Perkuat IHT dengan Penggabungan Produksi SPM-SKM
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran 35% pada 2020 mengejutkan para pelaku industri hasil tembakau (IHT). Meskipun kebijakan tersebut akan memberatkan, beberapa produsen rokok terbesar mengatakan akan menghormati keputusan pemerintah itu.
"Sebagai perusahaan yang sudah beroperasi lebih dari 106 tahun di Indonesia, HMSP memastikan akan menerima keputusan tersebut," kata Direktur Corporate Affairs Sampoerna, Troy Modlin, dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Namun, untuk HMSP memberikan dua rekomendasi kepada pemerintah. Dua rekomendasi ini dinilai akan mengurangi tekanan kepada IHT, khususnya segmen sigaret kretek tangan (SKT), yang menyerap ratusan ribu pelinting di seluruh Indonesia.
Pertama, Troy menyarankan dijalankannya penggabungan batasan produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi tiga miliar batang per tahun.
Penggabungan ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi segmen SKT untuk dapat bertahan. Karena dengan di gabung akan menjauhkan tarif cukai SKT dengan rokok mesin.
"Saat ini, masih ada tarif cukai SKT yang dekat dengan tarif cukai SKM dan SPM golongan 2. Tarif cukai rokok buatan mesin tersebut bahkan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang beromset triliunan," ujarnya.
Akibatnya, banyak rokok mesin yang harganya nyaris sama dengan SKT sehingga membuat segmen ini semakin terpuruk. Selama beberapa tahun belakangan, banyak pelinting yang terpaksa kehilangan pekerjaannya lantaran produk SKT kalah bersaing dengan rokok mesin.
Penggabungan batasan rokok mesin menjadi tiga miliar batang per tahun juga akan menciptakan persaingan yang adil. Selama ini kami harus bersaing dengan perusahaan multinasional yang membayar cukai yang jauh lebih rendah, meski produk yang ditawarkan memiliki karakteristik yang sama.
"Kedua, mempertahankan tarif cukai dan batasan produksi SKT. Pasalnya, SKT memiliki karakteristik padat karya dan rentan terhadap perubahan harga," cetusnya.
Sebab, 75% pekerja di kategori SKT berasal dari pabrikan pembayar cukai golongan 1. Jika ada perubahan dalam struktur cukai SKT, sudah pasti akan memengaruhi volume produksi dan jumlah pekerja di dalamnya.
SKT, lanjut Troy, mengalami penurunan yang terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu membuat Sampoerna harus terus mengatur strategi dengan jeli, agar dapat mempertahankan segmen SKT-nya.
"Saat ini, kami mempekerjakan 67.000 orang secara langsung dan tak langsung, dimana sebagian besarnya adalah pelinting SKT," ungkap Troy.
Sampoerna, misalnya, melakukan subsidi dari profit yang didapat dari produk SPM untuk diberikan kepada SKT. Dengan cara itu, produsen SKT terbesar di Indonesia tersebut dapat menjaga keberlanjutan industri yang memproduksi Dji Sam Soe, dan Sampoerna Hijau.
Troy juga mengatakan, jika pemerintah benar-benar memperhatikan serapan tenaga kerja di SKT, maka volume produksi SKT golongan 2 sebaiknya diturunkan dari 2 miliar batang per tahun menjadi 1 miliar batang per tahun. Dengan demikian, para produsen SKT golongan 1 dapat mempertahankan serapan tenaga kerjanya. Langkah ini juga dapat menciptakan persaingan yang adil bagi pabrikan SKT golongan 2 dan 3, serta meningkatkan penerimaan negara.
Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi), juga meminta pemerintah mempercepat penggabungan batasan produksi SKM dan SPM. Ketua Harian Formasi Heri Susanto mengatakan, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang dimanfaatkan beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.
Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan 1, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi. Padahal tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50%-60% dibandingkan golongan 1.
