Pengamat: Batas Bawah Ideal Tarif Ojek Online Rp2.000 per Km
A
A
A
JAKARTA - Pengamat menilai batas bawah tarif ojek online yang akan ditetapkan pemerintah dalam waktu dekat idealnya adalah sebesar Rp2.000 per kilometer (km). Di angka itu, artinya terjadi kenaikan Rp600 (sekitar 43%) dari tarif rata-rata saat ini yang sebesar Rp1.400 per km, yang merupakan nilai tengah batas bawah tarif GO-JEK (Rp1.600 per km) dan Grab (Rp1.200 per km).
Angka ini muncul berdasar kajian Research Institute of Socio Economic Development (RISED) terhadap faktor kemampuan membayar, bahwa pengeluaran tambahan per hari yang bisa ditoleransi oleh kebanyakan konsumen (sekitar 71%) tak melebihi Rp5.000. Dengan jarak tempuh rata-rata konsumen per hari 8,8 km, berarti kenaikan tarif ideal adalah maksimal Rp568 per km, sehingga batas bawah tarif naik menjadi Rp1.968 per km.
"Kenaikan tarif idealnya dibulatkan saja menjadi Rp600 per kilometer, sehingga batas bawah tarifnya menjadi Rp2.000 per kilometer. Saya rasa kenaikan ini juga cukup signifikan menguntungkan bagi mitra pengemudi," ungkap pengamat ekonomi digital dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Dia menambahkan, belum lagi dengan adanya penerapan dynamic pricing (pentarifan dinamis) oleh aplikator berdasarkan algoritma big data yang memberikan tarif terbaik buat mitra pengemudi. Artinya tarif akan menyesuaikan secara dinamis, tergantung pada waktu, tempat, dan tinggi rendahnya permintaan serta penawaran yang tersedia.
Hingga saat ini, besaran batas bawah tarif yang akan dipertimbangkan oleh pemerintah berada di kisaran Rp2.400-3.000 per km. Sementara, batas bawah tarif Rp3.000 per km merupakan tuntutan komunitas ojek online Gabungan Aksi Roda Dua (Garda).
Namun, jika mengikuti keinginan mitra pengemudi agar pemerintah mematok tarif batas bawah Rp3.000 per km, maka dikhawatirkan mayoritas konsumen berpotensi beralih lagi ke moda transportasi lain yang lebih murah. Hal itu juga dikhawatirkan memengaruhi kinerja usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang saat ini semakin banyak memanfaatkan jasa pengantaran barang menggunakan ojek online.
"Alih-alih mendapatkan kenaikan pendapatan, mitra pengemudi justru akan menanggung efek negatif dari berkurangnya konsumen. Ini jelas tidak baik bagi ekosistem yang sudah terbangun," ujar Fithra.
Fithra mengatakan, keinginan mitra pengemudi untuk lebih sejahtera dengan kenaikan tarif jangan sampai membuat pengaturan tarif ini malah diputuskan secara gegabah dan malah berdampak negatif bagi ekosistem. Dia mengatakan, semua pihak harus paham bahwa kelangsungan bisnis digital ini melibatkan sejumla variabel dalam ekosistem.
Variabel di dalam ekosistem tersebut, jelas dia, adalah aplikator, mitra pengemudi, konsumen, dan pemerintah selaku regulator. Semua saling berkaitan dan harus bisa berjalan selaras beriringan, agar ekosistem yang sudah terbangun baik tetap bisa terjaga. "Jadi, ketika satu variabel dalam ekosistem ini terganggu, maka efek negatifnya langsung terasa pada keseluruhan ekosistem," tandasnya.
Angka ini muncul berdasar kajian Research Institute of Socio Economic Development (RISED) terhadap faktor kemampuan membayar, bahwa pengeluaran tambahan per hari yang bisa ditoleransi oleh kebanyakan konsumen (sekitar 71%) tak melebihi Rp5.000. Dengan jarak tempuh rata-rata konsumen per hari 8,8 km, berarti kenaikan tarif ideal adalah maksimal Rp568 per km, sehingga batas bawah tarif naik menjadi Rp1.968 per km.
"Kenaikan tarif idealnya dibulatkan saja menjadi Rp600 per kilometer, sehingga batas bawah tarifnya menjadi Rp2.000 per kilometer. Saya rasa kenaikan ini juga cukup signifikan menguntungkan bagi mitra pengemudi," ungkap pengamat ekonomi digital dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Dia menambahkan, belum lagi dengan adanya penerapan dynamic pricing (pentarifan dinamis) oleh aplikator berdasarkan algoritma big data yang memberikan tarif terbaik buat mitra pengemudi. Artinya tarif akan menyesuaikan secara dinamis, tergantung pada waktu, tempat, dan tinggi rendahnya permintaan serta penawaran yang tersedia.
Hingga saat ini, besaran batas bawah tarif yang akan dipertimbangkan oleh pemerintah berada di kisaran Rp2.400-3.000 per km. Sementara, batas bawah tarif Rp3.000 per km merupakan tuntutan komunitas ojek online Gabungan Aksi Roda Dua (Garda).
Namun, jika mengikuti keinginan mitra pengemudi agar pemerintah mematok tarif batas bawah Rp3.000 per km, maka dikhawatirkan mayoritas konsumen berpotensi beralih lagi ke moda transportasi lain yang lebih murah. Hal itu juga dikhawatirkan memengaruhi kinerja usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang saat ini semakin banyak memanfaatkan jasa pengantaran barang menggunakan ojek online.
"Alih-alih mendapatkan kenaikan pendapatan, mitra pengemudi justru akan menanggung efek negatif dari berkurangnya konsumen. Ini jelas tidak baik bagi ekosistem yang sudah terbangun," ujar Fithra.
Fithra mengatakan, keinginan mitra pengemudi untuk lebih sejahtera dengan kenaikan tarif jangan sampai membuat pengaturan tarif ini malah diputuskan secara gegabah dan malah berdampak negatif bagi ekosistem. Dia mengatakan, semua pihak harus paham bahwa kelangsungan bisnis digital ini melibatkan sejumla variabel dalam ekosistem.
Variabel di dalam ekosistem tersebut, jelas dia, adalah aplikator, mitra pengemudi, konsumen, dan pemerintah selaku regulator. Semua saling berkaitan dan harus bisa berjalan selaras beriringan, agar ekosistem yang sudah terbangun baik tetap bisa terjaga. "Jadi, ketika satu variabel dalam ekosistem ini terganggu, maka efek negatifnya langsung terasa pada keseluruhan ekosistem," tandasnya.
(fjo)