Masih Tertinggi, Kontribusi Ekspor Produk Manufaktur 74%
A
A
A
JAKARTA - Industri pengolahan nonmigas konsisten memberikan kontribusi paling besar terhadap nilai ekspor nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada April 2019, ekspor produk manufaktur mencapai USD9,42 miliar atau menyumbang 74,77% dari total ekspor Indonesia.
"Beberapa hal yang terkait dengan defisit neraca perdagangan, sebetulnya kalau kita bicara industri nonmigas, masih positif. Secara kumulatif, volume ekspor Januari-April 2019 meningkat 10,22% dibanding periode yang sama di tahun 2018, yang disumbang oleh peningkatan ekspor nonmigas 13,07%," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu (19/5/2019).
Sejumlah komoditas nonmigas yang nilai ekspornya naik pada April 2019 dibanding Maret 2019 adalah karet dan barang dari karet senilai USD72,4 juta (15,10%), bubur kayu/pulp USD51,7 juta (21,39%), alas kaki USD30,0 juta (8,66%), pupuk USD23,9 juta (66,36%), serta berbagai produk kimia USD23,8 juta (6,64%).
"Kami juga terus mendorong produsen dalam negeri melakukan substitusi impor. Jadi, substitusi impor itu harus ada dari barang yang di dalam negeri dan kami dorong untuk ekspor ke luar negeri," sambung Menperin.
Substitusi impor merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan defisit neraca perdagangan. Di samping itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus terhadap peningkatan investasi dan ekspansi di dalam negeri yang diharapkan dapat mengerem laju impor dengan mendongkrak produksi dalam negeri, sekaligus menggenjot ekspor.
"Kami juga memacu perusahaan swasta untuk berinvestasi di luar negeri supaya mendapatkan akses kemudahan ekspor di tengah ketidakpastian perdagangan global saat ini. Salah satu komoditas yang didorong untuk ekspor adalah besi dan baja," ungkap Airlangga.
Lebih lanjut Menperin mengatakan, penurunan ekspor nasional saat ini karena permintaan pasar dunia yang juga turun akibat dari imbas perang dagang. Dia mencontohkan produk besi dan baja Indonesia dalam bentuk lembaran (sheet) yang terkena bea masuk cukup tinggi ke Amerika Serikat (AS) dan China.
Sementara, terkait besarnya impor bahan baku dan penolong serta barang modal, Menperin menjelaskan bahwa hal itu guna meningkatkan produksi di dalam negeri. Pada akhirnya, kata Menperin, diharapkan ekspor juga bisa ikut naik.
Sejumlah produk manufaktur Indonesia menurutnya masih agresif menembus pasar ekspor, seperti makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, serta kendaraan dan komponennya.
Selain peningkatan investasi untuk ekspor, Menperin pun mendorong diversifikasi pasar tujuan ekspor produk domestik. Adapun negara tujuan ekspor produk nonmigas Indonesia yang terbesar pada April 2019 yakni China yang mencapai USD2,04 miliar, disusul AS sebesar USD1,38 miliar dan Jepang USD1,05 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 37,65%. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) tercatat sebesar USD1,16 miliar.
Dilihat pada periode Januari-April 2019, China masih tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai USD7,27 miliar (14,85%), diikuti AS dengan nilai USD5,54 miliar (11,32%), dan Jepang dengan nilai USD4,45 miliar (9,09%). Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode tersebut adalah lignit, besi/baja, dan minyak kelapa sawit.
"Beberapa hal yang terkait dengan defisit neraca perdagangan, sebetulnya kalau kita bicara industri nonmigas, masih positif. Secara kumulatif, volume ekspor Januari-April 2019 meningkat 10,22% dibanding periode yang sama di tahun 2018, yang disumbang oleh peningkatan ekspor nonmigas 13,07%," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu (19/5/2019).
Sejumlah komoditas nonmigas yang nilai ekspornya naik pada April 2019 dibanding Maret 2019 adalah karet dan barang dari karet senilai USD72,4 juta (15,10%), bubur kayu/pulp USD51,7 juta (21,39%), alas kaki USD30,0 juta (8,66%), pupuk USD23,9 juta (66,36%), serta berbagai produk kimia USD23,8 juta (6,64%).
"Kami juga terus mendorong produsen dalam negeri melakukan substitusi impor. Jadi, substitusi impor itu harus ada dari barang yang di dalam negeri dan kami dorong untuk ekspor ke luar negeri," sambung Menperin.
Substitusi impor merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan defisit neraca perdagangan. Di samping itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus terhadap peningkatan investasi dan ekspansi di dalam negeri yang diharapkan dapat mengerem laju impor dengan mendongkrak produksi dalam negeri, sekaligus menggenjot ekspor.
"Kami juga memacu perusahaan swasta untuk berinvestasi di luar negeri supaya mendapatkan akses kemudahan ekspor di tengah ketidakpastian perdagangan global saat ini. Salah satu komoditas yang didorong untuk ekspor adalah besi dan baja," ungkap Airlangga.
Lebih lanjut Menperin mengatakan, penurunan ekspor nasional saat ini karena permintaan pasar dunia yang juga turun akibat dari imbas perang dagang. Dia mencontohkan produk besi dan baja Indonesia dalam bentuk lembaran (sheet) yang terkena bea masuk cukup tinggi ke Amerika Serikat (AS) dan China.
Sementara, terkait besarnya impor bahan baku dan penolong serta barang modal, Menperin menjelaskan bahwa hal itu guna meningkatkan produksi di dalam negeri. Pada akhirnya, kata Menperin, diharapkan ekspor juga bisa ikut naik.
Sejumlah produk manufaktur Indonesia menurutnya masih agresif menembus pasar ekspor, seperti makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, serta kendaraan dan komponennya.
Selain peningkatan investasi untuk ekspor, Menperin pun mendorong diversifikasi pasar tujuan ekspor produk domestik. Adapun negara tujuan ekspor produk nonmigas Indonesia yang terbesar pada April 2019 yakni China yang mencapai USD2,04 miliar, disusul AS sebesar USD1,38 miliar dan Jepang USD1,05 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 37,65%. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) tercatat sebesar USD1,16 miliar.
Dilihat pada periode Januari-April 2019, China masih tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai USD7,27 miliar (14,85%), diikuti AS dengan nilai USD5,54 miliar (11,32%), dan Jepang dengan nilai USD4,45 miliar (9,09%). Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode tersebut adalah lignit, besi/baja, dan minyak kelapa sawit.
(fjo)