Dorong B20, Pemerintah Atur Batas Waktu Pengiriman Minyak Sawit
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengatur batas waktu pengiriman minyak sawit (Fatty Acid Methyl Esters/FAME) dari Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) ke Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal itu guna mengantisipasi kendala pasokan FAME dari Badan Usaha BBN ke Badan Usaha BBM sehingga implementasi perluasan mandatori B20 dapat berjalan maksimal.
"Purchase Order (PO) kami putuskan paling lama 14 hari sebelum pengiriman, karena Badan Usaha BBN membutuhkan transportasi pencarian moda kapal dari titik pabrikan hingga ke depot BBM," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto, di Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Menurut dia ketentuan batas pengiriman FAME tersebut akan diatur oleh Kementerian ESDM di bawah Direktorat Jenderal Migas sehingga risiko keterlambatan pengiriman FAME dari Badan Usaha BBN dapat diminimalisir.
Tak hanya itu, ketentuan pengiriman FAME tersebut juga untuk mengantisipasi kelebihan stok di Terminal Bahan Bakar Minyak. "Misalnya terjadi kelebihan stok di depot BBM, pemesanan Badan Usaha BBM bisa ditunda. PO bisa mundur dengan alasan kelebihan pasokan, tidak masalah," tandasnya.
Tak berhenti di situ, saat ini pemerintah juga sedang mencari solusi terkait kewajiban Badan Usaha BBM swasta selain Pertamina untuk menyalurkan B20. Menurut dia, Badan Usaha BBM swasta hingga saat ini memang masih kesulitan menyalurkan B20 karena kesulitan melakukan blending karena tidak memiliki terminal BBM.
Sebab itu, pemerintah mendorong Badan Usaha BBM swasta membeli dari Badan Usaha BBM lain seperti Pertamina dengan mekanisme business to business. Terkait harga, imbuh dia, nantinya akan diatur oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga indeks pasar solar dan FAME.
Dia menandaskan, apabila Badan Usaha BBM atau Badan Usaha BBN tidak mengindahkan kewajiban B20, maka akan dikenakan denda Rp6.000 per liter. "Apabila Badan Usaha BBM ketahuan hanya menjual solar murni dikenakan denda Rp6.000 per liter dari setiap penjualan solar. Sehingga tidak ada alasan lagi menjalankan mandatori perluasan B20," tegasnya.
Di bagian lain, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengakui jika implementasi B20 masih terkendala pasokan dari Badan Usaha BBN. Menurut dia dari 112 Terminal BBM baru 69 Terminal BBM yang sudah menerima penyaluran FAME. Adapun sebagian besar daerah yang terkendala pasokan FAME berada di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi.
"Seluruh instalasi Pertamina pada dasarnya sudah siap blending B20. Namun penyaluran B20 tergantung pada suplai FAME, di mana hingga saat ini suplai belum maksimal," kata dia.
Dia memastikan bahwa Pertamina mendukung penuh perluasan kebijakan mandatori B20 yang dicanangkan pemerintah mulai 1 September 2018. Saat ini, jelas dia, 112 Terminal BBM pada dasarnya telah siap mengolah FAME untuk dicampur dengan solar dan disalurkan kepada masyarakat.
Sementara itu, Direktur Pemasaran Retail Pertamina, Mas'ud Khamid menjelaskan, keberhasilan Pertamina untuk mendukung program pemerintah tersebut memang sangat bergantung keberlanjutan suplai FAME dari para produsen.
Dia mencontohkan, terminal BBM Plumpang di Jakarta saja sepanjang 15-20 September 2018 tidak bisa optimal memproduksi B20 karena kekurangan pasokan dari produsen FAME. Sementara di sisi lain, Pertamina tetap harus memproduksi BBM demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Pertamina punya 112 terminal BBM, kami siap semua untuk mengolahnya sepanjang ada suplai dari mitra produksi FAME. Begitu FAME datang bisa langsung kami blending dan jual," tegasnya.
Mas'ud menyebutkan, total kebutuhan FAME Pertamina untuk dicampurkan ke solar subsidi dan non subsidi yaitu sekitar 5,8 juta kiloliter (KL) per tahun. Sementara total konsumsi solar subsidi dan nonsubsidi sebanyak 29 juta KL per tahun.
Terkait denda Rp6.000 per liter bagi Badan Usaha BBM yang tidak melakukan pencampuran FAME, pihaknya akan berdiskusi dengan pemerintah.
