Lima Potensi Monopoli pada Program Tol Laut
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat ada empat trayek pengiriman barang melalui tol laut yang berpotensi dimonopoli oleh perusahaan swasta.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, Wisnu Handoko, mengungkapkan keempat trayek tersebut meliputi trayek Tanjung Priok-Namlea, Tanjung Priok-Dobo, Tanjung Priok-Saumlaki, dan Tanjung Priok-Wasior.
"Kebanyakan trayek yang dimonopoli memang di Indonesia bagian timur. Ini terjadi karena pengirimannya paling besar ke sana," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Wisnu menjelaskan, problem monopoli sebenarnya telah disasar oleh Direktorat Laut sejak lama. Dugaan monopoli itu terlihat dari laporan pengawasan operasional pengiriman barang yang telah dilakukan oleh masing-masing kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan.
Wisnu memastikan telah meminta pihak KSOP untuk memperketat pengawasan terhadap pengiriman barang. Namun, kementeriannya tidak berwenang menyentuh bisnis perdagangan.
"Jadi kalau harga kan punya mekanisme pemantuan harga pasar. Dari kami, kalau misalnya pemain yang ada di situ gimana, kami mengawasi," katanya.
Dalam rangka memperketat pengawasan, pada 2018, Kemenhub membangun sistem digital untuk melacak arus barang masuk dan keluar melalui platform informasi muatan ruang kerja (IMRK). Melalui sistem itu, Kemenhub dapat mencatat perusahaan-perusahaan swasta mana saja yang terlibat sebagai pelaku pengirim muatan.
Namun, pihaknya mengakui sistem digital pengawasan itu perlu diperbarui dalam waktu dekat. Sementara itu, untuk menindaklanjuti adanya dugaan monopoli, Kemenhub akan menggelar rapat dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Wisnu mengungkapkan, berdasarkan IMRK ada 5 modus monopoli dalam pelaksanaan tol laut.
"Pertama adalah shipper atau forwardernya itu menguasai booking order kontainer. Caranya macam-macam mungkin bisa dia pakai nama berbeda tapi di belakangnya satu (orang) seperti itu sama saja," jelasnya.
Selain itu, Wisnu menjelaskan potensi berikutnya adalah forwarder bisa sekaligus menjadi consignee atau penerima. Hal itu diduga karena ditemukan penerima selalu menggunakan forwarder yang sama.
"Ini juga ada potensi di situ, kan otomatis jasa pengurusannya selalu dapat banyak dari sini. Kan ada korelasi kok pakai itu terus jasanya. Sementara harga enggak turun-turun," ujarnya.
Sementara itu, potensi ketiga adalah ada satu perusahaan pelayaran atau operator yang hanya melayani hanya satu atau dua forwarder saja. Padahal, angka booking selalu tinggi dari perusahaan tersebut.
"Kecenderungan kalau itu saja pasti harga jadi tinggi karena tak ada pilihan lagi. Misal di Dobo (Maluku) yang layani 1 forwarding saja, harga jadi naik terus," ungkapnya.
Selanjutnya, ada koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) yang jumlahnya hanya 1. Sehingga tidak ada kompetisi yang kemudian memicu biaya lebih tinggi. Ia mencontohkan salah satu lokasinya ada di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat yang bisa ada biaya tambahan di luar kargo sampai Rp1 juta.
Potensi yang kelima, kata Wisnu, adalah consignee yang sudah mendapatkan barang banyak tidak mau menjual dengan harga murah. Padahal barang yang didapatkan berasal dari subsidi program tol laut.
"Masalahnya, untuk consignee-consignee yang tadi sudah borong kontainer itu kami rasa belum tentu jual dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Itulah titik-titik potensi monopoli dalam pengoperasian tol laut ini," ucapnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebelumnya telah mengevaluasi program Tol Laut, dan mendapati potensi-potensi tingginya biaya distribusi barang ke daerah terluar.
