Deteksi Dini, Kunci Melindungi Konsumen Jasa Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Jasa keuangan memiliki peran vital terhadap perekonomian nasional. Sebab, industri jasa keuangan kini sudah bisa di akses hampir semua lapisan masyarakat hingga kawasan pedesaan. Masyarakat kini bisa mendapatkan akses untuk memperoleh pembiayaan modal kerja.
Kemudahaan akses yang dimiliki masyarakat ini, salah satunya karena berhasilnya program Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2015 silam. Program ini merupakan terobosan untuk membuka akses industri jasa keuangan, khususnya perbankan kepada masyarakat hingga kawasan pedesaan di berbagai daerah.
Selain untuk mengenalkan dunia perbankan dan sektor jasa keuangan lainnya kepada masyarakat hingga kawasan pedesaan, program Laku Pandai diharapkan bisa mencegah masyarakat dari jerat lintah darat yang selama ini kerap mendatangkan bencana bagi masyarakat.
Dari catatan OJK, tingkat inklusi keuangan di Indonesia saat ini sudah mencapai 67,8%. Menunjukkan bahwa masyarakat semakin mudah untuk mengakses lembaga jasa keuangan, khususnya perbankan. Namun, tingkat literasi atau pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan masih rendah, masih berada di angka 29,6%. Rendahnya literasi keuangan masyarakat khususnya terjadi pada produk-produk keuangan berbentuk investasi.
Belakangan, rendahnya literasi keuangan masyarakat khususnya di daerah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang akhirnya menimbulkan kerugian yang harus ditanggung masyarakat.
"Tingkat literasi yang rendah ini dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menawarkan beragam produk keuangan kepada masyarakat yang sebenarnya masyarakat sendiri tidak paham apa produk itu," tegas pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada SINDOnews, Sabtu (10/11/2018).
Menurut Bhima, tindakan preventif (pencegahan) melalui deteksi dini produk-produk keuangan yang berpotensi merugikan masyarakat di masa depan, menjadi kunci agar-produk-produk tersebut tidak berkembang. Keinginan sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi dalam waktu singkat juga menjadi salah satu alasan kerap terjadinya tindakan penipuan dalam industri jasa keuangan.
"Dengan kondisi sekarang ini, banyak orang yang tertarik untuk memilih investasi dengan imbal hasil cepat dalam waktu singkat," paparnya. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan beberapa pihak untuk meraup keuntungan dengan mengorbankan masyarakat.
Modusnya tak lagi konvensional seperti yang pernah terjadi, yakni investasi pohon emas, arisan berantai dan investasi berkedok multi level marketing (MLM), jual beli emas digital, uang digital, investasi saham, produk asuransi, hingga investasi dalam bentuk deposito dengan bunga sangat tinggi. Namun, kata Bhima, saat ini ada model baru investasi bodong dengan embel-embel fintech.
"Padahal fintech tidak boleh menyimpan uang. Adalagi investasi mata uang digital, ini modus baru memanfaatkan booming digital yang sedang populer, sehingga masyarakat yang kurang paham teknologi akan tergoda karena iming-iming imbal hasil yang besar," ungkapnya.
Investasi bodong ini sangat berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, produk investasi bodong juga berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan. Agar masyarakat semakin waspada dan berhati-hati dalam memilih produk investasi yang ditawarkan jasa keuangan, edukasi terhadap masyarakat harus lebih gencar dilakukan, termasuk masyarakat di pedesaan. Apalagi literasi keuangan masyarakat pedesaan masih rendah.
"OJK perlu juga melibatkan perangkat desa untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap produk-produk keuangan yang ditawarkan kepada masyarakat," tuturnya.
OJK juga perlu melakukan penambahan sumber daya manusia (SDM) hingga ke daerah-daerah. "Deteksi dini terhadap modus-modus baru dan respons terhadap proses pengaduan yang cepat menjadi kunci agar produk-produk keuangan berbentuk investasi bodong yang merugikan masyarakat tidak berkembang," papar Bhima.
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen, Agus Pambagio, menilai selain memaksimalkan peran OJK dan menumbuhkan kesadaran dari masyarakat sendiri, perlu juga dilakukan revisi terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen.
"Supaya jelas, konsumen yang tertipu (investasi bodong) lapornya kemana dan penyelesaiannya seperti apa. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang ada sudah tidak cocok lagi dengan kondisi sekarang," tegasnya.
OJK sendiri, bersama Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) berkomitmen untuk terus mendorong penyediaan akses keuangan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat disertai dengan terciptanya perlindungan konsumen.
