Targetkan Pengangguran Terbuka 4,5% di 2025, Pemerintah Disebut Kepedean
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin Damanhuri menilai pemerintah terlalu optimistis dengan target penurunan pengangguran terbuka di 2025 menjadi 4,5% sampai 5%. Variabel ekonomi Indonesia saat ini dinilai tidak mendukung pencapaian target pemerintah tersebut.
"Sepertinya itu over optimis ya karena berbagai variabelnya kurang mendukung," ujar Didin kepada MNC Portal, Senin (29/4/2024).
Guru besar Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menilai variabel disrupsi inflasi impor mendominasi di Indonesia. Terlebih, adanya kenaikan suku bunga acuan yang mengacu pada The Fed. "Kondisi tersebut mempengaruhi kurs rupiah sehingga cost of fund perusahaan-perusahaan yang berimbas pada tanggungan beban biaya lebih tinggi," tuturnya.
Didin menilai kenaikan suku bunga acuan juga berimplikasi pada pengurangan tenaga kerja yang sudah ada. "Artinya situasi saat ini lebih cenderung mengarah pada PHK. Jadi saya menilai ini terlalu optimis. Kalau bisa mempertahankan 5% rata-rata saja sudah bagus itu," terangnya.
Menurut dia, jika pemerintah bisa mengendalikan kurs melalui intervensi Bank Indonesia (BI) sehingga tidak melebihi Rp16.000 per dolar AS, maka pencapaian target itu masih bisa dilakukan. Selain itu, tegas Didin, pemerintah juga perlu memacu kemudahan-kemudahan bagi investor tanpa favorabilitas tertentu.
Didin menambahkan, kepastian dengan telah ditetapkannya Presiden terpilih harus ditambah dengan upaya pembukaan kesempatan bagi investor. Investasi yang dipilih, kata dia, juga harus mendorong pembukaan lapangan pekerjaan yang masif.
"Upaya-upaya tersebut jika dilakukan, bagi saya, hanya bisa mencapai 5% penurunannya. Kalau targetnya 4,5% sampai 4,7% itu saya kira tetap over optimislah," cetusnya.
"Sepertinya itu over optimis ya karena berbagai variabelnya kurang mendukung," ujar Didin kepada MNC Portal, Senin (29/4/2024).
Guru besar Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menilai variabel disrupsi inflasi impor mendominasi di Indonesia. Terlebih, adanya kenaikan suku bunga acuan yang mengacu pada The Fed. "Kondisi tersebut mempengaruhi kurs rupiah sehingga cost of fund perusahaan-perusahaan yang berimbas pada tanggungan beban biaya lebih tinggi," tuturnya.
Didin menilai kenaikan suku bunga acuan juga berimplikasi pada pengurangan tenaga kerja yang sudah ada. "Artinya situasi saat ini lebih cenderung mengarah pada PHK. Jadi saya menilai ini terlalu optimis. Kalau bisa mempertahankan 5% rata-rata saja sudah bagus itu," terangnya.
Menurut dia, jika pemerintah bisa mengendalikan kurs melalui intervensi Bank Indonesia (BI) sehingga tidak melebihi Rp16.000 per dolar AS, maka pencapaian target itu masih bisa dilakukan. Selain itu, tegas Didin, pemerintah juga perlu memacu kemudahan-kemudahan bagi investor tanpa favorabilitas tertentu.
Didin menambahkan, kepastian dengan telah ditetapkannya Presiden terpilih harus ditambah dengan upaya pembukaan kesempatan bagi investor. Investasi yang dipilih, kata dia, juga harus mendorong pembukaan lapangan pekerjaan yang masif.
"Upaya-upaya tersebut jika dilakukan, bagi saya, hanya bisa mencapai 5% penurunannya. Kalau targetnya 4,5% sampai 4,7% itu saya kira tetap over optimislah," cetusnya.
(fjo)