Pengamat Kritisi Rencana Swasta Kelola Aset Negara di Jakarta
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi mengkritisi rencana swastanisasi untuk mengelola aset negara di Jakarta . Pasalnya, seiring dengan rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan, aset negara di Jakarta dengan potensi lebih dari Rp 1.100 triliun rencananya akan ditawarkan ke swasta untuk dikelola mulai tahun depan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengkritisi dalam skema kerjasama pemerintah dan swasta selama ini, pengelolaan aset pemerintah tidak masuk 'selera' pelaku swasta. Hal ini menurutnya karena return yang dihasilkan tidak signifikan dan swasta bisa membangun pusat bisnis baru yang lebih menguntungkan.
Dalam banyak kasus, kata dia, pelaku swasta tidak mampu melanjutkan dan justru jadi beban pemerintah. "Bahkan yang memungkinkan hanya investor China yang sanggup dalam kondisi ekonomi saat ini. Tapi bagaimana keamanan negara nanti juga akan menjadi pertanyaan masyarakat," ujar Fithra saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Dia melihat skema ruislag (tukar guling) adalah yang paling memungkinkan untuk dilakukan antara pemerintah dan swasta. Namun, potensi rugi bagi swasta sangat besar. Bahkan, dia mengatakan dalam beberapa simulasi dapat terjadi penurunan nilai aset di Jakarta bahkan bisa mencapai 20% dalam jangka menengah panjang.
Sementara itu pemerintah akan menjual sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di Jakarta dan akan membeli lahan di Kalimantan dengan harga yang sudah naik berkali lipat. Praktik ini menurutnya sangat tidak efisien. Belum lagi akan ada kemungkinan terjadi fraud dan praktik kecurangan lainnya.
"Semua skema berisiko tinggi untuk menyerahkan aset pemerintah ke swasta dan dampaknya tidak signifikan. Pemerintah masih punya banyak PR untuk memindahkan pusat pemerintahan. Contoh sukses pemindahan ibu kota adalah Sejong di Korea Selatan. Namun persiapan yang dibutuhkannya hingga 12 tahun lamanya," ujarnya.
Sementara itu Pengamat manajemen dari PPM School of Management Wahyu T Setyobudi menilai hal yang paling penting sebelum masuknya swasta adalah aturan main yang harus jelas. Termasuk apakah investor asing diizinkan masuk melalui investasi asing.
"Kita butuh komitmen political Will membangun dalam negeri dengan konsisten. Dengan masuknya investasi asing tentu akan ada masalah baru. Karena semua serba tidak siap seperti aturan main dan juga masyarakat yang belum siap," ujar Wahyu.
Dia mengatakan, masuknya swasta harus diikuti jaminan untuk peningkatan manajerial dari pengelola swasta dan juga BUMN. Swasta diharapkan akan bersaing dengan BUMN sehingga terjadi kompetisi. Sisi positifnya masyarakat bisa melihat siapa yang efisien dan efektif. Diharapkan BUMN juga dapat menjadi lebih baik dan semakin efisien.
"Namun pemerintah tetap harus memberikan banyak intervensi. Seperti penguatan BUMN dan pengawasan praktik swasta dan kejelasan aturan. Pihak swasta tentu akan berinvestasi besar dan tidak berorientasi keuntungan. Pemerintah tidak boleh lepas tangan begitu saja," tambahnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengkritisi dalam skema kerjasama pemerintah dan swasta selama ini, pengelolaan aset pemerintah tidak masuk 'selera' pelaku swasta. Hal ini menurutnya karena return yang dihasilkan tidak signifikan dan swasta bisa membangun pusat bisnis baru yang lebih menguntungkan.
Dalam banyak kasus, kata dia, pelaku swasta tidak mampu melanjutkan dan justru jadi beban pemerintah. "Bahkan yang memungkinkan hanya investor China yang sanggup dalam kondisi ekonomi saat ini. Tapi bagaimana keamanan negara nanti juga akan menjadi pertanyaan masyarakat," ujar Fithra saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Dia melihat skema ruislag (tukar guling) adalah yang paling memungkinkan untuk dilakukan antara pemerintah dan swasta. Namun, potensi rugi bagi swasta sangat besar. Bahkan, dia mengatakan dalam beberapa simulasi dapat terjadi penurunan nilai aset di Jakarta bahkan bisa mencapai 20% dalam jangka menengah panjang.
Sementara itu pemerintah akan menjual sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di Jakarta dan akan membeli lahan di Kalimantan dengan harga yang sudah naik berkali lipat. Praktik ini menurutnya sangat tidak efisien. Belum lagi akan ada kemungkinan terjadi fraud dan praktik kecurangan lainnya.
"Semua skema berisiko tinggi untuk menyerahkan aset pemerintah ke swasta dan dampaknya tidak signifikan. Pemerintah masih punya banyak PR untuk memindahkan pusat pemerintahan. Contoh sukses pemindahan ibu kota adalah Sejong di Korea Selatan. Namun persiapan yang dibutuhkannya hingga 12 tahun lamanya," ujarnya.
Sementara itu Pengamat manajemen dari PPM School of Management Wahyu T Setyobudi menilai hal yang paling penting sebelum masuknya swasta adalah aturan main yang harus jelas. Termasuk apakah investor asing diizinkan masuk melalui investasi asing.
"Kita butuh komitmen political Will membangun dalam negeri dengan konsisten. Dengan masuknya investasi asing tentu akan ada masalah baru. Karena semua serba tidak siap seperti aturan main dan juga masyarakat yang belum siap," ujar Wahyu.
Dia mengatakan, masuknya swasta harus diikuti jaminan untuk peningkatan manajerial dari pengelola swasta dan juga BUMN. Swasta diharapkan akan bersaing dengan BUMN sehingga terjadi kompetisi. Sisi positifnya masyarakat bisa melihat siapa yang efisien dan efektif. Diharapkan BUMN juga dapat menjadi lebih baik dan semakin efisien.
"Namun pemerintah tetap harus memberikan banyak intervensi. Seperti penguatan BUMN dan pengawasan praktik swasta dan kejelasan aturan. Pihak swasta tentu akan berinvestasi besar dan tidak berorientasi keuntungan. Pemerintah tidak boleh lepas tangan begitu saja," tambahnya.
(ind)