APTI Minta Pemerintah Tunda Rencana Kenaikan Cukai Rokok 23%

Minggu, 22 September 2019 - 16:33 WIB
APTI Minta Pemerintah...
APTI Minta Pemerintah Tunda Rencana Kenaikan Cukai Rokok 23%
A A A
JAKARTA - Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan cukai rokok 23% per 1 Januari 2020 dianggap tergesa-gesa dan mengecewakan banyak pihak. Selain waktunya yang tidak tepat, yakni saat kondisi perekonomian tak menggembirakan, keputusan itu juga bisa menyengsarakan masyarakat petani tembakau dan buruh rokok itu sendiri sekaligus dapat menghidupkan rokok ilegal.

Karena itu, rencana implementasi kebijakan tersebut diminta untuk ditunda. "Kami menyayangkan apa yang direncanakan Menkeu Sri Mulyani terlalu terburu-buru, terlalu memaksakan. Petani tembakau saat ini sedang panen, pemerintah menyampaikan rencana menaikkan cukai rokok 23%. Ini berdampak langsung pada pembelian tembakau di tingkat lokal. Saat kondisi ekonomi masyarakat sedang sulit, termasuk masyarakat petani tembakau, pemerintah hendak menaikkan harga cukai yang sangat tinggi. Kami minta rencana itu ditunda," pinta Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau (APTI), Agus Pamudji di Jakarta, Minggu (22/9/2019).

Menurut Agus, pihaknya sudah melakukan konsolidasi dengan pengurus APTI dan masyarakat petani tembakau dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pertemuan diadakan guna membahas rencana kenaikan cukai rokok 23% yang sudah diumumkan Sri Mulyani beberapa waktu lalu, sekaligus membahas masa depan industri rokok di Indonesia, beserta dampak yang akan ditimbulkan terhadap petani tembakau bila rencana kenaikan tersebut jadi dilakukan.

"Produksi tembakau nasional ini mau tidak mau masih tergantung kepada pabrikan rokok nasional atau industri nasional. Ini berarti dampak yang paling buruk yang paling kena adalah di arus bawahnya yakni petani tembakau. Perlu kami sampaikan ke Ibu Menkeu bahwa di dalam ekosistem industri tembakau, walaupun yang dipukul adalah industrinya tetapi yang akan jatuh adalah petaninya. Karena di Indonesia ekosistem pertembakauan ini masih ada petani dan tenaga kerja dari tembakau," tegas Agus.

Agus berharap pemerintah dapat berpikir lebih jernih dan lebih arif sebelum mengambil keputusan menaikkan tarif cukai rokok. Masyarakat petani khususnya tembakau sifatnya masih menjunjung tinggi sifat kegotongroyongan dan kerja sama.

Industri rokok tidak hanya mengenai pabrikan. Melainkan juga ada petani tembakau ada pekerja industri rokok, kemudian ada pedagang asongannya. "Nasib tenaga kerja dan petani tembakau serta para pedagang asongan rokok ini juga harus mendapatkan perhatian serius pemerintah," pintanya.

"Makanya kami mengusulkan kebijakan tersebut ditunda karena kalau kenaikannya 23% sudah diambang batas kewajaran. Menurut apa yang kami rasakan, rencana kenaikan cukai rokok dan kenaikan harga jual eceran rokok adalah tindakan secara perlahan mematikan petani tembakau dan buruh rokok. Padahal industri rokok, petani tembakau selama ini sudah membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah," desak Agus.

Pihaknya menyarankan agar pemerintah jangan hanya memandang tembakau ini sebagai komoditi yang harus diperangi. Atau hanya mau uangnya saja lewat cukai tapi enggak mau memahami dan mengerti permasalahannya. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah bisa membaca apa yang diderita dan dirasakan oleh masyarakat petani tembakau. APTI meminta sebuah kebijakan atau usulan yang adil.

"Kebijakan yang adil dari pemerintah bagi kami masyarakat petani tembakau dan buruh pabrik rokok adalah kenaikan cukai jangan terlalu tinggi tapi yang wajar. Namun kenaikan cukai itu harus dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan petani tembakau," ucap Agus.

Agus menambahkan, pihaknya saat ini sedang berdiskusi dengan pengurus APTI pusat dan wilayah untuk menentukan aksi apa yang akan dilakukan kalau Menteri Keuangan nekat melanjutkan kebijakan tak populer tersebut. Tidak tertutup kemungkinan untuk bergabung dengan elemen masyarakat lain melakukan aksi massa memprotes kebijakan kenaikan tarif cukai.

"Setidaknya saat ini kami akan menyurati Menteri Keuangan agar menunda atau membatalkan kenaikan cukai sebesar 23%,” sebutnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Public Trust Institute (PTI), Hilmi Rahman Ibrahim, berpendat rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 23% lebih kepada upaya menyelamatkan kas negara yang saat ini tengah kosong dibanding upaya pengendalian tembakau dan alasan kesehatan.

Tetapi mengingat kondisi perekonomian masyarakat, termasuk petani tembakau yang sedang sulit sebagai imbas kondisi perekonomian nasional, rencana itu sangat tidak bijak apabila tetap direalisasikan mulai 1 Januari 2020.

Pemerintah pusat khususnya Menteri Keuangan hendaknya bersikap arif dan bijaksana. Jika pemerintah sedang mengalami kekurangan dana, saat ini sebaiknya tidak hanya menjadikan industri rokok dan tembakau sebagai objek penarikan cukai.

Sebab, masyarakat industri rokok khususnya buruh dan petani tembakau, jika dalam waktu bersamaan kena dampak negatif dari kenaikan cukai rokok dan kenaikkan harga jual eceran rokok, mereka akan sangat menderita.

Alasannya, jika pabrik rokok banyak yang tutup kemudian pembelian tembakau menurun drastis, otomatis buruh dan petani tembakau yang sudah menderita karena sulitnya perekonomian nasional akan lebih menderita. Karena akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan penurunan pembelian tembakau.

"Lebih baik rencana kenaikan tarif cukai sebesar 23% ditunda. Jika tidak bisa ditunda, maka Kenaikannnya cukup sesuai inflasi, sekitar 10%," tutur Dosen Universitas Nasional Jakarta ini.

Dijelaskannya, apabila kenaikan cukai rokok 10% dianggap masih belum menutup kekosongan kas negara, pemerintah dapat menggali cukai di sektor lain. Baik pengenaan cukai di industri plastik maupun di industri minuman soda. Hal ini sudah dilakukan di negara-negara maju.

"Jadi jangan hanya industri rokok dan tembakau yang dijadikan sapi perahnya. Tidak ada salahnya industri plastik dan industri soda juga dikenakan. Tujuannya sama-sama menjaga kesehatan masyarakat dan lingkungan, juga menutupi kekosongan kas negara," kata Hilmi.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1130 seconds (0.1#10.140)