Indonesia Perlu Naikkan Simpanan Domestik
A
A
A
TOKYO - Kebijakan Bank Indonesia merespons tekanan global untuk meredam nilai tukar rupiah dan gejolak pasar dengan menaikkan suku bunga acuan dinilai tepat. Namun kebijakan ini dirasa belum cukup bagi Indonesia.
Dekan Asian Development Bank (ADB) Institute, Naoyuki Yoshino, mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu menaikkan simpanan dalam negeri dan memanfaatkan pembiayaan domestik untuk menggerakan ekonomi.
"Dapat dilakukan melalui dana pensiun atau asuransi. Selain itu juga mengamankan penerimaan negara dengan mencegah penghindaran pajak," ujarnya di sela-sela seminar "Indonesia's Recent Economic Development" di kantor ADB Institute di Tokyo, Rabu (22/8/2018).
Adapun pembicara seminar, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara.
Seminar dihadiri pelaku ekonomi Jepang yang berinvestasi di Indonesia, seperti Bank of Japan, Nomura Bank, Inpex Company, Lembaga Perdagangan Jetro, Tokio Marine Nichido Insurance, Deutsche Bundersbank dan lainnya. Selain itu, juga hadir mahasiswa Indonesia di Jepang, perwakilan Kedutaan Indonesia dan turut hadir ekonom Denni Puspa Purbasari dari Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.
Yoshino menilai masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia dan Jepang tak sama dengan yang dihadapi negara-negara lainya. Penyelesaian ekonomi tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan moneter saja dengan menurunkan atau menaikkan suku bunga.
Dia mencontohkan, negaranya yang saat ini menghadapi persoalan masalah populasi. Menurut Yoshino, tidak semua persoalan ekonomi bisa dipecahkan dengan kebijakan moneter. Perlu cara lain yang harus dilakukan pemerintah yang lebih bersifat struktural.
"Permasalahan di Jepang menghadapi persoalan dengan populasi, sedangkan di Indonesia sifatnya struktural. Karena itu diperlukan kebijakan yang lebih luas tidak hanya sekadar penyelesaian di sektor moneter saja," ujar Yoshino.
Di negara lain seperti Filipina, lanjut dia, pemerintah menggunakan teknologi satelit untuk memantau keluar-masuk orang di restoran, sehingga hasil kegiatan ekonomi dan pajaknya bisa diperkirakan lebih akurat. "Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama pada usaha kecil menengah yang selama ini tak membayar pajak dengan benar," paparnya.
Yoshino menambahkan, pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah juga dibutuhkan untuk memacu inovasi dan pertumbuhan ekonomi. 15 tahun lalu, lanjut dia, Pemerintah Jepang membuat program yang disebut 'hometown crowd funding' yang memberikan bantuan kepada pengusaha pemula melalui program pendampingan dan pemasaran melalui teknologi digital. "Indonesia bisa melakukan hal ini," paparnya.
Pada kesempatan sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara berbicara mengenai gambaran perekonomian Indonesia dan kebijakan yang dilakukan bank sentral bersama pemerintah. Mirza menjelaskan, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.
Menurut dia, pemerintah juga melakukan langkah-langkah konkret untuk menurunkan defisit transaksi berjalan. "Yakni mendorong ekspor dan menurunkan impor, termasuk penundaan proyek-proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi," paparnya.
Menurut dia, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan eksternal dalam menghadapi kondisi ekonomi global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah akan terus memperhatikan dampak kebijakan moneter tersebut terhadap sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut Suahasil, masih memiliki momentum yang cukup bagus dalam jangka menengah dan panjang. Lembaga rating, institusi global, maupun investor masih sangat yakin dengan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Dalam jangka pendek, pemerintah akan menjaga pelaksanaan APBN agar tepat waktu, efisien dan efektif. Sebab hal itu juga mempengaruhi kepercayaan pasar dalam jangka pendek dan memberi kontribusi kepada minat investasi, ekspor dan pertumbuhan," paparnya.
Suahasil menambahkan, reformasi di sektor riil telah dimulai, termasuk pembangunan infrastruktur, perizinan, ketenagakerjaan dan lain-lain. Hal ini akan diyakini pemerintah bisa meningkatkan kepercayaan pengusaha. Pada akhirnya, akan mendorong investasi di dalam negeri.
"Kami terus mendorong investasi, salah satunya Investor Jepang untuk menanamkan modalnya di investor. Masih banyak sektor yang bisa digarap oleh pengusaha-pengusaha Jepang," paparnya.
Pada kesempatan lain, Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Arifin Tasrif mengatakan, hubungan diplomasi kedua negara perlu diperkuat karena telah menjadi mitra strategis yang saling melengkapi. Apalagi tahun ini, Indonesia dan Jepang tepat memperingari 60 tahun hubungan diplomasi. "Momentum ini dinilai tepat untuk meningkatkan kerja sama yang strategis di bidang ekonomi," tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non migas Juli 2018 terbesar ke China yaitu USD2,19 miliar, disusul Jepang USD1,59 miliar dan Amerika Serikat USD1,56 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 36,09%. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar USD1,46 miliar.
Sementara tiga negara pemasok barang impor non migas terbesar selama Januari-Juli 2018 ditempat oleh China dengan nilai USD24,83 miliar (27,39%), Jepang USD10,45 miliar (11,53%) dan Thailand USD6,34 miliar (6,99%). Impor non migas dari ASEAN 20,55%, sementara dari Uni Eropa 9,27%.
