Batik Warna Alam Penuh Filosofi
A
A
A
Batik dengan pewarna alam diyakini memberikan rasa percaya diri dan membuat pemakainya menjadi lebih “hidup”. Karena batik tak sekadar seni, tetapi juga mengandung filosofi.Inilah yang menjadi keyakinan Ferry Sugeng Santoso hingga bisa memasarkan produknya ke berbagai negara di bawah bendera “Alam Batik”.
Sejak 2009, ia membesarkan Alam Batik dengan mendidik 15 orang pembatik, yang sebagian besar anak putus sekolah, di kawasan tempat tinggalnya, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Pada tahun itu pula ia terlibat dalam Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (SETC). Sejak itu, kepercayaan dirinya membangun Alam Batik semakin tinggi.
Kini, Ferry sudah menjadi mentor pelatihan batik dengan menggunakan pewarna alam. Berbagai penghargaan telah diraihnya. Terbaru, penghargaan Nayaka Pariwisata dari Kementerian Pariwisata.
Awalnya tak tertarik batik
Keseharian Ferry dekat dengan batik. Ayah dan ibunya merupakan pemilik usaha batik “Dinar Agung”. Saat itu, ia sama sekali tak tertarik dengan batik.
Hingga pada 2006, Dinar Agung mendapatkan undangan dari Kementerian Perindustrian untuk mengikuti pelatihan pewarnaan alam di Yogyakarta. Ferry berangkat mewakili kedua orangtuanya.
“Saya disuruh berangkat. Mungkin ya sudah jalannya. Awalnya saya tidak mau sama sekali. Oleh panitia, semua harus membatik, akhirnya mau tidak mau. Padahal, saya belum pernah sama sekali membatik,” kata Ferry, saat dijumpai di sela pameran UKM bertajuk SETC Expo 2018, di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
Meski terpaksa, Ferry melalui pelatihan itu dengan baik. Semua hal tentang batik dan pewarnaan alam dipelajarinya. Dari sinilah ketertarikan dan kecintaannya terhadap batik terus tumbuh. Batik mengajarkannya banyak hal.
“Bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat, harmoni dengan lingkungan, menjalin kemesraan dengan Tuhan. Filosofinya saya dapat di situ. Kita bisa belajar sinergi dengan masyarakat, alam. Ternyata batik mengajarkan saya sampai sejauh itu,” kisah dia.
Membangun “Alam Batik”
Selepas mengikuti pelatihan di Yogyakarta, Ferry terus berlatih membatik. Sejak 2009, ia memutuskan menjalankan bisnis dengan brand sendiri, Alam Batik.
Motif Alam Batik karya Ferry memadukan hal yang berkaitan dengan spiritual serta mendalami makna dari setiap motif yang ada.
“Filosofi yang bisa mengubah orang yang mengenakannya. Contoh motif kawung. Motif kawung diciptakan untuk raja agar dia menjadi seorang pemimpin yang benar, bukan bijak. Bijak belum tentu benar. Kalau benar, pasti bijak. Akhirnya saya buat motif demikian,” ujar pria kelahiran 13 April 1980 ini.
Motif pertama yang dibuatnya adalah “tali sukma”, dengan proses pengerjaan selama satu tahun. Motif ini sempat diminati seorang pecinta batik, tetapi Ferry tak melepasnya. Alasannya, batik itu dibuatnya secara khusus sehingga bersifat sangat personal dan belum tentu sesuai untuk orang lain.
Untuk pesanan khusus seperti ini, Ferry membuatnya dalam waktu lama untuk menyelami karakter pemesan agar batik yang dihasilkan membawa energi positif bagi pemiliknya.
Hal ini pula yang ditekankan Ferry kepada 15 orang pembatik yang dididiknya. Selain untuk fashion dan seni, batik juga memiliki filosofi.
Dengan konsistensi pilihan menggunakan pewarna alam, Ferry mengatakan, produk yang dihasilkannya lebih memiliki nilai jual dengan kualitas yang jauh lebih baik.
