Kementan dan PUPR Gotong Royong Antisipasi Kekeringan
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pertanian bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bergotong royong mengantisipasi dampak kekeringan lahan pertanian. Berbagai upaya dilakukan agar tanaman padi tidak mengalami puso.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy, mengakui beberapa daerah pertanian mengalami kekeringan. Pihaknya pun mendorong petani memanfaatkan segala sumber air.
"Bagi sawah yang sudah ditanami padi, bisa memanfaatkan sumber air yang ada. Jika sumber air sungai tidak tersedia maka petani dianjurkan memanfaatkan sumber air tanah," kata Sarwo Edhy, Kamis (25/7/2019).
Dia menyebutkan, bagi petani yang belum tanam, disarankan untuk tidak menanam padi dan mengganti dengan tanaman lain (palawija) yang tahan dengan air. Menurut dia, jika sumber air tersedia (sungai) petani bisa memanfaatkan dengan menggunakan alat mesin pertanian (alsintan).
"Hal ini penting dilakukan oleh petani agar tanaman padi tidak puso. Petani bisa memanfaatkan bantuan pompa air untuk menyalurkan sumber air," ujar Sarwo Edhy.
Kementan jauh-jauh hari sudah melakukan berbagai antisipasi kekeringan dengan membangun atau memperbaiki sarana dan prasarana pertanian. Kegiatan ini dilaksanakan agar produksi pangan nasional tidak terganggu.
Tahun 2019, misalnya, Kementan telah mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi jaringan irigasi tersier seluas 67.037 hektar. Sementara Irigasi Perpompaan yang dilakukan sebanyak 467 unit. lrigasi Perpipaan 138 unit, Pembangunan Embung/Dam Parit/Long Storage sebanyak 400 unit dan Cetak Sawah seluas 6.000 hektar.
Selain itu, Kementan juga akan mengantisipasi musim kemarau tahun ini melalui beberapa upaya. Diantaranya menyebarluaskan informasi Prakiraan Iklim Musim Kemarau Tahun 2019 dan peningkatan kewaspadaan terhadap kekeringan kepada seluruh Gubernur dan Dinas Provinsi terkait.
Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Hari Suprayogi, mengatakan untuk mengatasi kekeringan, pihaknya mengoperasikan 231 waduk. Total tersebut meliputi 16 waduk utama dengan kapasitas tampungan di atas 50 juta meter kubik (m3) dan 215 waduk berkapasitas tampungan kurang dari 50 juta m3.
Dari 16 waduk utama, sebanyak delapan waduk memiliki tinggi muka air normal, yakni Cirata, Saguling, Betutegi, Wadaslintang, Bili-Bili, Kalola, Way Rarem, dan Ponre-Ponre. Sementara delapan waduk lainnya memiliki tinggi muka air di bawah normal, yakni Jatiluhur, Kedungombo, Wonogiri, Sutami, Wonorejo, Cacaban, Selorejo, dan Batu Bulan.
Hasil pantauan tanggal 30 Juni 2019 mencatat, volume ketersediaan air dari 16 waduk utama tersebut sebesar 3.858,25 juta m3 dari tampungan efektif sebesar 5.931,62 juta m3.
"Luas area yang bisa dilayani dari 16 bendungan tersebut adalah 403.413 hektar (ha) dari total 573.367 hektar," jelas Hari.
Hari menambahkan, waduk dengan kondisi di bawah rencana akan mengalami penyesuaian pola tanam yang pengaturannya. Hal tersebut ditentukan oleh perkumpulan petani pengguna air atau P3A.
Selain waduk, Hari memastikan ketersediaan air dari 1.922 embung yang terdiri dari 1.214 embung berfungsi normal (63,2%) dan 708 embung mengalami penurunan fungsi (36,8%).
"Rata-rata seluruh embung mampu menyediakan air hingga dua sampai tiga bulan dengan total ketersediaan air 208 juta m3," tutur Hari.
Kementerian PUPR juga menyiapkan pompa sentrifugal berkapasitas 16 liter per detik untuk menjaga ketersediaan air bersih konsumsi masyarakat. Hari mengatakan, pompa yang disiapkan mencapai 1.000 unit yang tersebar di 34 provinsi.
"Tentunya apabila di situ memang ada air. Air bisa air tanah maupun bisa dari suatu sungai yang memang masih ada," tutur Hari.
Sementara untuk daerah yang memiliki curah hujan relatif sedikit sehingga cadangan air tanah terbatas, misalnya Gunung Kidul, Kementerian PUPR membuat sumur bor dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian potensi sumber air di sekitar. Hari mengatakan optimalisasi pemanfaatan sumur bor yang telah tersedia sebanyak 7.471 sumur bor tersebar di 34 provinsi juga akan dilakukan.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy, mengakui beberapa daerah pertanian mengalami kekeringan. Pihaknya pun mendorong petani memanfaatkan segala sumber air.