Dekan Asian Development Bank (ADB) Institute, Naoyuki Yoshino, mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu menaikkan simpanan dalam negeri dan memanfaatkan pembiayaan domestik untuk menggerakan ekonomi.
"Dapat dilakukan melalui dana pensiun atau asuransi. Selain itu juga mengamankan penerimaan negara dengan mencegah penghindaran pajak," ujarnya di sela-sela seminar "Indonesia's Recent Economic Development" di kantor ADB Institute di Tokyo, Rabu (22/8/2018).
Adapun pembicara seminar, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara.
Seminar dihadiri pelaku ekonomi Jepang yang berinvestasi di Indonesia, seperti Bank of Japan, Nomura Bank, Inpex Company, Lembaga Perdagangan Jetro, Tokio Marine Nichido Insurance, Deutsche Bundersbank dan lainnya. Selain itu, juga hadir mahasiswa Indonesia di Jepang, perwakilan Kedutaan Indonesia dan turut hadir ekonom Denni Puspa Purbasari dari Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.
Yoshino menilai masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia dan Jepang tak sama dengan yang dihadapi negara-negara lainya. Penyelesaian ekonomi tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan moneter saja dengan menurunkan atau menaikkan suku bunga.
Dia mencontohkan, negaranya yang saat ini menghadapi persoalan masalah populasi. Menurut Yoshino, tidak semua persoalan ekonomi bisa dipecahkan dengan kebijakan moneter. Perlu cara lain yang harus dilakukan pemerintah yang lebih bersifat struktural.
"Permasalahan di Jepang menghadapi persoalan dengan populasi, sedangkan di Indonesia sifatnya struktural. Karena itu diperlukan kebijakan yang lebih luas tidak hanya sekadar penyelesaian di sektor moneter saja," ujar Yoshino.
Di negara lain seperti Filipina, lanjut dia, pemerintah menggunakan teknologi satelit untuk memantau keluar-masuk orang di restoran, sehingga hasil kegiatan ekonomi dan pajaknya bisa diperkirakan lebih akurat. "Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama pada usaha kecil menengah yang selama ini tak membayar pajak dengan benar," paparnya.
Yoshino menambahkan, pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah juga dibutuhkan untuk memacu inovasi dan pertumbuhan ekonomi. 15 tahun lalu, lanjut dia, Pemerintah Jepang membuat program yang disebut 'hometown crowd funding' yang memberikan bantuan kepada pengusaha pemula melalui program pendampingan dan pemasaran melalui teknologi digital. "Indonesia bisa melakukan hal ini," paparnya.
Pada kesempatan sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara berbicara mengenai gambaran perekonomian Indonesia dan kebijakan yang dilakukan bank sentral bersama pemerintah. Mirza menjelaskan, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.
Menurut dia, pemerintah juga melakukan langkah-langkah konkret untuk menurunkan defisit transaksi berjalan. "Yakni mendorong ekspor dan menurunkan impor, termasuk penundaan proyek-proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi," paparnya.
Menurut dia, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan eksternal dalam menghadapi kondisi ekonomi global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah akan terus memperhatikan dampak kebijakan moneter tersebut terhadap sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut Suahasil, masih memiliki momentum yang cukup bagus dalam jangka menengah dan panjang. Lembaga rating, institusi global, maupun investor masih sangat yakin dengan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Dalam jangka pendek, pemerintah akan menjaga pelaksanaan APBN agar tepat waktu, efisien dan efektif. Sebab hal itu juga mempengaruhi kepercayaan pasar dalam jangka pendek dan memberi kontribusi kepada minat investasi, ekspor dan pertumbuhan," paparnya.
Suahasil menambahkan, reformasi di sektor riil telah dimulai, termasuk pembangunan infrastruktur, perizinan, ketenagakerjaan dan lain-lain. Hal ini akan diyakini pemerintah bisa meningkatkan kepercayaan pengusaha. Pada akhirnya, akan mendorong investasi di dalam negeri.
"Kami terus mendorong investasi, salah satunya Investor Jepang untuk menanamkan modalnya di investor. Masih banyak sektor yang bisa digarap oleh pengusaha-pengusaha Jepang," paparnya.
Pada kesempatan lain, Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Arifin Tasrif mengatakan, hubungan diplomasi kedua negara perlu diperkuat karena telah menjadi mitra strategis yang saling melengkapi. Apalagi tahun ini, Indonesia dan Jepang tepat memperingari 60 tahun hubungan diplomasi. "Momentum ini dinilai tepat untuk meningkatkan kerja sama yang strategis di bidang ekonomi," tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non migas Juli 2018 terbesar ke China yaitu USD2,19 miliar, disusul Jepang USD1,59 miliar dan Amerika Serikat USD1,56 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 36,09%. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar USD1,46 miliar.
Sementara tiga negara pemasok barang impor non migas terbesar selama Januari-Juli 2018 ditempat oleh China dengan nilai USD24,83 miliar (27,39%), Jepang USD10,45 miliar (11,53%) dan Thailand USD6,34 miliar (6,99%). Impor non migas dari ASEAN 20,55%, sementara dari Uni Eropa 9,27%.
(ven)