Tirani Dolar Amerika Serikat, Akankah Berganti?

Minggu, 07 Oktober 2018 - 06:33 WIB
Tirani Dolar Amerika Serikat, Akankah Berganti?
Tirani Dolar Amerika Serikat, Akankah Berganti?
A A A
NEW YORK - Ada paradoks di sistem keuangan global. Meski hegemoni Amerika Serikat di ekonomi dunia mulai menurun belakangan ini, terlebih sikap proteksionisme Presiden Donald Trump yang membuat Amerika berkurang peranannya di ekonomi pasar bebas, namun dolar AS tetap berkuasa.

Kepala Pasar Negara Berkembang dan Kepala Ahli Strategi Global di Morgan Stanley Investment Management, Ruchir Sharma mengatakan, “ekspektasi terhadap dolar AS tidak pernah sesering sekarang ini”.

Melansir dari Bloomberg di awal Oktober 2018, Bank Sentral Eropa (European Central Bank) menilai hegemoni dolar AS karena dua pertiga utang alias pinjaman internasional menggunakan dolar. Begitu pula penghitungan cadangan devisa, harga minyak dunia dan harga emas dunia, semuanya dihargai dalam dolar AS, bukan euro, yen atau yuan. Bahkan ketika bajak laut Somalia menahan kapal dari negara lain, mereka meminta uang tebusan dalam nominal dolar AS.

Hegemoni dolar AS pun membuat Amerika mendominasi dunia, termasuk di bidang politik. Dan tidak sedikit kekuatan dolar dipakai untuk “menyerang” negara-negara lain.
Tirani Dolar Amerika Serikat, Akankah Berganti?

Dolar pun dianggap sebagai tiran. Peran utama dolar dalam sistem keuangan global pernah dikeluhkan Menteri Keuangan Prancis pada 1965, Valery Giscard d’Estaing yang menyebut “hak istimewa dolar AS terlalu tinggi”.

Keluhan terbaru datang dari Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker pada September lalu, menyebut penggunaan dolar AS sudah “tidak masuk akal”. Menurut dia, banyak perusahaan Eropa membeli pesawat buatan Eropa atau transaksi lainnya menggunakan mata uang Amerika Serikat bukan menggunakan euro.

Senada, Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mengatakan agar instrumen pembiayaan di Eropa “benar-benar independen” dari AS. “Saya ingin Eropa menjadi benua yang berdaulat, bukan pengikut”.

Upaya China untuk menantang dominasi dolar AS di pasar energi global pun masih jauh dari harapan. Pada Maret lalu, China membentuk kontrak berjangka minyak mentah Shanghai International Energy Exchange, dimana kontrak pembelian minyak mentah menggunakan yuan. Hal ini demi menandingi kontrak berjangka minyak mentah Brent International dan West Texas Intermediate yang memakai dolar AS.

Tentangan terhadap dolar AS yang datang dari Uni Eropa, Rusia dan China bisa mengganggu kekuatan dolar dan menjadi kabar tidak baik bagi Amerika Serikat. Jika dolar AS kehilangan peran sentralnya dalam sistem keuangan dunia maka ekonomi AS akan rentan dan mengurangi kepercayaan investor.

Federal Reserve mungkin harus melakukan apa yang negara-negara lain lakukan ketika investor global panik: menaikkan suku bunga ke tingkat yang menyakitkan untuk menjaga spekulan agar dolar tidak mengalir keluar.

Namun upaya mengisolasi Amerika Serikat dan menggerus status dolar akan memakan waktu bertahun-tahun. “Tidak mudah mengambil keunggulan dolar begitu saja. Karena dolar adalah mata uang internasional dan menjadi mata uang internasional adalah sebuah keuntungan,” ujar Barry Eichengreen, ekonom dari University of California di Berkeley.

Selain itu, sistem transaksi dan perbankan di dunia menggunakan dolar AS. Kekuatan ini yang dipakai AS untuk mengetuk palu sanksi ekonomi dan ekspor terhadap Iran pada 4 November mendatang.

Sanksi ekonomi terhadap Negeri Mullah tersebut pun berhasil menekan perusahaan di luar AS untuk tidak melakukan bisnis dengan Teheran. Perusahaan dan bank-bank di Eropa dapat dihukum oleh AS jika mereka secara sengaja bahkan tidak sengaja bertransaksi dengan Iran.

Pasalnya sistem pembayaran dan keuangan tersebut berkait dengan Departemen Keuangan AS dan Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri. Sisi lain, peranan Uni Eropa dalam kancah keuangan global masih di bawah AS. Sehingga ketika UE menentang kebijakan sanksi terhadap Iran, hanya kuat pada retorika tetapi lemah pada tindak lanjut.

Dan hal yang membuat dolar AS masih kuat hingga saat ini, sang penantang yaitu euro masih lemah meski mewakili penyatuan moneter banyak negara Eropa. Tidak ada integrasi sistem keuangan di Eropa. Kasus defisit anggaran di Italia salah satunya, dimana masalah itu telah menggerus euro.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5287 seconds (0.1#10.140)