Penghapusan Kredit Perbankan Tak Langsung Cerminkan Kerugian

Selasa, 14 Agustus 2018 - 06:10 WIB
Penghapusan Kredit Perbankan...
Penghapusan Kredit Perbankan Tak Langsung Cerminkan Kerugian
A A A
JAKARTA - Penghapus bukuan kredit tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapus bukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.

"Penghapus bukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi, karena itu dampaknya baru sebatas potensial lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi," kata mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono di Jakarta, Senin (13/8/2018).

Pendapat mantan Dirut Bank BNI itu diungkapkan terkait dengan kredit petani tambak di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI senilai Rp4,8 triliun. Yang menyebabkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Sigit, konsekuensi penghapusan bukuan hanya tidak ditampilkannya kredit di laporan keuangan, dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada. Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004, dialihkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN.

Sigit juga mengatakan, apa yang dilakukan BPPN adalah langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN, dan belum terselesaikan oleh Ketua BPPN sebelumnya. "Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat," kata Sigit.

Seperti diketahui, Syafruddin didakwa telah menyebabkan kerugian kepada negara sebesar Rp4,58 triliun ketika dia sebagai Kepala BPPN. Kerugian ini disebabkan terbitnya Surat Permukiman (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim, mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI.

Padahal, menurut KPK, SN belum berhak menerima SKL karena belum persoalan kredit bank kepada 11.00 peternak udang yang menjadi plasma perusahaan PT Dipasena Citra Darmaja belum diselesaikan. Pemberian SKL ini telah membuat pemerintah kehilangan hak tagih.

Kredit tersebut disalurkan pada saat sebelum krisis ekonomi 1997-1998 dalam bentuk valas senilai USD390 juta atau setara Rp1,3 triliun pada kurs saat itu. Ketika kurs rupiah anjlok pada saat krisis, nilai utang petani tersebut membengkak menjadi Rp4,8 triliun sehingga mereka kesulitan untuk membayar sehingga kredit menjadi macet.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4527 seconds (0.1#10.140)