"Kita akan terus melakukan perbaikan, karena manfaat tol laut ini juga besar dan banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat terutama perannya menurunkan inflasi dan harga barang," pungkas dia.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, Wisnu Handoko, mengungkapkan keempat trayek tersebut meliputi trayek Tanjung Priok-Namlea, Tanjung Priok-Dobo, Tanjung Priok-Saumlaki, dan Tanjung Priok-Wasior.
"Kebanyakan trayek yang dimonopoli memang di Indonesia bagian timur. Ini terjadi karena pengirimannya paling besar ke sana," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Wisnu menjelaskan, problem monopoli sebenarnya telah disasar oleh Direktorat Laut sejak lama. Dugaan monopoli itu terlihat dari laporan pengawasan operasional pengiriman barang yang telah dilakukan oleh masing-masing kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan.
Wisnu memastikan telah meminta pihak KSOP untuk memperketat pengawasan terhadap pengiriman barang. Namun, kementeriannya tidak berwenang menyentuh bisnis perdagangan.
"Jadi kalau harga kan punya mekanisme pemantuan harga pasar. Dari kami, kalau misalnya pemain yang ada di situ gimana, kami mengawasi," katanya.
Dalam rangka memperketat pengawasan, pada 2018, Kemenhub membangun sistem digital untuk melacak arus barang masuk dan keluar melalui platform informasi muatan ruang kerja (IMRK). Melalui sistem itu, Kemenhub dapat mencatat perusahaan-perusahaan swasta mana saja yang terlibat sebagai pelaku pengirim muatan.
Namun, pihaknya mengakui sistem digital pengawasan itu perlu diperbarui dalam waktu dekat. Sementara itu, untuk menindaklanjuti adanya dugaan monopoli, Kemenhub akan menggelar rapat dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Wisnu mengungkapkan, berdasarkan IMRK ada 5 modus monopoli dalam pelaksanaan tol laut.
"Pertama adalah shipper atau forwardernya itu menguasai booking order kontainer. Caranya macam-macam mungkin bisa dia pakai nama berbeda tapi di belakangnya satu (orang) seperti itu sama saja," jelasnya.
Selain itu, Wisnu menjelaskan potensi berikutnya adalah forwarder bisa sekaligus menjadi consignee atau penerima. Hal itu diduga karena ditemukan penerima selalu menggunakan forwarder yang sama.
"Ini juga ada potensi di situ, kan otomatis jasa pengurusannya selalu dapat banyak dari sini. Kan ada korelasi kok pakai itu terus jasanya. Sementara harga enggak turun-turun," ujarnya.
Sementara itu, potensi ketiga adalah ada satu perusahaan pelayaran atau operator yang hanya melayani hanya satu atau dua forwarder saja. Padahal, angka booking selalu tinggi dari perusahaan tersebut.
"Kecenderungan kalau itu saja pasti harga jadi tinggi karena tak ada pilihan lagi. Misal di Dobo (Maluku) yang layani 1 forwarding saja, harga jadi naik terus," ungkapnya.
Selanjutnya, ada koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) yang jumlahnya hanya 1. Sehingga tidak ada kompetisi yang kemudian memicu biaya lebih tinggi. Ia mencontohkan salah satu lokasinya ada di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat yang bisa ada biaya tambahan di luar kargo sampai Rp1 juta.
Potensi yang kelima, kata Wisnu, adalah consignee yang sudah mendapatkan barang banyak tidak mau menjual dengan harga murah. Padahal barang yang didapatkan berasal dari subsidi program tol laut.
"Masalahnya, untuk consignee-consignee yang tadi sudah borong kontainer itu kami rasa belum tentu jual dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Itulah titik-titik potensi monopoli dalam pengoperasian tol laut ini," ucapnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebelumnya telah mengevaluasi program Tol Laut, dan mendapati potensi-potensi tingginya biaya distribusi barang ke daerah terluar.
"Kita akan terus melakukan perbaikan, karena manfaat tol laut ini juga besar dan banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat terutama perannya menurunkan inflasi dan harga barang," pungkas dia.
(ven)