Hidup Kian Repot dengan Banyak Kartu

Senin, 21 Januari 2019 - 07:43 WIB
Hidup Kian Repot dengan...
Hidup Kian Repot dengan Banyak Kartu
A A A
JAKARTA - Indonesia tampak masih jauh menerapkan sistem kartu identitas tunggal (single identity card). Kemajuan teknologi digital justru melahirkan beragam kartu yang diterbitkan tiap otoritas atau lembaga. Imbasnya, isi dompet makin tebal karena dipenuhi banyak kartu.

Jika dirata-rata, umumnya setiap orang saat ini memiliki lebih dari lima kartu. Wulan Anggraeni. manajer salah satu agensi asing ternama di Jakarta mengaku, sehari-hari dirinya membawa 11 kartu di dalam dompetnya. Kartu tersebut antara lain KTP, kartu BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, empat kartu ATM, asuransi dan juga dua kartu membership.

Membawa banyak kartu, tentu semakin repot. Apalagi jika terjadi kehilangan dompet, maka pengurusan kartu menjadi semakin ribet. Setiap kartu biasanya dikeluarkan oleh satu instansi, sehingga proses pembuatan ulang menguras banyak waktu, tenaga dan biaya.

Sulistiyani Amaliya, pengusaha asal Ciputat, Tangerang Selatan pekan lalu juga dibuat bingung gara-gara di saat anaknya mendadak harus dilarikan ke rumah sakit (RS), kartu asuransi dan kesehatan sang buah hati justru terbawa dia ke luar kota. Keluarganya pun terpaksa membayar dengan cara tunai karena kartu-kartu identitas seperti kartu keluarga (KK), kartu pelajar dan lainnya tak mampu meyakinkan ke pihak RS. “Integrasi data seperti adanya e-KTP nyatanya belum memberi manfaat banyak,” ujar Sulistiyani yang kini mengaku mengantongi tujuh kartu.

Dia sangat berharap, ke depan nantinya ada penyederhanaan kartu di Indonesia. Selain akan lebih efisien, hal itu juga akan memudahkan jika sewaktu-waktu terjadi kondisi darurat.

Banyaknya kartu dengan berbagai macam fungsinya memang tidak efektif. “Satu kartu satu fungsi kayanya sudah old school,” ungkap Feriesha Lixie FF, eksekutif di salah satu market place di Indonesia.

Sudah saatnya Indonesia menerapkan single identity card, satu kartu untuk semua.“Seperti di Estonia, ID card mereka mencakup semuanya. Seluruh sistem tergabung dalam e-service yang sangat aman,” imbuhnya.

Estonia, negara kecil di Eropa ini memang amat unggul dalam urusan single identity card. Warga negara Estonia hanya butuh satu kartu yang mencakup di antaranya KTP, asuransi, identitas untuk bepergian di Uni Eropa, pajak, i-voting, tanda tangan digital, login bank, kartu kesehatan (rekam medis) dan bahkan untuk menebus resep.

Di Indonesia, single identity card tampak masih jauh penerapannya. Yang terjadi, sejumlah otoritas justru seolah berlomba menerbitkan kartu. Tak hanya itu, beberapa intansi juga merasa memiliki data tunggal yang paling valid.

Di bidang ekonomi, pemerintah telah menggelorakan program Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) seperti sistem ATM Bersama sejak akhir 2017. Namun realisasi program ini pun belum optimal.

Kendati demikian, kalangan perbankan masih optimistis GPN akan memberikan dampak yang positif menuju single identity card. Sekretaris Perusahaan Bank BNI Kiryanto menilai tren kartu akan beranjak menjadi kartu cerdas atau smart card. Dengan smart card, makasatu kartu untuk berbagai keperluan ekonomi dan finansial. Tapi program ini tentu akan dikembangkan bertahap.

Untuk itu perlu disiapkan roadmap dan platform guna menerbitkan smart card ke depannya. "GPN bisa sebagai awal menuju era smart card, yang nantinya berkolaborasi dengan dinas kependudukan dalam proses penerbitannya," ujar Kiryanto.