"Denda ini kami dukung supaya disiplin. Tapi kalau kondisi di lapangan suplai FAME-nya tidak ada, kami juga tidak bisa mengolah dan menyalurkan B20. Jadi ini harus didiskusikan lagi dengan pemerintah," tuturnya.
"Purchase Order (PO) kami putuskan paling lama 14 hari sebelum pengiriman, karena Badan Usaha BBN membutuhkan transportasi pencarian moda kapal dari titik pabrikan hingga ke depot BBM," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto, di Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Menurut dia ketentuan batas pengiriman FAME tersebut akan diatur oleh Kementerian ESDM di bawah Direktorat Jenderal Migas sehingga risiko keterlambatan pengiriman FAME dari Badan Usaha BBN dapat diminimalisir.
Tak hanya itu, ketentuan pengiriman FAME tersebut juga untuk mengantisipasi kelebihan stok di Terminal Bahan Bakar Minyak. "Misalnya terjadi kelebihan stok di depot BBM, pemesanan Badan Usaha BBM bisa ditunda. PO bisa mundur dengan alasan kelebihan pasokan, tidak masalah," tandasnya.
Tak berhenti di situ, saat ini pemerintah juga sedang mencari solusi terkait kewajiban Badan Usaha BBM swasta selain Pertamina untuk menyalurkan B20. Menurut dia, Badan Usaha BBM swasta hingga saat ini memang masih kesulitan menyalurkan B20 karena kesulitan melakukan blending karena tidak memiliki terminal BBM.
Sebab itu, pemerintah mendorong Badan Usaha BBM swasta membeli dari Badan Usaha BBM lain seperti Pertamina dengan mekanisme business to business. Terkait harga, imbuh dia, nantinya akan diatur oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga indeks pasar solar dan FAME.
Dia menandaskan, apabila Badan Usaha BBM atau Badan Usaha BBN tidak mengindahkan kewajiban B20, maka akan dikenakan denda Rp6.000 per liter. "Apabila Badan Usaha BBM ketahuan hanya menjual solar murni dikenakan denda Rp6.000 per liter dari setiap penjualan solar. Sehingga tidak ada alasan lagi menjalankan mandatori perluasan B20," tegasnya.
Di bagian lain, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengakui jika implementasi B20 masih terkendala pasokan dari Badan Usaha BBN. Menurut dia dari 112 Terminal BBM baru 69 Terminal BBM yang sudah menerima penyaluran FAME. Adapun sebagian besar daerah yang terkendala pasokan FAME berada di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi.
"Seluruh instalasi Pertamina pada dasarnya sudah siap blending B20. Namun penyaluran B20 tergantung pada suplai FAME, di mana hingga saat ini suplai belum maksimal," kata dia.
Dia memastikan bahwa Pertamina mendukung penuh perluasan kebijakan mandatori B20 yang dicanangkan pemerintah mulai 1 September 2018. Saat ini, jelas dia, 112 Terminal BBM pada dasarnya telah siap mengolah FAME untuk dicampur dengan solar dan disalurkan kepada masyarakat.
Sementara itu, Direktur Pemasaran Retail Pertamina, Mas'ud Khamid menjelaskan, keberhasilan Pertamina untuk mendukung program pemerintah tersebut memang sangat bergantung keberlanjutan suplai FAME dari para produsen.
Dia mencontohkan, terminal BBM Plumpang di Jakarta saja sepanjang 15-20 September 2018 tidak bisa optimal memproduksi B20 karena kekurangan pasokan dari produsen FAME. Sementara di sisi lain, Pertamina tetap harus memproduksi BBM demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Pertamina punya 112 terminal BBM, kami siap semua untuk mengolahnya sepanjang ada suplai dari mitra produksi FAME. Begitu FAME datang bisa langsung kami blending dan jual," tegasnya.
Mas'ud menyebutkan, total kebutuhan FAME Pertamina untuk dicampurkan ke solar subsidi dan non subsidi yaitu sekitar 5,8 juta kiloliter (KL) per tahun. Sementara total konsumsi solar subsidi dan nonsubsidi sebanyak 29 juta KL per tahun.
Terkait denda Rp6.000 per liter bagi Badan Usaha BBM yang tidak melakukan pencampuran FAME, pihaknya akan berdiskusi dengan pemerintah.
"Denda ini kami dukung supaya disiplin. Tapi kalau kondisi di lapangan suplai FAME-nya tidak ada, kami juga tidak bisa mengolah dan menyalurkan B20. Jadi ini harus didiskusikan lagi dengan pemerintah," tuturnya.
(fjo)