OJK dan PUJK telah meluncurkan empat program untuk mendukung inklusi keuangan dan perlindungan konsumen. Diantaranya Kampanye Simpanan Pelajar (SimPel dan SimPel iB) Goes to School. Program ini merupakan kampanye produk tabungan untuk siswa yang diterbitkan secara nasional oleh bank-bank di Indonesia. Ini untuk mendorong budaya menabung sejak dini untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
Kemudian program Simpanan Mahasiswa dan Pemuda (SiMuda). Yakni tabungan bagi kelompok usia 18-30 tahun dengan dilengkapi fitur asuransi dan produk investasi yang ditawarkan oleh perbankan di Indonesia. Ada juga Reksa Dana Syariahku (SAKU) yang merupakan program investasi syariah untuk pelajar dan mahasiswa yang bersifat massal, berupa produk reksa dana syariah dengan persyaratan yang mudah dan sederhana.
Program lainnya yakni Reksa Dana Mini Mart, yakni penjualan reksa dana dengan mudah melalui jaringan minimarket. Program ini diterbitkan untuk menambah alternatif pilihan pembayaran reksa dana. "Selain melalui transfer bank, pembayaran reksa dana juga bisa dilakukan secara tunai, atau melalui e-money maupun kartu debit di seluruh jaringan minimarket," ujar Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara.
Program ini diharapkan dapat meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia terhadap produk dan layanan jasa keuangan. Juga membuka akses keuangan untuk sektor perbankan, asuransi, pasar modal, pegadaian, pembiayaan dan dana pensiun.
Menurut Tirta, perlindungan konsumen menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan. Perlindungan konsumen dinilai sangat penting agar masyarakat merasa aman dan nyaman serta yakin dalam memanfaatkan berbagai produk dan layanan jasa keuangan.
Perlindungan konsumen menjadi perhatian serius OJK. Bahkan, lembaga ini, secara berkala memberikan warning kepada masyarakat dan mengumumkan entitas-entitas ilegal yang dihentikan kegiatan operasionalnya. Jumlah entitas yang telah dihentikan Satgas Waspada Investasi OJK periode Januari hingga September 2018 mencapai 108 entitas.
Satgas Waspada Investasi yang dikomandani Tongam Lumban Tobing menilai, keberadaan produk investasi ilegal alias bodong yang ditawarkan entitas ilegal berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat. Para pelaku memanfaatkan celah kurang pahamnya sebagian besar masyarakat terhadap investasi. Sehingga dengan menawarkan keuntungan yang tidak wajar, masyarakat menjadi tergoda.
Satgas Waspada Investasi memberikan imbauan kepada masyarakat sebelum melakukan investasi. Diantaranya memastikan pihak yang menawarkan produk investasi memiliki izin dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan. Masyarakat juga harus memastikan apakah pihak yang menawarkan produk investasi memiliki izin dalam menawarkan produk investasi tersebut dan tercatat sebagai mitra pemasar.
Masyarakat juga harus memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam melakukan penawaran, telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudahaan akses yang dimiliki masyarakat ini, salah satunya karena berhasilnya program Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2015 silam. Program ini merupakan terobosan untuk membuka akses industri jasa keuangan, khususnya perbankan kepada masyarakat hingga kawasan pedesaan di berbagai daerah.
Selain untuk mengenalkan dunia perbankan dan sektor jasa keuangan lainnya kepada masyarakat hingga kawasan pedesaan, program Laku Pandai diharapkan bisa mencegah masyarakat dari jerat lintah darat yang selama ini kerap mendatangkan bencana bagi masyarakat.
Dari catatan OJK, tingkat inklusi keuangan di Indonesia saat ini sudah mencapai 67,8%. Menunjukkan bahwa masyarakat semakin mudah untuk mengakses lembaga jasa keuangan, khususnya perbankan. Namun, tingkat literasi atau pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan masih rendah, masih berada di angka 29,6%. Rendahnya literasi keuangan masyarakat khususnya terjadi pada produk-produk keuangan berbentuk investasi.
Belakangan, rendahnya literasi keuangan masyarakat khususnya di daerah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang akhirnya menimbulkan kerugian yang harus ditanggung masyarakat.
"Tingkat literasi yang rendah ini dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menawarkan beragam produk keuangan kepada masyarakat yang sebenarnya masyarakat sendiri tidak paham apa produk itu," tegas pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada SINDOnews, Sabtu (10/11/2018).
Menurut Bhima, tindakan preventif (pencegahan) melalui deteksi dini produk-produk keuangan yang berpotensi merugikan masyarakat di masa depan, menjadi kunci agar-produk-produk tersebut tidak berkembang. Keinginan sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi dalam waktu singkat juga menjadi salah satu alasan kerap terjadinya tindakan penipuan dalam industri jasa keuangan.
"Dengan kondisi sekarang ini, banyak orang yang tertarik untuk memilih investasi dengan imbal hasil cepat dalam waktu singkat," paparnya. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan beberapa pihak untuk meraup keuntungan dengan mengorbankan masyarakat.
Modusnya tak lagi konvensional seperti yang pernah terjadi, yakni investasi pohon emas, arisan berantai dan investasi berkedok multi level marketing (MLM), jual beli emas digital, uang digital, investasi saham, produk asuransi, hingga investasi dalam bentuk deposito dengan bunga sangat tinggi. Namun, kata Bhima, saat ini ada model baru investasi bodong dengan embel-embel fintech.