Dalam pandangan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, konsumen sebagai pengguna akhir ekonomi digital memang makin menggandrungi pemanfaatan sistem kartu karena dinilai lebih efisien. Namun pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu berperan. “Negara tampak masih terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital namun terlena dengan aspek perlindungan konsumen,” ujarnya.

Persoalan ini terjadi karena masih rendahnya literasi digital konsumen. Kemudian masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Tak hanya itu, regulasi juga masih lemah. Dia mencontohan sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai.

Kartu Diganti Aplikasi
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menilai ke depan sistem kartu-kartu akan digantikan oleh aplikasi. Dengan begitu masyarakat menjadi lebih mudah dalam mengakses layanan publik. “Layanan ke depan bukan didasarkan berbasis jenis kartu namun berbasis aplikasi. Hal ini akan terjadi saat semua masyarakat penerima layanan sudah memiliki akses ke jaringan internet,” ujarnya.

Dia mengatakan secara teknis rencana ini bisa diefisienkan karena core data berasal dari data kependudukan yang dikelola Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Rudiantara mengungkapkan, saat ini sudah 1.166 lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang berkerjasama dengan Kemendagri. Lembaga-lembaga tersebut menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai data rujukan awal.

“Aplikasi terintegrasi harus dikembangkan sehingga dari sisi masyarakat cukup mempunyai core application yang berlaku umum. Termasuk juga additional application yang bergantung kepada sektor atau layanan pemerintah,” katanya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), Lina Miftahul Jannah mengatakan banyaknya kartu yang dimiliki masyarakat saat ini sangat tidak efisien. Dengan demikian, realisasi single identity number harus menjadi fokus pemerintah untuk mengefisienkan layanan. “Jika sudah single identity number itu untuk semuanya. Tidak perlu lagi ada banyak kartu. Ada NPWP lah, Kartu Nikah, KIA, SIM dan lainnya.”

Menurut dia, jika NIK diarahkan untuk single identity number maka akses layanan publik cukup dengan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dia pun merasa heran lembaga layanan publik masih saja tetap mengeluarkan kartu meskipun sudah dapat mengakses NIK secara online. “Ini memang dari awal salah dan tidak terencana dengan baik. Selain itu memang setiap lembaga ingin eksis jadi terus mengeluarkan kartu. Seperti kartu nikah lalu kenapa tidak cukup dengan terintegrasi dengan e-KTP,” paparnya.

Menurutnya semua pihak penyedia layanan publik harus duduk bersama untuk menuntaskan masalah ini. Dia meminta jangan hanya layanan itu berbasis proyek semata. Sehingga masyarakat akan lebih dipermudah.

Dorongan serupa juga disampaikan pakar teknologi informasi Fakultas Teknis Informasi (FTI) Universita Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Ismail Fahmi. “Hanya saja, untuk integrasi sistem satu kartu ini pemerintah masih lambat. Karena itu perlu harus segera ada literasi untuk penerapan satu data yang terintergasi lewat satu sistem,” ungkapnya.

Kesiapan masyarakat untuk menerima program ini juga sudah makin baik. Masyarakat saat ini mudah beradaptasi dengan perubahan kebijakan atau perkembangan teknologi.

Sosiolog Media Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Sulhan juga mengatakan penyatuan kartu (single card) memiliki kelebihan efisiensi. Data base kartu tunggal ini harus mengacu pada satu badan otoritas. “Yang perlu diantisipasi jika badan otoritas memiliki kelemahan pada aspek safety atas data algoritma yang ada. Di sisi lain, penduduk yang belum terdidik akan sangat gampang mengalami penipuan dan potensial disalahgunakan,” jelasnya.

Menurut Sulhan idealnya satu kartu untuk semua hal. Namun karena otoritas lembaga yang begitu kompleks di Indonesia, mungkin untuk sementara masih membutuhkan antara dua sampai empat kartu. Apalagi masyarakat juga tidak mengalami kesulitan dengan sistem tersebut. Terbukti masyarakat Indonesia saat ini cepat merespons teknologi komunikasi seperti gadget, smartphone maupun Wi-Fi. (Dita Angga/Priyo Setyawan/Hanna F/Ichsan Amin/Hafid Fuad)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1152 seconds (0.1#10.140)