Dia mengatakan, penggabungan batasan produksi rokok mesin ini akan mendorong penerimaan negara yang lebih besar. "Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan kecil dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung," katanya.
"Sebagai perusahaan yang sudah beroperasi lebih dari 106 tahun di Indonesia, HMSP memastikan akan menerima keputusan tersebut," kata Direktur Corporate Affairs Sampoerna, Troy Modlin, dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Namun, untuk HMSP memberikan dua rekomendasi kepada pemerintah. Dua rekomendasi ini dinilai akan mengurangi tekanan kepada IHT, khususnya segmen sigaret kretek tangan (SKT), yang menyerap ratusan ribu pelinting di seluruh Indonesia.
Pertama, Troy menyarankan dijalankannya penggabungan batasan produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi tiga miliar batang per tahun.
Penggabungan ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi segmen SKT untuk dapat bertahan. Karena dengan di gabung akan menjauhkan tarif cukai SKT dengan rokok mesin.
"Saat ini, masih ada tarif cukai SKT yang dekat dengan tarif cukai SKM dan SPM golongan 2. Tarif cukai rokok buatan mesin tersebut bahkan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang beromset triliunan," ujarnya.
Akibatnya, banyak rokok mesin yang harganya nyaris sama dengan SKT sehingga membuat segmen ini semakin terpuruk. Selama beberapa tahun belakangan, banyak pelinting yang terpaksa kehilangan pekerjaannya lantaran produk SKT kalah bersaing dengan rokok mesin.
Penggabungan batasan rokok mesin menjadi tiga miliar batang per tahun juga akan menciptakan persaingan yang adil. Selama ini kami harus bersaing dengan perusahaan multinasional yang membayar cukai yang jauh lebih rendah, meski produk yang ditawarkan memiliki karakteristik yang sama.
"Kedua, mempertahankan tarif cukai dan batasan produksi SKT. Pasalnya, SKT memiliki karakteristik padat karya dan rentan terhadap perubahan harga," cetusnya.
Sebab, 75% pekerja di kategori SKT berasal dari pabrikan pembayar cukai golongan 1. Jika ada perubahan dalam struktur cukai SKT, sudah pasti akan memengaruhi volume produksi dan jumlah pekerja di dalamnya.
SKT, lanjut Troy, mengalami penurunan yang terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu membuat Sampoerna harus terus mengatur strategi dengan jeli, agar dapat mempertahankan segmen SKT-nya.
"Saat ini, kami mempekerjakan 67.000 orang secara langsung dan tak langsung, dimana sebagian besarnya adalah pelinting SKT," ungkap Troy.
Sampoerna, misalnya, melakukan subsidi dari profit yang didapat dari produk SPM untuk diberikan kepada SKT. Dengan cara itu, produsen SKT terbesar di Indonesia tersebut dapat menjaga keberlanjutan industri yang memproduksi Dji Sam Soe, dan Sampoerna Hijau.
Troy juga mengatakan, jika pemerintah benar-benar memperhatikan serapan tenaga kerja di SKT, maka volume produksi SKT golongan 2 sebaiknya diturunkan dari 2 miliar batang per tahun menjadi 1 miliar batang per tahun. Dengan demikian, para produsen SKT golongan 1 dapat mempertahankan serapan tenaga kerjanya. Langkah ini juga dapat menciptakan persaingan yang adil bagi pabrikan SKT golongan 2 dan 3, serta meningkatkan penerimaan negara.
Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi), juga meminta pemerintah mempercepat penggabungan batasan produksi SKM dan SPM. Ketua Harian Formasi Heri Susanto mengatakan, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang dimanfaatkan beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.
Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan 1, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi. Padahal tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50%-60% dibandingkan golongan 1.
Dia mengatakan, penggabungan batasan produksi rokok mesin ini akan mendorong penerimaan negara yang lebih besar. "Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan kecil dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung," katanya.
(ven)