Direksi BUMN Rawan Terjerat Pidana Akibat Banyaknya Regulasi yang Harus Ditaati

Rabu, 30 Oktober 2019 - 20:33 WIB
Direksi BUMN Rawan Terjerat Pidana Akibat Banyaknya Regulasi yang Harus Ditaati
Direksi BUMN Rawan Terjerat Pidana Akibat Banyaknya Regulasi yang Harus Ditaati
A A A
JAKARTA - Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya. Konsekuensi tanggung jawab direksi bahkan bisa meluas sampai ke ranah tindak pidana korupsi apabila perusahaan yang dikelolanya berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kerugian yang dialami BUMN bisa menyeret jajaran direksi beserta manajemen ke dalam ranah tindak pidana korupsi. Sebab menurut regulasi yang ada, kekayaan BUMN masuk menjadi bagian kekayaan negara, sehingga kerugian BUMN bisa disamakan dengan merugikan keuangan negara.

Guna menghindari risiko terjerumus dalam tindak pidana korupsi, SIP Corp berinisiatif menyelenggarakan Diskusi Panel bertajuk "Keputusan Bisnis & Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Perseroan BUMN" pada Rabu (30/10/2019), di No. 7 Building, Jakarta Selatan. Acara ini banyak dihadiri oleh peserta yang berasal dari perusahaan-perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perbankan dan asuransi.

Nara sumber yang dihadirkan merupakan para praktisi dan akademisi dari latar belakang yang berbeda, di antaranya Noor Rachmad selaku mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Dian Puji Simatupang sebagai Akademisi Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, dan Yitno, Mak yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Auditorat VII B 2 pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Diskusi ini dimoderatori langsung oleh Direktur SIP Corp Tri Hartanto, yang juga menjabat sebagai partner di kantor pengacara SIP Law Firm.

"Beberapa tahun ini menjadi tahun-tahun yang berat bagi BUMN karena banyaknya kasus korupsi yang menjerat direksinya sehingga rasanya kita perlu mengetahui perspektif dari unsur pemerintah dan penegak hukum," ujar Tri Hartanto saat membuka acara.

Menurut Tri, kegiatan diskusi ini juga dilatarbelakangi masih banyaknya pertanyaan dan perdebatan mengenai batasan-batasan kerugian BUMN yang dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara. Dari sisi akademisi, menurut Dian, kerugian negara harus dilihat dalam tiga sistem hukum yang berkaitan, yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum pidana.

Kerugian negara yang disebabkan dwaling (salah kira) tanpa adanya paksaan, tipu muslihat, dan suap seharusnya masuk ke ranah hukum administrasi negara, bukan ranah pidana.

Pandangan lain disampaikan oleh Yitno selaku auditor BPK yang sudah berpengalaman memeriksa indikasi kerugian negara, memahami bahwa BUMN dan BUMD masuk dalam lingkup keuangan negara. "BPK memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara, serta memberikan keterangan sebagai ahli dalam proses peradilan," tegas Yitno.

Yitno juga menceritakan banyaknya temuan di lapangan dalam memeriksa indikasi kerugian negara dalam pengadaan barang/jasa oleh BUMN, sudah dimulai sejak awal prosesnya, seperti penentuan HPS yang terlalu tinggi dan markup.

"Dalam BPK tidak ada istilah pidana, melainkan istilah yang digunakan adalah kecurangan, yang biasanya ada unsur kesengajaan, baik disebabkan karena adanya kesempatan, tekanan, dan alasan pembenaran," ujar auditor BPK ini.

Menurut Yitno, BPK berperan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh Perbuatan Melawan Hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh BUMN/BUMD.

Dari sudut pandang pidana, Noor menerangkan bahwa tindakan atau keputusan direksi yang menyebabkan kerugian negara perlu dilihat dari dua sudut. Pertama terkait orangnya, yang kedua terkait perbuatannya.

"Perbuatan itu adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang ditentukan dalam UU, kemudian orangnya untuk mengetahui sifat batinnya," ujar mantan pejabat kejaksaan ini.

Noor menerangkan bahwa perbuatan yang sudah memenuhi rumusan delik, dan ada niat jahat atau mens rea dalam sifat batin itu, serta ada kesalahan yang dilakukan karena sengaja atau lalai, lalu tidak ada alasan pemaaf atau alasan pembenar terhadap tindakan orang itu, maka hal ini bisa dibawa ke pengadlian.

Noor juga memastikan bahwa selama direksi memenuhi prinsip Business Judgement Rule (BJR) dan tidak melanggar aturan yang ada, maka tidak perlu dikhawatirkan.

"Jadi kepada direksi dalam melangkah, harap perhatikan prinsip-prinsip good corporate governance, mitigasi risiko, serta regulasi-regulasi yang ada, sebagai rambu-rambu dalam mengambil keputusan," tegas Noor.

Menutup acara diskusi ini, Tri Hartanto mengambil kesimpulan bahwa kompleksitas yang dihadapi BUMN adalah karena banyaknya regulasi yang harus ditaati, serta risiko terjadinya kerugian negara.

Sedangkan dari sisi bisnis dituntut untuk memperoleh laba dan bersaing dengan perusahaan swasta yang sifatnya lebih fleksibel. Sehingga perlu campur tangan pemerintah dalam memangkas aturan-aturan yang bisa menghambat kinerja BUMN dan perlindungan terhadap direksi yang sudah menerapkan prinsip BJR.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5231 seconds (0.1#10.140)