OJK Minta Asosiasi Segera Tentukan Aturan Main Pelaku Fintech

Senin, 10 Desember 2018 - 19:46 WIB
OJK Minta Asosiasi Segera Tentukan Aturan Main Pelaku Fintech
OJK Minta Asosiasi Segera Tentukan Aturan Main Pelaku Fintech
A A A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) agar secepatnya menetapkan aturan main atau market conduct demi menertibkan para pelaku Fintech lending. Otoritas juga mendorong aparat melakukan tindakan represif untuk efek jera bagi fintech lending illegal serta menangkap dan melakukan proses hukum bagi para debt collector bermasalah.

Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, AFPI harus segera memiliki aturan main agar pelaku pinjam meminjam uang secara online jadi bertanggung jawab. Asosiasi harus mewajibkan keanggotaan dan sertifikasi bagi semua pihak yang menjalankan kegiatan collection.

“Semua fintech lending yang terdaftar/berizin oleh OJK wajib mematuhi seluruh ketentuan POJK 77. Apabila melakukan pelanggaran kami beri peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha sampai dengan pembatalan atau pencabutan tanda daftar atau izin,” ujar Sekar di Jakarta, Senin (10/12/2018).

Dia mengatakan hingga 7 Desember 2018 jumlah P2P yang terdaftar/berizin di OJK adalah 75 penyelenggara. Penyelenggara Fintech Lending yang tidak berstatuskan terdaftar/berizin di OJK dikategorikan sebagai fintech lending/P2P illegal.

OJK mewajibkan penyelenggara/platform fintech lending sebagai penghubung antara pemberi pinjaman dan peminjam untuk mengedepankan keterbukaan informasi terhadap calon pemberi pinjaman dan peminjamnya. “Ini agar dapat menilai tingkat risiko peminjam dan menentukan tingkat bunga,” tambahnya.

Jika borrower/peminjam sudah transparan mengenai kondisi keuangannya dan prospek kedepannya, maka yang meminjamkan dapat mengukur risiko dirinya dalam memenuhi kewajiban pengembalian pinjaman pokok dan bunganya di kemudian hari. Ini juga terkait besarnya imbal hasil yang diharapkan oleh lender dari risiko pinjaman tanpa jaminan dan besaran beban biaya yang akan dikenakan.

Dia juga mengingatkan perjanjian pembiayaan merupakan perjanjian perdata yang terjadi langsung antara pemberi pinjaman dan peminjam. Maka, masyarakat dihimbau sebelum berinteraksi dengan fintech lending untuk terlebih dahulu memahami manfaat, biaya dan resikonya. Masyarakat harus membaca dan memahami persyaratan dan ketentuan dalam fintech lending terutama bagian kewajiban dan biaya terkait.

“Hal yang harus dipahami adalah P2P lending merupakan perjanjian pembiayaan. Ada kewajiban di kemudian hari untuk mengembalikan pokok dan bunga secara tepat waktu sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu pemberi dan penerima pinjaman,” terangnya.

Setiap fintech lending yang telah terdaftar/berizin dari OJK telah dilarang untuk mengakses daftar kontak, berkas gambar dan informasi pribadi dari smartphone nasabah yang tidak ada hubungan langsung. Kemudian, setiap bentuk kerja sama Penyelenggara dengan pihak ketiga, antara lain kerjasama penagihan, wajib disampaikan kepada OJK untuk dilakukan penilaian apakah kerja sama dapat dilanjutkan atau tidak.

Sementara fintech lending/P2P illegal tidak dalam pengawasan OJK, namun hal ini menjadi perhatian bersama dalam satgas waspada investasi (SWI) untuk penanganannya. SWI merupakan forum koordinasi 13 lembaga & kementerian. Sebagai upaya lanjutan dari pengaduan, dari awal tahun 2018, telah ada lebih dari 400 fintech lending ilegal yang telah ditutup berdasarkan rekomendasi OJK melalui SWI kepada kominfo.

Kedepan, OJK akan terus memonitor dan berkoordinasi dengan Kominfo melalui SWI untuk penutupan aplikasi-aplikasi fintech illegal . OJK juga akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat bersama dengan para stakeholders agar literasi masyarakat akan kegiatan pinjam meminjam uang berbasis teknologi dapat terus meningkat.

”Kami tetap membuka ruang komunikasi dengan para pihak yang memiliki concern bersama dalam hal penanganan fintech illegal dan juga pengaduan yang terjadi di masyarakat,” ujarnya.

Sebelumnya Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi memberikan pernyataan pihaknya memberikan kemudahan bagi fintech pinjaman online yang sudah terdaftar untuk mendapatkan perizinan. OJK memberikan kesempatan berdiskusi pelaku fintech untuk menentukan pengendalian internal perusahaan. Hal ini akan jauh lebih meringankan daripada dirancang setiap perusahaan.

“Kami minta fintech bersatu dalam hal comply regulasi. Silahkan berdiskusi untuk menentukan satu standar pengendalian internal untuk jadi kesepakatan bersama. Tentunya berat kalau dipikirkan sendiri,” ujar Hendrikus beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan pihaknya ingin mendorong transparansi aturan sehingga semua memiliki kualitas yang merata. Hal ini menghindari ketimpangan kualitas antara fintech lalu merugikan nasabah seperti yang terjadi di China. Otoritas akan mengadakan kunjungan ke kantor fintech untuk melakukan diskusi dan evaluasi bersama fintech lainnya.

“Kami ingin semua comply karena industri ini dibangun bersama dan tidak kehilangan arah. Nanti antara mereka bisa saling mengawasi karena pemahaman yang sama. Bisa saling menegur apabila ada yang terlalu mudah memberikan pinjaman,” ujarnya.

Sebelumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat ada 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online alias fintech peer to peer lending yang diadukan 1.330 orang kepada mereka. Aplikasi tersebut diduga melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap peminjam.

Dari 89 aplikasi tersebut, 25 di antaranya aplikasi yang tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebesar 71,92% aplikasi yang diadukan termasuk yang tidak terdaftar di OJK. Dugaan pelanggaran yang diadukan peminjam terhadap aplikasi terdaftar maupun tak terdaftar pun serupa.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9213 seconds (0.1#10.140)