Kontribusi Industri di luar Jawa Diproyeksikan Meningkat 60%
A
A
A
JAKARTA - Pemerintahan menegaskan keseriusannya untuk terus mendorong penumbuhan sektor industri manufaktur di wilayah Indonesia Timur. Langkah strategis ini dilakukan guna memacu pemerataan terhadap pembangunan dan perekonomian yang inklusif.
"Untuk itu, kami mengakselerasi pembangunan kawasan industri di luar Jawa, yang hingga saat ini progres dan kontribusinya mengalami peningkatan signifikan," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Menperin menjelaskan, pengembangan kawasan industri baru di luar Jawa diarahkan pada sektor manufaktur berbasis sumber daya alam. Upaya ini sebagai wujud konkret dari penerapan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku di dalam negeri. Pihaknya memproyeksi akan terjadi peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas di luar Jawa sebesar 60% dibanding di Jawa.
Khusus wilayah Indonesia Timur, pada periode 2015-2017, kawasan industri yang telah beroperasi di Provinsi Sulawesi Tengah di antaranya adalah kawasan industri Morowali dan Palu. Selanjutnya, kawasan industri Bantaeng di Sulawesi Selatan dan kawasan industri Konawe di Sulawesi Tenggara.
"Untuk kawasan industri di Morowali, Bantaeng, dan Konawe, kami fokuskan pada industri berbasis pengolahan nikel. Sedangkan, di Palu sebagai kluster industri yang berbasis olahan rotan dan agro," ujar Airlangga. Semua kawasan industri tersebut, masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, di kawasan industri Palu sudah ada 14 tenant, kemudian di kawasan industri Bantaeng 11 tenant, kawasan industri Morowali telah ditempati 10 tenant, dan kawasan industri Konawe sekitar 6 tenant.
Adapun kawasan industri yang sedang tahap konstruksi dan dikebut pembangunannya, yakni di Bitung, Sulawesi Utara. Kawasan Ekonomi Khusus yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2019 ini, akan difokuskan untuk pengembangan industri pengolahan perikanan dan kelapa beserta produk turunannya yang diminati pasar domestik dan ekspor.
"Kami mencontohkan, di Morowali, yang sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadi stainless steel. Kalau nickel ore dijual sekitar USD40-60, sedangkan ketika menjadi stainless steel harganya di atas USD2.000. Selain itu, kita sudah mampu ekspor dari Morowali senilai USD4 miliar, baik itu hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerka Serikat dan China," ujarnya.
Melalui kawasan industri Morowali, lanjut Airlangga, investasi pun terus menunjukkan peningkatan, dari tahun 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar di tahun 2018. "Jumlah penyerapan tenaga kerja di sana terbilang sangat besar hingga 30.000 orang, dengan komposisi 27.000 tenaga kerja lokal dan 3.000 tenaga kerja China. Jadi, tidak benar kalau banyak tenaga kerja asing,” imbuhnya.
Kemenperin juga mendorong percepatan pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni di Papua Barat. Langkah yang akan dilakukan melalui skema kerja sama Permerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau lazim disebut Public Private Partnership (PPP). "Kawasan industri Teluk Bintuni akan difokuskan untuk pengembangan industri petrokimia. Apalagi juga menjadi proyek strategis nasional," tuturnya.
Airlangga menambahkan, wilayah Papua berpotensi dalam pengembangan industri turunan dari komoditas tambang. Mengenai permintaan beberapa pihak agar ada penetapan kawasan industri khusus di Papua, Menperin menilai, hal tersebut bisa direalisasikan di Timika, Kabupaten Mimika, karena dianggap sebagai daerah yang paling tepat untuk dijadikan sebagai kawasan industri.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Papua mengungkapkan pada 2018, perekonomian Papua tumbuh 7,33%, angka tersebut meningkat jika dibanding tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 4,64%. Pertumbuhan tersebut didorong oleh seluruh lapangan usaha.
Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 10,52%, lalu didukung oleh produksi bijih logam yang cukup tinggi. Lapangan usaha lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi Papua, di antaranya adalah lapangan usaha transportasi dan pergudangan yang tumbuh 8,16%.
"Untuk itu, kami mengakselerasi pembangunan kawasan industri di luar Jawa, yang hingga saat ini progres dan kontribusinya mengalami peningkatan signifikan," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Menperin menjelaskan, pengembangan kawasan industri baru di luar Jawa diarahkan pada sektor manufaktur berbasis sumber daya alam. Upaya ini sebagai wujud konkret dari penerapan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku di dalam negeri. Pihaknya memproyeksi akan terjadi peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas di luar Jawa sebesar 60% dibanding di Jawa.
Khusus wilayah Indonesia Timur, pada periode 2015-2017, kawasan industri yang telah beroperasi di Provinsi Sulawesi Tengah di antaranya adalah kawasan industri Morowali dan Palu. Selanjutnya, kawasan industri Bantaeng di Sulawesi Selatan dan kawasan industri Konawe di Sulawesi Tenggara.
"Untuk kawasan industri di Morowali, Bantaeng, dan Konawe, kami fokuskan pada industri berbasis pengolahan nikel. Sedangkan, di Palu sebagai kluster industri yang berbasis olahan rotan dan agro," ujar Airlangga. Semua kawasan industri tersebut, masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, di kawasan industri Palu sudah ada 14 tenant, kemudian di kawasan industri Bantaeng 11 tenant, kawasan industri Morowali telah ditempati 10 tenant, dan kawasan industri Konawe sekitar 6 tenant.
Adapun kawasan industri yang sedang tahap konstruksi dan dikebut pembangunannya, yakni di Bitung, Sulawesi Utara. Kawasan Ekonomi Khusus yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2019 ini, akan difokuskan untuk pengembangan industri pengolahan perikanan dan kelapa beserta produk turunannya yang diminati pasar domestik dan ekspor.
"Kami mencontohkan, di Morowali, yang sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadi stainless steel. Kalau nickel ore dijual sekitar USD40-60, sedangkan ketika menjadi stainless steel harganya di atas USD2.000. Selain itu, kita sudah mampu ekspor dari Morowali senilai USD4 miliar, baik itu hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerka Serikat dan China," ujarnya.
Melalui kawasan industri Morowali, lanjut Airlangga, investasi pun terus menunjukkan peningkatan, dari tahun 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar di tahun 2018. "Jumlah penyerapan tenaga kerja di sana terbilang sangat besar hingga 30.000 orang, dengan komposisi 27.000 tenaga kerja lokal dan 3.000 tenaga kerja China. Jadi, tidak benar kalau banyak tenaga kerja asing,” imbuhnya.
Kemenperin juga mendorong percepatan pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni di Papua Barat. Langkah yang akan dilakukan melalui skema kerja sama Permerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau lazim disebut Public Private Partnership (PPP). "Kawasan industri Teluk Bintuni akan difokuskan untuk pengembangan industri petrokimia. Apalagi juga menjadi proyek strategis nasional," tuturnya.
Airlangga menambahkan, wilayah Papua berpotensi dalam pengembangan industri turunan dari komoditas tambang. Mengenai permintaan beberapa pihak agar ada penetapan kawasan industri khusus di Papua, Menperin menilai, hal tersebut bisa direalisasikan di Timika, Kabupaten Mimika, karena dianggap sebagai daerah yang paling tepat untuk dijadikan sebagai kawasan industri.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Papua mengungkapkan pada 2018, perekonomian Papua tumbuh 7,33%, angka tersebut meningkat jika dibanding tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 4,64%. Pertumbuhan tersebut didorong oleh seluruh lapangan usaha.
Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 10,52%, lalu didukung oleh produksi bijih logam yang cukup tinggi. Lapangan usaha lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi Papua, di antaranya adalah lapangan usaha transportasi dan pergudangan yang tumbuh 8,16%.
(fjo)