OJK Ancam Cabut Izin Penyelenggara Pinjaman Online Nakal
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan akan mencabut izin penyelenggara pinjaman online (financial technology/fintech peer to peer lending) yang "nakal" dan memakan korban. Asalkan, bukti yang diberikan jelas.
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengungkapkan, hingga saat ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta masih belum memberikan data lengkap dan bukti mengenai korban pinjaman online. Padahal, mereka mengklaim ada 1.330 orang yang mengaku sebagai korban pinjaman online.
"Kami belum memperoleh (data lengkap soal korban), mungkin setelah ini. Karena tidak mungkin juga mereka membawa dokumen tebal. Tapi kalau tadi kami melihat suasananya, ini akan ada upaya bersama AFPI," katanya di Gedung Wisma Mulia 2, Jakarta, Jumat (14/12/2018).
(Baca Juga: 1.330 Orang Jadi Korban Pinjaman Online, OJK Minta LBH BuktikanJika data dan bukti yang diberikan lengkap, kata dia, pihaknya akan segera melakuan investigasi mendalam. Kemudian, OJK akan segera mencabut izin pendaftaran fintech peer to peer lending tersebut jika terbukti melakukan pelanggaran.
Namun dia menggarisbawahi, sanksi ini hanya untuk fintech peer to peer lending yang terdaftar di OJK. Saat ini, ada 78 penyelenggara pinjaman online yang terdaftar di OJK.
"Ini untuk yang terdaftar saja ya. Kalau untuk yang ilegal itu bukan yurisdiksi kami,itu yurisdiksi satgas waspada investasi yang terdiri dari 13 K/L. Begitu kami mendapat data lengkap, kami tidak ada keraguan untuk melakukan investigasi mendalam dan melakukan pencabutan pendaftaran apabila ada bukti yang secara sah dan meyakinkan," tandasnya.
Sebagai informasi, LBH Jakarta berhasil mengumpulkan 1.330 aduan korban aplikasi pinjaman online di 25 provinsi. Aduan tersebut masuk ke posko pengaduan LBH Jakarta yang dibuka pada 4 sampai dengan 25 November 2018, lalu.
Berdasarkan pengaduan yang diterima, terdapat 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman daring. Kebanyakan dari pelanggaran diketahui pihak penyelenggara aplikasi memanfaatkan foto KTP dan foto diri korban pinjaman daring yang dia dapatkan saat verifikasi data.
Adapun ke-14 pelanggaran-pelanggaran yang telah dikumpulkan LBH Jakarta, di antaranya:
1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.
2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.
3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
4. Penyebaran data pribadi.
5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
8. Biaya admin yang tidak jelas.
9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.
10. Peminjam sudah membayar, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem.
11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore/Playstore pada saat jatuh tempo.
12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengungkapkan, hingga saat ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta masih belum memberikan data lengkap dan bukti mengenai korban pinjaman online. Padahal, mereka mengklaim ada 1.330 orang yang mengaku sebagai korban pinjaman online.
"Kami belum memperoleh (data lengkap soal korban), mungkin setelah ini. Karena tidak mungkin juga mereka membawa dokumen tebal. Tapi kalau tadi kami melihat suasananya, ini akan ada upaya bersama AFPI," katanya di Gedung Wisma Mulia 2, Jakarta, Jumat (14/12/2018).
(Baca Juga: 1.330 Orang Jadi Korban Pinjaman Online, OJK Minta LBH BuktikanJika data dan bukti yang diberikan lengkap, kata dia, pihaknya akan segera melakuan investigasi mendalam. Kemudian, OJK akan segera mencabut izin pendaftaran fintech peer to peer lending tersebut jika terbukti melakukan pelanggaran.
Namun dia menggarisbawahi, sanksi ini hanya untuk fintech peer to peer lending yang terdaftar di OJK. Saat ini, ada 78 penyelenggara pinjaman online yang terdaftar di OJK.
"Ini untuk yang terdaftar saja ya. Kalau untuk yang ilegal itu bukan yurisdiksi kami,itu yurisdiksi satgas waspada investasi yang terdiri dari 13 K/L. Begitu kami mendapat data lengkap, kami tidak ada keraguan untuk melakukan investigasi mendalam dan melakukan pencabutan pendaftaran apabila ada bukti yang secara sah dan meyakinkan," tandasnya.
Sebagai informasi, LBH Jakarta berhasil mengumpulkan 1.330 aduan korban aplikasi pinjaman online di 25 provinsi. Aduan tersebut masuk ke posko pengaduan LBH Jakarta yang dibuka pada 4 sampai dengan 25 November 2018, lalu.
Berdasarkan pengaduan yang diterima, terdapat 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman daring. Kebanyakan dari pelanggaran diketahui pihak penyelenggara aplikasi memanfaatkan foto KTP dan foto diri korban pinjaman daring yang dia dapatkan saat verifikasi data.
Adapun ke-14 pelanggaran-pelanggaran yang telah dikumpulkan LBH Jakarta, di antaranya:
1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.
2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.
3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
4. Penyebaran data pribadi.
5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
8. Biaya admin yang tidak jelas.
9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.
10. Peminjam sudah membayar, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem.
11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore/Playstore pada saat jatuh tempo.
12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.
(akr)