“Batik dengan pewarna alam tidak hanya pewarnanya, tetapi juga bahan pendukungnya pun menggunakan bahan alam, pengikatnya bahan alam,” kata dia.
Ia mencontohkan, untuk mendapatkan warna kuning, yang digunakan adalah kayu tegeran. Jika menginginkan warna kuning muda, dalam pengikatannya menggunakan batu tawas yang mengandung aluminium.
Sementara, untuk warna kuning yang lebih tua, diikat menggunakan batu kapur karena mengandung tembaga dan kalsium. Untuk warna gelap seperti hitam dan abu-abu, yang digunakan untuk mengikat adalah bahan yang mengandung besi.
Pengetahuan soal ini didapatkannya saat mengikuti pelatihan di Yogyakarta dan dipelajarinya secara otodidak.
Bidik pasar dunia
Hingga saat ini, karyanya telah mendapatkan apresiasi di sejumlah negara seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa.
Batik dengan pewarna alam memang lebih dihargai di negara-negara tersebut. “Eropa tidak mau sintetis, maunya warna alam” kata dia.
Ia mengakui, dengan idealismenya ini, produk yang dihasilkan tidak selalu mengikuti keinginan pasar. Akan tetapi, ia yakin, konsistensi ini akan menjadi ciri khas produk Alam Batik. Selain itu, produk yang dihasilkan ekslusif bagi pemiliknya.
“Kalau orang bilang batik saya mahal, yang saya jual tidak mahal. Toh ternyata tetap saja, berapa pun terjual, terbeli. Harga batik saya mulai harga Rp 450.000, ada yang sampai Rp 75 juta, Rp 250 juta,” ujar Ferry.
Batik berukuran 2,5 meter seharga Rp 250 juta itu pernah dibeli oleh seorang kolektor batik. Proses pembuatannya tak main-main, memakan waktu 2 tahun hingga dua tahun karena merupakan pesanan khusus.
“Saya tidak pasang harga. Ketika sudah selesai, dikasih amplop, ternyata pembelinya memberikan harga Rp 250 juta. Jadi yang memberikan harga adalah konsumen sendiri. Biasanya mereka yang tahu batik dan filosofinya” papar Ferry.
Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna
Ferry adalah sosok yang tak pernah berhenti belajar dan terus memperluas jaringan. Berbagai kesempatan diikutinya untuk mengembangkan Alam Batik. Salah satunya, bergabung dengan SETC.
Ia mengatakan, SETC telah dikenalnya sejak 2007, melalui usaha batik orangtuanya, Dinar Agung. Namun, pada 2009, setelah memiliki usaha sendiri, Ferry memberdayakan diri di SETC di bawah bendera Alam Batik. Dan, sejak itu, perkembangan bisnisnya cukup pesat.
“Perkembangannya luar biasa. Banyak dengan kegiatan expo seperti ini peluang besar untuk kami. Penting untukcampaign. Expo tidak hanya untuk jualan, tetapi juga memperkenalkan kepada masyarakat,” kata dia.
Kesempatan mengikuti pameran yang diselenggarakan SETC, menjadi kesempatan besar bagi Ferry untuk memperkenalkan produknya. Alasannya, hingga kini ia tak memasarkan produknya secara online.
“Saya ingin pembeli atau calon konsumen melihat, memegang langsung batik karya saya. Dari situ, dia akan merasakan keistimewaannya. Maka, kesempatan mengikuti expo, jadi kesempatan besar buat saya. Saya jualannya masih konvensional, belum online,” kata Ferry.
Selain mengikuti expo, lanjut Ferry, UKM binaan Sampoerna juga mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan terkait peningkatan kualitas produk dan packaging. Pengetahuan mengenai hal ini, bagi Ferry, sangat bermanfaat bagi pengembangan bisnisnya.
Ke depannya, ia berharap, akan ada pelatihan dan pendampingan pembuatan situs web untuk memperluas pasar UKM binaan.