"Bagi sawah yang sudah ditanami padi, bisa memanfaatkan sumber air yang ada. Jika sumber air sungai tidak tersedia maka petani dianjurkan memanfaatkan sumber air tanah," kata Sarwo Edhy, Kamis (25/7/2019).
Dia menyebutkan, bagi petani yang belum tanam, disarankan untuk tidak menanam padi dan mengganti dengan tanaman lain (palawija) yang tahan dengan air. Menurut dia, jika sumber air tersedia (sungai) petani bisa memanfaatkan dengan menggunakan alat mesin pertanian (alsintan).
"Hal ini penting dilakukan oleh petani agar tanaman padi tidak puso. Petani bisa memanfaatkan bantuan pompa air untuk menyalurkan sumber air," ujar Sarwo Edhy.
Kementan jauh-jauh hari sudah melakukan berbagai antisipasi kekeringan dengan membangun atau memperbaiki sarana dan prasarana pertanian. Kegiatan ini dilaksanakan agar produksi pangan nasional tidak terganggu.
Tahun 2019, misalnya, Kementan telah mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi jaringan irigasi tersier seluas 67.037 hektar. Sementara Irigasi Perpompaan yang dilakukan sebanyak 467 unit. lrigasi Perpipaan 138 unit, Pembangunan Embung/Dam Parit/Long Storage sebanyak 400 unit dan Cetak Sawah seluas 6.000 hektar.
Selain itu, Kementan juga akan mengantisipasi musim kemarau tahun ini melalui beberapa upaya. Diantaranya menyebarluaskan informasi Prakiraan Iklim Musim Kemarau Tahun 2019 dan peningkatan kewaspadaan terhadap kekeringan kepada seluruh Gubernur dan Dinas Provinsi terkait.
Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Hari Suprayogi, mengatakan untuk mengatasi kekeringan, pihaknya mengoperasikan 231 waduk. Total tersebut meliputi 16 waduk utama dengan kapasitas tampungan di atas 50 juta meter kubik (m3) dan 215 waduk berkapasitas tampungan kurang dari 50 juta m3.
Dari 16 waduk utama, sebanyak delapan waduk memiliki tinggi muka air normal, yakni Cirata, Saguling, Betutegi, Wadaslintang, Bili-Bili, Kalola, Way Rarem, dan Ponre-Ponre. Sementara delapan waduk lainnya memiliki tinggi muka air di bawah normal, yakni Jatiluhur, Kedungombo, Wonogiri, Sutami, Wonorejo, Cacaban, Selorejo, dan Batu Bulan.
Hasil pantauan tanggal 30 Juni 2019 mencatat, volume ketersediaan air dari 16 waduk utama tersebut sebesar 3.858,25 juta m3 dari tampungan efektif sebesar 5.931,62 juta m3.
"Luas area yang bisa dilayani dari 16 bendungan tersebut adalah 403.413 hektar (ha) dari total 573.367 hektar," jelas Hari.
Hari menambahkan, waduk dengan kondisi di bawah rencana akan mengalami penyesuaian pola tanam yang pengaturannya. Hal tersebut ditentukan oleh perkumpulan petani pengguna air atau P3A.
Selain waduk, Hari memastikan ketersediaan air dari 1.922 embung yang terdiri dari 1.214 embung berfungsi normal (63,2%) dan 708 embung mengalami penurunan fungsi (36,8%).
"Rata-rata seluruh embung mampu menyediakan air hingga dua sampai tiga bulan dengan total ketersediaan air 208 juta m3," tutur Hari.
Kementerian PUPR juga menyiapkan pompa sentrifugal berkapasitas 16 liter per detik untuk menjaga ketersediaan air bersih konsumsi masyarakat. Hari mengatakan, pompa yang disiapkan mencapai 1.000 unit yang tersebar di 34 provinsi.
"Tentunya apabila di situ memang ada air. Air bisa air tanah maupun bisa dari suatu sungai yang memang masih ada," tutur Hari.
Sementara untuk daerah yang memiliki curah hujan relatif sedikit sehingga cadangan air tanah terbatas, misalnya Gunung Kidul, Kementerian PUPR membuat sumur bor dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian potensi sumber air di sekitar. Hari mengatakan optimalisasi pemanfaatan sumur bor yang telah tersedia sebanyak 7.471 sumur bor tersebar di 34 provinsi juga akan dilakukan.
(ven)