Luhut Sebut Proyek Jalur Sutra Modern Gunakan Skema B to B
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Republik Rakyat China akan menggelar Konferensi Belt and Road Initiatives atau dikenal Jalur Sutra Modern, dimana Indonesia turut serta. Terkait ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, memastikan proyek-proyek yang masuk dalam program Jalur Sutra Modern yang diinisiasi China menggunakan skema Business to Business (B to B).
"Kerjasama yang kita lakukan sekarang tidak ada yang berbentuk kerjasama antarpemerintah, yang kita lakukan sekarang ini semua kerja sama antarbadan usaha, langsung pada proyek. Jadi peran pemerintah di sini hanya memfasilitasi," terang dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Luhut menegaskan bahwa proyek-proyek tersebut murni dilakukan secara B to B, di mana pemerintah Indonesia dan China hanya memfasilitasi bertemunya masing-masing badan usaha dari kedua negara.
Ia menambahkan, pemerintah tengah melakukan studi kelayakan (feasibility study) proyek dengan investor China untuk beberapa proyek yang akan ditawarkan dalam KTT Belt and Road Initiative ini.
Sesuai arahan Presiden Jokowi agar pertumbuhan Indonesia bisa berada di 5,6% pada 2020, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberi insentif kepada perusahaan yang memproduksi barang ekspor dan investasi yang dapat mengurangi impor dan menciptakan lapangan kerja.
Misalnya, kata Luhut, saat ini ada beberapa perusahaan yang tertarik membangun industri mobil listrik di Indonesia, seperti Sokon. Perusahaan itu berminat memproduksi mobil listrik dalam bentuk taksi seperti yang sedang dikembangkan perusahaan Bluebird.
"Daripada kita impor, lebih baik mereka dirikan pabriknya di Indonesia, gabung dengan China. Tentunya mereka (China) harus melakukan alih teknologi," sambungnya.
Selain di bidang industri, ada pula kerja sama pendidikan vokasi yang akan membantu tenaga kerja Indonesia untuk dapat bersaing di era industri 4.0 sekarang ini.
"Akan ada 10.000 pelatihan vokasi yang diselenggarakan antara Jerman, Indonesia dan China. Jadi tidak hanya antara Indonesia dan China. Bentuk kerjasamanya yaitu pelatihan ini menggunakan teknologi Jerman dan uangnya dari China," jelasnya.
Dengan kata lain, katanya, Indonesia menggunakan teknologi kelas satu dengan pendanaan yang relatif murah. "Singapura juga tertarik ikut dalam kerja sama ini karena mereka sudah berpengalaman di bidang ini. Menteri Keuangan Jerman telah mengundang kami untuk membicarakan hal ini," kata Luhut.
Pada KTT Road and Belt Initiatives, pemerintah juga ingin melakukan studi bagaimana China membangun peta jalan industrinya.
"Kami ingin mempelajari bagaimana mereka membangun peta jalan industrinya. Dalam hal ini Bappenas akan terlibat, agar kita tidak mengulangi kesalahan negara lain dalam membangun industrinya. Industri ini kan berkembang pesat, sekarang sudah memasuki era 4.0 jadi kita lakukan ini agar kita sudah memiliki acuan sehingga tidak ada kekeliruan," pungkas Luhut.
"Kerjasama yang kita lakukan sekarang tidak ada yang berbentuk kerjasama antarpemerintah, yang kita lakukan sekarang ini semua kerja sama antarbadan usaha, langsung pada proyek. Jadi peran pemerintah di sini hanya memfasilitasi," terang dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Luhut menegaskan bahwa proyek-proyek tersebut murni dilakukan secara B to B, di mana pemerintah Indonesia dan China hanya memfasilitasi bertemunya masing-masing badan usaha dari kedua negara.
Ia menambahkan, pemerintah tengah melakukan studi kelayakan (feasibility study) proyek dengan investor China untuk beberapa proyek yang akan ditawarkan dalam KTT Belt and Road Initiative ini.
Sesuai arahan Presiden Jokowi agar pertumbuhan Indonesia bisa berada di 5,6% pada 2020, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberi insentif kepada perusahaan yang memproduksi barang ekspor dan investasi yang dapat mengurangi impor dan menciptakan lapangan kerja.
Misalnya, kata Luhut, saat ini ada beberapa perusahaan yang tertarik membangun industri mobil listrik di Indonesia, seperti Sokon. Perusahaan itu berminat memproduksi mobil listrik dalam bentuk taksi seperti yang sedang dikembangkan perusahaan Bluebird.
"Daripada kita impor, lebih baik mereka dirikan pabriknya di Indonesia, gabung dengan China. Tentunya mereka (China) harus melakukan alih teknologi," sambungnya.
Selain di bidang industri, ada pula kerja sama pendidikan vokasi yang akan membantu tenaga kerja Indonesia untuk dapat bersaing di era industri 4.0 sekarang ini.
"Akan ada 10.000 pelatihan vokasi yang diselenggarakan antara Jerman, Indonesia dan China. Jadi tidak hanya antara Indonesia dan China. Bentuk kerjasamanya yaitu pelatihan ini menggunakan teknologi Jerman dan uangnya dari China," jelasnya.
Dengan kata lain, katanya, Indonesia menggunakan teknologi kelas satu dengan pendanaan yang relatif murah. "Singapura juga tertarik ikut dalam kerja sama ini karena mereka sudah berpengalaman di bidang ini. Menteri Keuangan Jerman telah mengundang kami untuk membicarakan hal ini," kata Luhut.
Pada KTT Road and Belt Initiatives, pemerintah juga ingin melakukan studi bagaimana China membangun peta jalan industrinya.
"Kami ingin mempelajari bagaimana mereka membangun peta jalan industrinya. Dalam hal ini Bappenas akan terlibat, agar kita tidak mengulangi kesalahan negara lain dalam membangun industrinya. Industri ini kan berkembang pesat, sekarang sudah memasuki era 4.0 jadi kita lakukan ini agar kita sudah memiliki acuan sehingga tidak ada kekeliruan," pungkas Luhut.
(ven)