Ferry juga mengungkapkan, ia kini kerap menjadi mentor pelatihan membatik dengan pewarna alam yang diselenggarakan oleh Sampoerna melalui SETC.
Tantangan dan impian
Membangun usaha pasti ada tantangannya. Demikian pula yang dialami Ferry. Persoalan bahan baku tak jadi persoalan buatnya. Namun, yang menjadi tantangan adalah mencari sumber daya manusia (SDM) pembatik. Di Pasuruan, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena sebagian besar, terutama generasi muda, memilih bekerja di pabrik.
“Apalagi Pasuruan. Pabrik banyak, jadi pencarian tenaga kerja berat. Kenapa saya sampai terlambat produksi, karena hambatan tenaga kerja, bukan bahan baku,” kata dia.
Sebanyak 15 orang pembatik yang telah didik Ferry adalah para remaja putus sekolah. Proses yang dilaluinya juga tak mudah untuk membuat mereka mau dididik menjadi pembatik. Imbalan layak adalah komitmen yang diberikan Ferry agar kehidupan para pembatik muda ini terjamin kesejahteraannya.
Ke depan, Ferry punya impian mengikutkan pembatik didikannya dalam berbagai pelatihan SETC, seperti yang pernah dijalaninya. Tujuannya, untuk melatih kemandirian. Ia tak mempersoalkan jika mereka yang sudah dibina kemudian memilih jalan untuk berdikari.
“Harapan saya anak-anak muda ini diberi kesempatan untuk mendapat pelatihan-pelatihan untuk membentuk kemandirian,” ujar Ferry.
Impian lainnya, ia ingin merangkul lebih banyak lagi para remaja putus sekolah atau kelompok marjinal untuk dilatih menjadi pembatik.
“Mereka yang punya ijazah tidak susah (cari kerja). Tapi mereka yang tidak punya ijazah, tanggung jawab siapa? Saya selama ini saya merangkul anak putus sekolah untuk mengerjakan batik di rumah. Saya ingin lebih banyak lagi anak-anak yang demikian. Tapi saya tidak bisa melakukannya sendiri, harus ada partner,” kata Ferry. Semoga terwujud!
Sejak 2009, ia membesarkan Alam Batik dengan mendidik 15 orang pembatik, yang sebagian besar anak putus sekolah, di kawasan tempat tinggalnya, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Pada tahun itu pula ia terlibat dalam Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (SETC). Sejak itu, kepercayaan dirinya membangun Alam Batik semakin tinggi.
Kini, Ferry sudah menjadi mentor pelatihan batik dengan menggunakan pewarna alam. Berbagai penghargaan telah diraihnya. Terbaru, penghargaan Nayaka Pariwisata dari Kementerian Pariwisata.
Awalnya tak tertarik batik
Keseharian Ferry dekat dengan batik. Ayah dan ibunya merupakan pemilik usaha batik “Dinar Agung”. Saat itu, ia sama sekali tak tertarik dengan batik.
Hingga pada 2006, Dinar Agung mendapatkan undangan dari Kementerian Perindustrian untuk mengikuti pelatihan pewarnaan alam di Yogyakarta. Ferry berangkat mewakili kedua orangtuanya.
“Saya disuruh berangkat. Mungkin ya sudah jalannya. Awalnya saya tidak mau sama sekali. Oleh panitia, semua harus membatik, akhirnya mau tidak mau. Padahal, saya belum pernah sama sekali membatik,” kata Ferry, saat dijumpai di sela pameran UKM bertajuk SETC Expo 2018, di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
Meski terpaksa, Ferry melalui pelatihan itu dengan baik. Semua hal tentang batik dan pewarnaan alam dipelajarinya. Dari sinilah ketertarikan dan kecintaannya terhadap batik terus tumbuh. Batik mengajarkannya banyak hal.
“Bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat, harmoni dengan lingkungan, menjalin kemesraan dengan Tuhan. Filosofinya saya dapat di situ. Kita bisa belajar sinergi dengan masyarakat, alam. Ternyata batik mengajarkan saya sampai sejauh itu,” kisah dia.
Membangun “Alam Batik”
Selepas mengikuti pelatihan di Yogyakarta, Ferry terus berlatih membatik. Sejak 2009, ia memutuskan menjalankan bisnis dengan brand sendiri, Alam Batik.
Motif Alam Batik karya Ferry memadukan hal yang berkaitan dengan spiritual serta mendalami makna dari setiap motif yang ada.
“Filosofi yang bisa mengubah orang yang mengenakannya. Contoh motif kawung. Motif kawung diciptakan untuk raja agar dia menjadi seorang pemimpin yang benar, bukan bijak. Bijak belum tentu benar. Kalau benar, pasti bijak. Akhirnya saya buat motif demikian,” ujar pria kelahiran 13 April 1980 ini.
Motif pertama yang dibuatnya adalah “tali sukma”, dengan proses pengerjaan selama satu tahun. Motif ini sempat diminati seorang pecinta batik, tetapi Ferry tak melepasnya. Alasannya, batik itu dibuatnya secara khusus sehingga bersifat sangat personal dan belum tentu sesuai untuk orang lain.
Untuk pesanan khusus seperti ini, Ferry membuatnya dalam waktu lama untuk menyelami karakter pemesan agar batik yang dihasilkan membawa energi positif bagi pemiliknya.
Hal ini pula yang ditekankan Ferry kepada 15 orang pembatik yang dididiknya. Selain untuk fashion dan seni, batik juga memiliki filosofi.
Dengan konsistensi pilihan menggunakan pewarna alam, Ferry mengatakan, produk yang dihasilkannya lebih memiliki nilai jual dengan kualitas yang jauh lebih baik.
“Batik dengan pewarna alam tidak hanya pewarnanya, tetapi juga bahan pendukungnya pun menggunakan bahan alam, pengikatnya bahan alam,” kata dia.
Ia mencontohkan, untuk mendapatkan warna kuning, yang digunakan adalah kayu tegeran. Jika menginginkan warna kuning muda, dalam pengikatannya menggunakan batu tawas yang mengandung aluminium.
Sementara, untuk warna kuning yang lebih tua, diikat menggunakan batu kapur karena mengandung tembaga dan kalsium. Untuk warna gelap seperti hitam dan abu-abu, yang digunakan untuk mengikat adalah bahan yang mengandung besi.
Pengetahuan soal ini didapatkannya saat mengikuti pelatihan di Yogyakarta dan dipelajarinya secara otodidak.
Bidik pasar dunia
Hingga saat ini, karyanya telah mendapatkan apresiasi di sejumlah negara seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa.
Batik dengan pewarna alam memang lebih dihargai di negara-negara tersebut. “Eropa tidak mau sintetis, maunya warna alam” kata dia.
Ia mengakui, dengan idealismenya ini, produk yang dihasilkan tidak selalu mengikuti keinginan pasar. Akan tetapi, ia yakin, konsistensi ini akan menjadi ciri khas produk Alam Batik. Selain itu, produk yang dihasilkan ekslusif bagi pemiliknya.
“Kalau orang bilang batik saya mahal, yang saya jual tidak mahal. Toh ternyata tetap saja, berapa pun terjual, terbeli. Harga batik saya mulai harga Rp 450.000, ada yang sampai Rp 75 juta, Rp 250 juta,” ujar Ferry.
Batik berukuran 2,5 meter seharga Rp 250 juta itu pernah dibeli oleh seorang kolektor batik. Proses pembuatannya tak main-main, memakan waktu 2 tahun hingga dua tahun karena merupakan pesanan khusus.
“Saya tidak pasang harga. Ketika sudah selesai, dikasih amplop, ternyata pembelinya memberikan harga Rp 250 juta. Jadi yang memberikan harga adalah konsumen sendiri. Biasanya mereka yang tahu batik dan filosofinya” papar Ferry.
Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna
Ferry adalah sosok yang tak pernah berhenti belajar dan terus memperluas jaringan. Berbagai kesempatan diikutinya untuk mengembangkan Alam Batik. Salah satunya, bergabung dengan SETC.
Ia mengatakan, SETC telah dikenalnya sejak 2007, melalui usaha batik orangtuanya, Dinar Agung. Namun, pada 2009, setelah memiliki usaha sendiri, Ferry memberdayakan diri di SETC di bawah bendera Alam Batik. Dan, sejak itu, perkembangan bisnisnya cukup pesat.
“Perkembangannya luar biasa. Banyak dengan kegiatan expo seperti ini peluang besar untuk kami. Penting untukcampaign. Expo tidak hanya untuk jualan, tetapi juga memperkenalkan kepada masyarakat,” kata dia.
Kesempatan mengikuti pameran yang diselenggarakan SETC, menjadi kesempatan besar bagi Ferry untuk memperkenalkan produknya. Alasannya, hingga kini ia tak memasarkan produknya secara online.
“Saya ingin pembeli atau calon konsumen melihat, memegang langsung batik karya saya. Dari situ, dia akan merasakan keistimewaannya. Maka, kesempatan mengikuti expo, jadi kesempatan besar buat saya. Saya jualannya masih konvensional, belum online,” kata Ferry.
Selain mengikuti expo, lanjut Ferry, UKM binaan Sampoerna juga mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan terkait peningkatan kualitas produk dan packaging. Pengetahuan mengenai hal ini, bagi Ferry, sangat bermanfaat bagi pengembangan bisnisnya.
Ke depannya, ia berharap, akan ada pelatihan dan pendampingan pembuatan situs web untuk memperluas pasar UKM binaan.
Ferry juga mengungkapkan, ia kini kerap menjadi mentor pelatihan membatik dengan pewarna alam yang diselenggarakan oleh Sampoerna melalui SETC.
Tantangan dan impian
Membangun usaha pasti ada tantangannya. Demikian pula yang dialami Ferry. Persoalan bahan baku tak jadi persoalan buatnya. Namun, yang menjadi tantangan adalah mencari sumber daya manusia (SDM) pembatik. Di Pasuruan, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena sebagian besar, terutama generasi muda, memilih bekerja di pabrik.
“Apalagi Pasuruan. Pabrik banyak, jadi pencarian tenaga kerja berat. Kenapa saya sampai terlambat produksi, karena hambatan tenaga kerja, bukan bahan baku,” kata dia.
Sebanyak 15 orang pembatik yang telah didik Ferry adalah para remaja putus sekolah. Proses yang dilaluinya juga tak mudah untuk membuat mereka mau dididik menjadi pembatik. Imbalan layak adalah komitmen yang diberikan Ferry agar kehidupan para pembatik muda ini terjamin kesejahteraannya.
Ke depan, Ferry punya impian mengikutkan pembatik didikannya dalam berbagai pelatihan SETC, seperti yang pernah dijalaninya. Tujuannya, untuk melatih kemandirian. Ia tak mempersoalkan jika mereka yang sudah dibina kemudian memilih jalan untuk berdikari.
“Harapan saya anak-anak muda ini diberi kesempatan untuk mendapat pelatihan-pelatihan untuk membentuk kemandirian,” ujar Ferry.
Impian lainnya, ia ingin merangkul lebih banyak lagi para remaja putus sekolah atau kelompok marjinal untuk dilatih menjadi pembatik.
“Mereka yang punya ijazah tidak susah (cari kerja). Tapi mereka yang tidak punya ijazah, tanggung jawab siapa? Saya selama ini saya merangkul anak putus sekolah untuk mengerjakan batik di rumah. Saya ingin lebih banyak lagi anak-anak yang demikian. Tapi saya tidak bisa melakukannya sendiri, harus ada partner,” kata Ferry. Semoga terwujud!
(akn)