"Padahal fintech tidak boleh menyimpan uang. Adalagi investasi mata uang digital, ini modus baru memanfaatkan booming digital yang sedang populer, sehingga masyarakat yang kurang paham teknologi akan tergoda karena iming-iming imbal hasil yang besar," ungkapnya.
Investasi bodong ini sangat berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, produk investasi bodong juga berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan. Agar masyarakat semakin waspada dan berhati-hati dalam memilih produk investasi yang ditawarkan jasa keuangan, edukasi terhadap masyarakat harus lebih gencar dilakukan, termasuk masyarakat di pedesaan. Apalagi literasi keuangan masyarakat pedesaan masih rendah.
"OJK perlu juga melibatkan perangkat desa untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap produk-produk keuangan yang ditawarkan kepada masyarakat," tuturnya.
OJK juga perlu melakukan penambahan sumber daya manusia (SDM) hingga ke daerah-daerah. "Deteksi dini terhadap modus-modus baru dan respons terhadap proses pengaduan yang cepat menjadi kunci agar produk-produk keuangan berbentuk investasi bodong yang merugikan masyarakat tidak berkembang," papar Bhima.
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen, Agus Pambagio, menilai selain memaksimalkan peran OJK dan menumbuhkan kesadaran dari masyarakat sendiri, perlu juga dilakukan revisi terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen.
"Supaya jelas, konsumen yang tertipu (investasi bodong) lapornya kemana dan penyelesaiannya seperti apa. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang ada sudah tidak cocok lagi dengan kondisi sekarang," tegasnya.
OJK sendiri, bersama Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) berkomitmen untuk terus mendorong penyediaan akses keuangan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat disertai dengan terciptanya perlindungan konsumen.
OJK dan PUJK telah meluncurkan empat program untuk mendukung inklusi keuangan dan perlindungan konsumen. Diantaranya Kampanye Simpanan Pelajar (SimPel dan SimPel iB) Goes to School. Program ini merupakan kampanye produk tabungan untuk siswa yang diterbitkan secara nasional oleh bank-bank di Indonesia. Ini untuk mendorong budaya menabung sejak dini untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
Kemudian program Simpanan Mahasiswa dan Pemuda (SiMuda). Yakni tabungan bagi kelompok usia 18-30 tahun dengan dilengkapi fitur asuransi dan produk investasi yang ditawarkan oleh perbankan di Indonesia. Ada juga Reksa Dana Syariahku (SAKU) yang merupakan program investasi syariah untuk pelajar dan mahasiswa yang bersifat massal, berupa produk reksa dana syariah dengan persyaratan yang mudah dan sederhana.
Program lainnya yakni Reksa Dana Mini Mart, yakni penjualan reksa dana dengan mudah melalui jaringan minimarket. Program ini diterbitkan untuk menambah alternatif pilihan pembayaran reksa dana. "Selain melalui transfer bank, pembayaran reksa dana juga bisa dilakukan secara tunai, atau melalui e-money maupun kartu debit di seluruh jaringan minimarket," ujar Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara.
Program ini diharapkan dapat meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia terhadap produk dan layanan jasa keuangan. Juga membuka akses keuangan untuk sektor perbankan, asuransi, pasar modal, pegadaian, pembiayaan dan dana pensiun.
Menurut Tirta, perlindungan konsumen menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan. Perlindungan konsumen dinilai sangat penting agar masyarakat merasa aman dan nyaman serta yakin dalam memanfaatkan berbagai produk dan layanan jasa keuangan.
Perlindungan konsumen menjadi perhatian serius OJK. Bahkan, lembaga ini, secara berkala memberikan warning kepada masyarakat dan mengumumkan entitas-entitas ilegal yang dihentikan kegiatan operasionalnya. Jumlah entitas yang telah dihentikan Satgas Waspada Investasi OJK periode Januari hingga September 2018 mencapai 108 entitas.
Satgas Waspada Investasi yang dikomandani Tongam Lumban Tobing menilai, keberadaan produk investasi ilegal alias bodong yang ditawarkan entitas ilegal berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat. Para pelaku memanfaatkan celah kurang pahamnya sebagian besar masyarakat terhadap investasi. Sehingga dengan menawarkan keuntungan yang tidak wajar, masyarakat menjadi tergoda.
Satgas Waspada Investasi memberikan imbauan kepada masyarakat sebelum melakukan investasi. Diantaranya memastikan pihak yang menawarkan produk investasi memiliki izin dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan. Masyarakat juga harus memastikan apakah pihak yang menawarkan produk investasi memiliki izin dalam menawarkan produk investasi tersebut dan tercatat sebagai mitra pemasar.
Masyarakat juga harus memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam melakukan penawaran, telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(ven)