Blunder, Pembatalan DMO Harga Batu Bara Harus Dibatalkan

Senin, 30 Juli 2018 - 08:01 WIB
Blunder, Pembatalan...
Blunder, Pembatalan DMO Harga Batu Bara Harus Dibatalkan
A A A
JAKARTA - Pemerintah berencana mencabut kebijakan wajib memasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batu bara, termasuk untuk pembangkit listrik yang dioperasikan PT PLN (Persero). Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, alasan pembatalan kebijakan DMO adalah untuk mendongkrak nilai ekspor batu bara guna menambah devisa untuk mengamankan defisit transaksi berjalan Indonesia.

Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal USD70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA), jika HBA di bawah USD70 per metrik ton.

Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menilai, alasan yang dikemukakan Luhut mengada-ada. Pasalnya, jelas dia, ketentuan DMO Produksi batu bara hanya 25% dari total penjualan, sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar.

"Dengan DMO Produksi 25%, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit nercara pembayaran," ungkapnya kepada media, Senin (30/7/2018).

Fahmy memaparkan, berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metrik ton, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar USD104,65 per metrik ton. Kalau penjualan 25% kepada PLN atau sebesar 106 juta metrik ton dijual dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi sebesar USD11,12 miliar.

Sementara, lanjut dia, jika menggunakan harga DMO USD70 per metric ton, pendapatan penguasaha turun menjadi USD7,44 miliar (106 juta x USD70). Selisih perbedaan harga tersebut sebesar USD3,68 miliar (USD11,12-USD7,44). Di sisi lain, menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar USD25 miliar, maka selisih harga itu menurutnya tidak signifikan.

Lebih lanjut dia mengatakan, berdasarkan pernyataan Wakil Menteri ESDM Achandra Tahar bahwa bukan DMO produksi 25% yang dicabut, tetapi cap DMO harga USD70 yang akan dibatalkan. Artinya, pengusaha batu bara tidak mengekspor seluruh total produksi batu bara sebesar 425 juta metrik ton, tetapi tetap menjual ke PLN sebesar 25% produksi atau sekitar 106,25 juta metrik ton namun dengan harga pasar USD104,65, bukan harga DMO USD70 per metrik ton.

"Kalau benar yang dikatakan oleh Achandra, tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor, melainkan penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PLN, yang berasal dari kenaikan harga jual dari USD70 naik menjadi USD104,65," tuturnya.

Dengan demikian, tegas dia, pembatalan DMO harga batu bara tidak menghasilkan tambahan devisa sama sekali, kecuali hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya bagi PLN. Kecuali seluruh produksi batu bara sebesar 425 metrik ton diekepor, maka akan ada tambahan devisa dari ekspor batu bara sebesar USD3,68. Namun, konsekuensinya, PLN harus mengimpor seluruh kebutuhan batu bara yang akan memperlemah neraca pembayaran BUMN kelistrikan tersebut.

Untuk menutup tambahan beban biaya PLN, pemerintah akan memberikan tambahan subsidi kepada yang berasal dari iuran penguasaha batu bara antara USD2-3 per metrik ton, yang dikelola oleh suatu badan yang baru akan dibentuk kemudian. Namun, tegas dia, berdasakan perhitungan, tambahan subsidi dari iuran itu tidak akan mencukupi untuk menutup beban biaya PLN akibat pembatalan DMO harga.

Fahmy memaparkan, tambahan beban biaya PLN diperkirakan sebesar USD3,68 miliar ([(106,25 juta x 104,65)-[(106,25x70)]), sedangkan iuran dari pengusaha USD3 per metrik ton akan terkumpul USD1,28 miliar (425 juta metric ton x USD3). Jumlah iuran itu tidak akan mencukupinya, masih ada selisih yang menjadi beban PLN sebesar USD2,40 miliar (USD3,68 miliar–USD1,28 miliar). Selain itu, penggunaan iuaran untuk subsidi akan terjadi time lag antara pemberlakukan pembatalan DMO harga dengan proses pengumpulan iuran dana, apalagi masih menunggu dibentuknya lembaga pengumpul di Kementerian Keuangan, yang akan semakin memperpanjang time lag, sehingga memperpanjang beban biaya yang harus ditanggung oleh PLN

Di tengah kenaikan harga energi primer yang digunakan pembangkit listrik mulai dari BBM, solar, gas, batu bara, harga jual listrik dari IPP, beban PLN dalam menjalankan Public Service Obligation (PSO) untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga 2019 dan penugasan pemerintah dalam pencapaian 100% elektrifikasi serta proyek 35.000 MW menyebabkan beban PLN akan semakin berat akibat pembatalan DMO harga batu bara. Apalagi, PLN sudah menderita kerugian pada semester I/2018 sebesar Rp6,49 triliun, bandingkan periode yang sama pada 2017, PLN masih mencatat laba bersih sebesar Rp510,17 miliar.

"Pembatalan DMO harga itu akan semakin memperbesar kerugian PLN yang berkepanjangan. Kalau kerugian PLN itu dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan PLN terancam bangkrut. Kalau pabrik setrum satu-satunya di Indonesia ini benar-benar bangkrut, tidak dapat dihindari Nusantara akan kembali gelap gulita. Pada saat itu, PLN bukan lagi sebagai Perusahaan Listrik Negara, tetapi berubah menjadi Perusahaan Lilin Negara. Sungguh amat ironis," cetusnya.

Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, termasuk untuk mencegah kebangkrutan PLN, Fahmy meminta kebijakan pembatalan DMO harga batu bara dibatalkan. Pembatalan kebijakan DMO harga batu bara menurutnya adalah kebijakan blunder yang tidak menambah devisa dari ekspor batu bara untuk mengurangi defisit neraca pembayaran, melainkan hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya PLN.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1306 seconds (0.1#10.140)