalah sekaligus yaitu perdata dan publik.
(fjo)