Klaim Sri Mulyani Dalam Keberhasilan Fiskal Dikritisi

Rabu, 02 Januari 2019 - 08:59 WIB
Klaim Sri Mulyani Dalam...
Klaim Sri Mulyani Dalam Keberhasilan Fiskal Dikritisi
A A A
JAKARTA - Direktur INDEF Enny Sri Hartati mengkritisi klaim keberhasilan pemerintah dalam bidang fiskal yang diumumkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Klaim pemerintah dalam penerimaan negara tahun 2018 telah menembus 100% atau melebihi target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Namun Enny mengingatkan dalam mengukur kinerja perekonomian negara tidak bisa dilakukan secara parsial. “Klaim penerimaan negara tercapai, tapi apakah itu berdampak sektor riil? Karena tujuannya belanja pemerintah mendorong perekonomian masyarakat,” ujar Enny di Jakarta.

Dia menyayangkan klaim penerimaan negara sudah 100%, namun untuk rasio pajak hanya 10% terhadap PDB. Ini menandakan esensi kenaikan penerimaan pajak belum tercapai karena persentasenya pada PDB masih sangat rendah. Hingga November 2018 tercatat realisasi penerimaan pajak tumbuh 15,35% dari tahun sebelumnya.

Lebih lanjut, Ia melihat kontributor utama kenaikan justru dari penerimaan sektor perdagangan internasional karena dampak kenaikan harga minyak. Hasilnya total penerimaan migas naik tapi beban subsidi harus ditanggung Pertamina dan PLN. “Pajak perdagangan internasional juga naik. Tapi masih lebih besar impor dibanding ekspor karena neraca defisit,” terang dia.

Belanja negara menurutnya juga harus dikritisi karena akan termasuk kerugian kalau defisit terutama kalau bersumber dari utang negara. Karena dalam menutup kekurangan ada tambahan utang yang artinya ada bunga dan fee.

“Rugi dua kali untuk bayar bunga dan cicilan lalu tidak terserap pula. Secara kualitas juga masih lebih banyak untuk belanja operasional. Sedangkan untuk kegiatan investasi masih stagnan di bawah 6% hingga kuartal tiga lalu. Harusnya bisa naik kalau kualitas penyerapan anggaran yang strategis terserap,” tambahnya.

Sambung dia mengingatkan dalam asumsi makro yang disusun dulu target pertumbuhan dicantumkan 5,3%. Ini juga harusnya tercapai kalau mau disebut ada keberhasilan pemerintah. Karena fiskal sejatinya hanya instrumen. “Tujuannya kesejahteraan masyarakat, caranya dengan mendorong pertumbuhan. Itu intinya,” ujarnya.

Dalam APBN2018 disebutnya banyak terdapat asumsi makro yang meleset terutama kurs rupiah. Sementara APBN-P tidak dilakukan. Hal ini artinya pembahasan tidak bertele-tele, tapi fleksibilitas akan terbatas karena shifting anggaran tidak boleh melampaui nomenklatur.

"Ini dikhawatirkan mengurangi peran stimulus fiskal. Misalnya ketika harga minyak naik konsekuensinya tidak ada tambahan anggaran subsidi sehingga berkurangnya suplai premium. Ujungnya berdampak daya beli masyarakat lemah karena mereka harus beli pertalite atau Pertamax. Itu efek berantainya," tambahnya.

Sementara pengamat ekonomi Bhima Yudhistira juga mengkritisi pemerintah tidak berbangga dulu soal penerimaan negara yang 100%. Menurutnya itu karena durian runtuh harga minyak dan batu bara sepanjang 2018 cukup tinggi. Tapi di luar harga komoditas sebenarnya kinerja penerimaan pajak sebenarnya biasa saja.

“Tax ratio terus menurun di bawah 11%. Ini menandakan basis pajak pasca tax amnesty tidak bertambah signifikan. Pemerintah masih berburu di kebun binatang. Wajib pajaknya tidak ada perubahan,” ujar Bhima kemarin.

Menurutnya pada tahun 2019 tantangan semakin kompleks. Harga minyak sekarang trennya turun karena over supply pasokan di AS. Selain itu juga ada perang dagang sehingga penerimaan negara dari batubara bisa tergerus. Maka tidak ada jalan lain kecuali genjot penerimaan pajak dan otomatis menaikan tax ratio.

“Kuncinya ada di industri manufaktur yang berkontribusi 30% dari total pajak. Industri jangan dibiarkan loyo. Pemerintah harus kasih banyak dukungan agar growth bisa tinggi dan kontribusi ke pajak naik,” tambahnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1193 seconds (0.1#10.140)